(Arrahmah.com) – Sejumlah ikhwah negeri ini memandang Ustadz Aman Abdurrahman sebagai seorang ulama. Dengan pandangan demikian, mereka lantas mengklaim bahwa tidak boleh sembarangan berbicara tentangnya karena daging ulama itu beracun, sehingga haram hukumnya mengkritisi atau membantah pemahaman Ustadz Aman Abdurrahman.
Status ulama yang disematkan kepada Ustadz Aman Abdurrahman kemudian menjadi sebuah legalisasi yang diberikan kepada beliau untuk mengeluarkan fatwa, baik itu dalam permasalahan umat ataupun memberikan vonis-vonis kepada orang atau kelompok tertentu. Fatwa-fatwa yang beliau keluarkan selama ini pun menjadi penyebab utama terjadinya perpecahan antara aktivis pejuang Tauhid dan Jihad negeri ini.
Begitu mudahnya kita atau sebagian kelompok memberikan gelar ulama telah mendistorsi adab dan akhlaq standar ulama itu sendiri. Oleh karena itu, Ustadz Abu Jihad Al-Indunisy menegaskan bahwa menjadi begitu penting bagi kita untuk mengkaji permasalahan ini, agar kita bisa mendudukkan seseorang sesuai dengan maqamnya, tidak dikurangi juga tidak dilebihkan.
Berikut ulasan lengkap yang disampaikan Ustadz Abu JIhad Al-Indunisy mengenai status Ulama yang disematkan kepada Ustadz Aman Abdurrahman, yang dipublikasikan Muqawamah Media pada Ahad (30/8/2015).
APAKAH AMAN ABDURAHMAN SEORANG ULAMA?
Oleh: Abu Jihad Al-Indunisy
Di dalam beberapa obrolan ringan di salah satu media sosial, ada beberapa orang ikhwah yang menghati-hatikan saya dari membahas tentang pemahaman yang diusung oleh Ustadz Aman Abdurrahman. Alasan mereka berkata seperti itu adalah dikarenakan menurut pandangan mereka Ustadz Aman Abdurahman adalah seorang ulama, maka tidak boleh sembarangan berbicara tentang ulama. Atau ada di kalangan mereka yang berkata bahwa daging ulama itu beracun, maka takutlah dari berbicara tentang Ustadz Aman Abdurrahman. Yang mereka maksudkan dari perkataan tersebut adalah haram hukumnya mengkritisi atau membantah pemahaman Ustadz Aman Abdurrahman. Sebuah kedudukan yang tidak pernah diberikan kepada para ulama Islam sebelumnya, kini diberikan kepada Ustadz Aman Abdurrahman.
Sebenarnya bukan hanya mereka yang memiliki padangan seperti ini mengenai Ustadz Aman Abdurrahman, namun banyak kalangan ikhwan di Indonesia ini yang begitu mensakralkan Ustadz Aman Abdurrahman, dan menempatkan beliau pada sebuah kedudukan sebagai ulama terbesar di Indonesia, yang mana aqidah dan tauhid seseorang tidak akan dianggap baik dan lurus sebelum mendapatkan pengakuan dari Ustadz Aman Abdurrahman. Atau dengan kata lain tauhid seseorang baru bisa dikatakan lurus jika ia sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Ustadz Aman Abdurrahman.
Julukan-julukan keren semisal “Singa Tauhid” pun disematkan pada diri beliau. Sedangkan jika ada orang-orang yang mencoba mendebat atau mengkritisi pemahaman beliau harus bersiap-siap untuk mendapatkan julukan-julukan buruk seperti “anshar thaghut”, “perusak tauhid”, “musuh tauhid”, dan sebagainya, dan syukur jika orang tersebut tidak sampai taraf dikafirkan akibat mendebat pemahaman yang dibawa oleh Ustadz Aman Abdurrahman sebagaimana yang dialami oleh Al-Ustadz Abu Wafa’ fakallahu asrahu.
Sebenarnya yang menjadi ganjalan terberat bagi saya terhadap masalah ini adalah status ulama yang disematkan kepada Ustadz Aman Abdurrahman menjadi sebuah legalisasi yang diberikan kepada beliau untuk mengeluarkan fatwa, baik itu dalam permasalahan umat ataupun memberikan vonis-vonis kepada orang atau kelompok tertentu. Dan yang menjadi musibah, fatwa-fatwa yang beliau keluarkan justru selama ini menjadi penyebab utama terjadinya perpecahan antara aktivis pejuang Tauhid dan Jihad di negeri ini. Oleh karena itu menjadi begitu penting bagi kita untuk mengkaji permasalahan ini, agar kita bisa mendudukkan seseorang sesuai dengan maqamnya, tidak dikurangi juga tidak dilebihkan.
