JAKARTA (Arrahmah.com) – Ahad pagi kemarin (19/2/2010) bertempat di Masjid Baiturrahman, Tebet, Jakarta Selatan, tabloid Suara Islam, salah satu media Islam yang banyak memfokuskan beritanya terhadap masalah-masalah aktual yang sedang terjadi pada tubuh umat, menggelar acara Temu Pembaca Tabloid Suara Islam ke-20 dengan mengusung tema “Meneladani Jihad Sholahuddin Al-Ayubi.
Kajian dimulai pk.10.00 wib dengan narasumber Ustadz Abu M. Jibriel AR dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan ustadz Bernard Abdul Jabbar selaku perwakilan dari Hizb Da’wah Islam (HDI).
Di awal penyampaiannya, Ustadz Abu Jibriel mengemukakan tentang betapa pentingnya sebuah ilmu dalam Islam karena ia berfungsi sebagai ruh pada kehidupan umat Islam dan juga sebagai faktor yang harus diutamakan untuk mencapai tegaknya iman seorang muslim. Oleh karenanya, sudah seharusnya umat Islam bersegera untuk memfokuskan diri terhadap ilmu—terutama ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan tanggung-jawabnya untuk menjaga kemuliaan Islam dari makar-makar syetan dan para pengikutnya.
Selanjutnya, Ustadz yang menurut tabloid tersebut layak untuk dijadikan kandidat dalam calon presiden bersama dua calon lain yang dinilai mampu dalam penegakkan syari’at yaitu Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Ustadz Habib Riziq Shihab, mengatakan bahwa saat ini kaum kafir tengah bersemangat mati-matian dalam mengobok-obok umat Islam melalui beragam makar yang sangat menipu-daya. Dan satu kalimat yang hendak mereka hapus dari kamus kehidupan umat Islam adalah al-jihad.
Begitu antipatinya mereka terhadap jihad sampai-sampai telah dijadikan simbol bagi kekerasan dan sikap berlebih-lebihan dari umat Islam yang kemudian melabelkan para pelaku jihad sebagai teroris yang mereka sifati sebagai upaya pemaksaan kehendak. Mereka juga telah mengusahakan agar tiga landasan utama yaitu tauhid, sholat, dan jihad dilenyapkan dari prinsip yang harus dilaksanakan umat Islam. Padahal bagi umat, ketiganya—terutama jihad fi sabilillah, merupakan benteng yang berperan untuk menyelamatkan seluruh ajaran Islam. Ia laksana atap yang dapat melindungi penghuninya dari terpaan panas matahari dan guyuran hujan Dalam syari’at, jihad dihukumi sejajar dengan kewajiban sholat, zakat, shaum, dan berhaji. Seperti pada firman Allah Ta’ala berikut,
Artinya, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah, 2:216)
Kalimat ‘diwajibkan atasmu’ merupakan sebuah perintah yang tidak lagi diperlukan telusurnya. Ia wajib dikerjakan meski terasa berat atau menyusahkan. Disitulah letak iman seorang mu’min, menerima segala risalah Tuhannya tanpa pilah-pilih yang hanya mengikuti hawa-nafsu semata.
Sementara itu, Islam merupakan agama yang paling tinggi dan terpuji, yang pasti memiliki cara-cara tersendiri dalam memurnikan dan mengokohkan berbagai syari’at yang termaktub didalamnya, dan cara atau upaya yang dimaksud adalah dengan jihad. Allah SWT sudah membuat gamblang akan hal ini yaitu pada QS. al-Hadiid di ayat ke-25 yang berbunyi:
Artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. al-Hadiid, 57:25)
Penyandingan kitab dan besi dalam ayat tersebut merupakan sebuah kemutlakan yang tidak bisa ditawar-tawar kembali. Diturunkannya kitab bagi manusia karena ia dibutuhkan demi tercapainya kemaslahatan hidup sesuai dengan standarisasi yang sudah dikhususkan baginya. Sementara besi yang bermakna pedang atau alat-alat persenjataan berfungsi sebagai pengawal agar segala risalah-Nya dapat terjaga dari segala bentuk infiltrasi yang berusaha menodainya.
“Oleh sebab itulah, Allah Ta’ala mengutamakan setiap mu’min yang berjihad diatas mu’min lainnya dengan perumpamaan beberapa derajat, sementara satu derajatnya seperti seluas bumi dan langit. Untuk itu, marilah bersegera untuk menjadi jundullah yang diembani tugas luar-biasa oleh Allah Ta’ala yaitu membumikan kalimat tauhid dan menjaga kemuliaannya,” ucap ustadz Abu M. Jibriel mengakhiri taushiyahnya tepat dipukul sebelas siang.
Jama’ah yang terdiri dari ikhwan dan akhwat yang sedianya adalah para pembaca tabloid yang dimotori oleh ustadz M. Al-Khattath itu lalu berlanjut dengan mendengarkan pemaparan singkat tentang biografi salah-satu pahlawan Islam yang juga dikenal dengan sebutan Sultan Saladin, yaitu Sholahuddin al-Ayubi oleh nara-sumber kedua—ustadz Bernard Abdul Jabbar.
Dilahirkan di kota Tigrit pada tahun 1138 Masehi dengan nama asli Yusuf Sholahuddin bin Ayyub. Masa kecilnya dihabiskan untuk belajar di Damaskus pada lingkungan anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria, yaitu Nur Ad-Din atau Nuruddin Zang
Sholahuddin besar dalam didikan ayah dan pamannya, Asadudin Shirkhu. Ia semasa kecil telah terkenal akan kecerdasannya dan memiliki akhlak yang baik. Ia memulai karir dalam kemiliteran di umurnya yang baru menginjak sekitar 16 tahun. Tugas yang pertama diterimanya adalah membantu dinasti Fathimiyah dalam menghadapi pasukan tentara Salib yang tengah bercokol di Palestina sekitar tahun 1164 Masehi.
Sholahuddin terus meningkat prestasinya sehingga pada usianya yang ke-2, jabatan panglima tentara Syria diamanahkan padanya, demikian juga dengan kepemimpinannya dalam dinasti Fathimiyah. Pahlawan Islam ini meninggal pada 4 Maret 1193 di Damaskus dan ditemui dalam keadaan yang tiada harta padanya. Ia hanya memiliki selembar kafan lusuh yang selalu dibawanya di tiap perjalanan serta uang senilai 66 dirham.
Satu hal yang perlu diluruskan dari sejarah yang berkaitan dengannya adalah bahwa ia bukanlah pencetus perayaan Maulid Nabi seperti yang sudah dilekatkan masyarakat kepadanya selama ini. Akan tetapi merupakan tradisi yang sengaja dikreasikan oleh kelompok sesat Syi’ah yang mendominasi pada masa tersebut dengan mendompleng kepada kemashuran Sholahuddin.
Di akhir pembahasan ustadz yang juga membidangi masalah kristenisasi ini, menegaskan bahwa harus ada niat dari setiap mu’min untuk menegakkan Islam di muka bumi, baik secara individu, kelompok, maupun negara karena menurutnya—usaha dalam mempersiapkan jihad adalah termasuk jihad pula. Syari’at Islam harus dikawal dengan khilafah. Dan bagi setiap yang menolak upaya tersebut maka dipersilahkan baginya untuk mencari bumi yang lain saja! (ghomidiyah/ukasyah/arrahmah.com)