Saya dan mungkin ikhwah-ikhwah yang lain akan sependapat dengan saya, bahwa Ustadz Aman Abdurrahman selama ini hanyalah sering menerjemahkan. Akan tetapi di Indonesia berapa juta orang yang mampu menerjemahkan dari bahasa arab ke bahasa Indonesia tidak harus disebut sebagai ulama. Bahkan jujur saya katakan bahwa hasil terjemahan orang lain mungkin jauh lebih baik daripada hasil terjemahan Ustadz Aman Abdurrahman. Jika kita membaca terjemahan beliau, maka akan membuat kita selalu mengulang-ulang bacaannya, karena metode beliau dalam teknis penerjemahan adalah dengan metode lafadziyah bukan ma’naawiyat, sehingga terkadang ungkapannya sulit dipahami oleh pembaca.
Adapun mengenai beberapa karangan buku beliau jika kita lihat kebanyakan hanyalah berupa nukilan-nukilan dari perkataan para ulama saja, yang mana dalam menukil perkataan para ulama tersebut beliau tidak memahami ikhtilaf dan adabnya.
Ustadz Aman Abdurrahman dikatakan sebagai ulama oleh para pengikut dan pengagumnya, tetapi bagi orang lain tentu berbeda. Karena gelar ulama adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat luas dikarenakan kapasitas keilmuan, kelurusan aqidah, kewara’an, baik wara’ atau hati-hati dalam berfatwa, hati-hati atas perkara darah dan harta, hati-hati dalam menjaga sikapnya, dan karya-karyanya telah dikenal oleh masyarakat luas. Mudahnya kita atau sebagian kelompok memberikan gelar ulama telah mendistorsi adab dan akhlaq standar ulama itu sendiri.
Adab dalam menuntut ilmu adalah perkara yang sangat penting, maka dari itu para ulama senantiasa memperhatikan adab-adab tersebut.
Suatu ketika Imam Laits bin Sa’ad melihat para penuntut hadits, kemudian beliau melihat ada kekurangan dalam adab mereka, maka beliau berkata: “Apa ini!? Sungguh belajar adab walaupun sedikit lebih kalian butuhkan dari pada kalian belajar banyak ilmu”. (Al-Jami’:1/405)
Imam Adz-Dzahabi berkata: “Penuntut ilmu yang datang di majelis Imam Ahmad lima ribu orang atau lebih, lima ratus menulis hadits, sedangkan sisanya duduk untuk mempelajari akhlaq dan adab beliau”. (Siyar A’lamun Nubala’:11/316)
Berkata Abu Bakar Bin Al-Muthowi’i: “Saya keluar masuk di rumah Abu Abdillah (Imam Ahmad Bin Hambal) selama 12 tahun sedangkan beliau sedang membacakan kitab Musnad kepada anak-anaknya. Dan selama itu saya tidak pernah menulis satu hadits pun dari beliau, hal ini disebabkan karena saya datang hanya untuk belajar akhlaq dan adab beliau”. (Siyar A’lamun Nubala’:11/316)
Berkata Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri –rahimahullah-: “Mereka dulu tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu hingga mereka belajar adab dan dididik ibadah hingga 20 tahun”. (Hilyatul-Aulia Abu Nuaim 6/361)
Berkatalah Abdullah bin Mubarak –rahimahullah-: “Aku mempelajari adab 30 tahun dan belajar ilmu 20 tahun, dan mereka dulu mempelajari adab terlebih dahulu baru kemudian mempelajari ilmu”. (Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro 1/446)
Dan beliau juga berkata: “Hampir-hampir adab menimbangi 2/3 ilmu”. (Sifatus-shofwah Ibnul-Jauzi 4/120)
Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sanadnya kepada Malik bin Anas, dia berkata bahwa Muhammad bin Sirrin berkata (-rahimahullah-): “Mereka dahulu mempelajari adab seperti mempelajari ilmu”. (Hilyah: 17. Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/49)
Berkata Abullah bin Mubarak: “Berkata kepadaku Makhlad bin Husain –rahimahullah-: “Kami lebih butuh kepada adab walaupun sedikit daripada hadits walaupun banyak”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Mengapa demikian ucapan para ulama tentang adab? Tentunya karena ilmu yang masuk kepada seseorang yang memiliki adab yang baik akan bermafaat baginya dan kaum muslimin.
Berkata Abu Zakariya Yaha bin Muhammad Al-Anbari –rahimahullah-: “Ilmu tanpa adab seperti api tanda kayu bakar sedangkan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Demikian ya ikhwah, adab dan akhlak adalah 2 sifat yang penting sebelum kita berani berfatwa, berani berbicara ini halal dan ini haram, ini boleh dan tidak boleh, si fulan kafir atau masih muslim, oleh karenanya kita juga harus memperhatikan di mana dia mengambil ilmu tersebut dan berhati-hati dalam memilih pengajar dan guru.
Imam Malik Bin Anas berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat orang: Orang yang bodoh walaupun hafalannya banyak (bagaikan orang yang berilmu), Ahlil bid’ah yang menyeru kepada kesesatannya, Orang yang terbiasa berdusta ketika berbicara dengan manusia walaupun dia tidak berdusta ketika menyampaikan ilmunya, dan orang yang shalih, mulia dan rajin beribadah jika dia tidak hafal (dan faham) apa yang akan disampaikan”. (Siyar ‘Alamun Nubala’:8/61)
Imam Al-Khatib Al-Baghdadi berkata: “Seyogyanya bagi para penuntut ilmu untuk belajar kepada ulama’ yang ma’ruf akan agama dan amanahnya”. (Al-Faqif Wal Mutafaqqif:2/96)
Realita yang kita dapatkan hari ini, Ustadz Aman Abdurrahman begitu mudah memberikan vonis dan stempel tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang yang berbeda pendapat dengan beliau. Padahal jika kita perhatikan, permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan itu kebanyakan adalah masalah-masalah yang mana para ulama memang berselisih atasnya. Namun, Ustadz Aman Abdurrahman menyikapinya seolah-olah masalah-masalah tersebut adalah masalah ijma’ yang mana para ulama sama sekali tidak berselisih atasnya.
Hasilnya, (maaf) dengan kearoganannya, Ustadz Aman Abdurrahman tidak segan-segan memberikan vonis-vonis tertentu, yang mana dengan vonis-vonis tersebut terciptalah kebencian dan permusuhan oleh para pengikutnya kepada orang-orang yang berbeda pendapat dengan beliau. Demi Allah, ini adalah ketergeliciran yang nyata yang menjadi penyebab utama terjadinya perpecahan di antara para aktivis Islam di negeri ini.
Ketergelinciran beliau yang sangat parah ini dikarenakan oleh beberapa sebab:
- Tidak memahami perkara ikhtilaf
Menurut hemat saya, ketergelinciran Ustadz Aman Abdurahman dan orang-orang yang semisal dengan beliau dikarenakan beliau tidak memahami adab dalam Thalabul Ilmi dan memahami ikhtilaf dikalangan para Ulama, sehingga beliau tidak bisa membedakan mana ranah ikhtikaf yang masih ada toleransi, dan mana ranah ikhtilaf yang tidak ada lagi toleransi didalamnya. Padahal yakin terhadap masalah yang masih diperselisihkan adalah sikap yang banyak dihindari oleh para ulama, sehingga mereka dengan adabnya sering menanggapi masalah dengan mengatakan “menurut pendapat saya”, “saya menyangkanya begini”, “saya suka begini”, “pendapat dia salah tetapi mengandung kebenaran”, dan lain-lain.
Dengan memahami masalah ini maka tidak ada alasan untuk saling mendiamkan dengan alasan tahzhir. Karena sikap ahlu sunnah jelas, bahwa tidak adanya amar ma’ruf nahi munkar dalam perkara-perkara ikhtilaf:
- Dalam kitab At-Tadzkirul Jiyad li Ahlil Jihad yang ditulis oleh Syaikh Mujahid Abdullah Khalid Adam, beliau mengatakan: “Kebanyakan para muhaqqiq/ulama peneliti menegaskan bahwa tidak ada nahi munkar di dalam permasalahan furu’ sebagaimana perkataan Nawawi rahimahullah, sesungguhnya pokok didalamnya adalah saling menasehati dan penjelasan bagi orang yang mampu atas hal itu di antara ahli ilmu.”
- Imam Al-Ghazali rahimahullahdi dalam kitab Ihya Ulumuddien bahkan memberikan syarat-syarat amar ma’ruf dan nahi munkar, yang jika terjadi kemungkaran yang telah diketahui secara umum tanpa ijtihad, maka setiap yang didalamnya masuk dalam ruang lingkup ijtihad maka tidak ada amar ma’ruf nahi munkar (Ihya al-Ulumudien bab al-Mubin al-Mu’in li Fahmil Arba’in hlm. 193-194 )
- Berkata Imam Nawawi rahimahullah di dalam Raudhah: “Sesungguhnya ulama tidak melakukan nahi munkar terhadap apa yang tidak disepakati kemungkarannya, adapun perkara yang terdapat perbedaan di dalamnya, maka tidak ada nahi munkar Karena semua mujtahid benar atau mujtahid itu satu dan tidak ada di antara kita yang tidak mengetahuinya. Dan tidaklah perbedaan di kalangan sahabat, tabi’in, di dalam masalah furu’ dan tidak ada yang mengingkari sesuatu atas selainnya, sesungguhnya pengingkaran terhadap amar ma’ruf nahi munkar dalam perkara yang masih diperselisihkan baik Nash, Ijma’ dan Qiyas adalah perkara yang jelas”. (Raudhatut Thalibin Juz 1 hlm.219-220)
Adapun jika beliau memang dianggap seorang ulama yang mengklaim mengikuti salafus shalih, maka sudah semestinya beliau mengetahui adab ulama dalam Ikhtilaf sebagaimana yang disebutkan oleh para Imam ahlus sunnah berikut ini:
- Imam Qatadah rahimahullah 117 H beliau pernah mengatakan: “Barang siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf fiqhiyah maka dia tidak mencium baunya ilmu”.
- Al Haafidz Sa’id bin Abi ‘Urbah 156 H mengatakan: “Barang siapa yang tidak mendengar masalah khilafiyah dalam fiqih maka bukanlah dari golongan ulama”.
- Diriwayatkan oleh ‘Usman bin ‘Atho dari Ayahnya 155 H beliau mengatakan: “Tidak diperbolehkan seseorang untuk berfatwa sampai dia betul-betul tahu segala permasalahan khilafiyah, jika tidak maka fatwanya ditolak”.
- Seorang tabiin Al Haafidz Ayyub As Sakhtaani 231 H yang pernah dapat julukan sebagai Sayyidul Ulama oleh Imam Dzahabi mengatakan: “Tinggalkanlah fatwa ulama yang sedikit sekali mengetahui masalah khilafiyah dan peganglah fatwa ulama yang mengetahui banyak masalah khilafiyah“.
- Berikutnya ada Syaikh Al Islam ibnu Taimiyah 727 H mengatakan: “Ulama yang banyak mempelajari ilmu fiqih, maka semakin banyak juga mereka bergelut dengan masalah khilafiyah“. Selanjutnya beliau mengatakan: “Barangsiapa yang mencela apalagi mengafirkan orang lain hanya karena berbeda pendapat, maka dia termasuk dari golongan orang-orang yang menuruti hawa nafsunya”.
- Imam Abu Hanifah pernah dinobatkan sebagai “Orang yang paling banyak mengetahui masalah khilafiyah pada umatnya”.
- Imam Syafi’i pernah menjawab pertanyaan mengenai seorang Mujtahid yang berhak mengeluarkan fatwa, beliau menjawab: “Dia (mujtahid) diharuskan banyak mengetahui ikhtilaf fiqhiyah yang ada, dengan tujuan menghindari kekhilafan yang terdapat padanya sekaligus memperkokoh kebenaran yang diyakininya”.
Ikhwah Fillah, sebagaimana yang telah disinggung oleh para ulama salafus shalih tadi, jelaslah bahwa pengingkaran pada sebuah perbedaan pendapat adalah hal yang tidak boleh kecuali ada beberapa syarat tertentu.
- Beliau Belajar Secara Otodidak
Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al-Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir Al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini.” (Mashadir Asy-Syi’ri Al-Jahili 10)
Para ulama sejak dahulu berkata: “Barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya, maka kesalahannya lebih banyak dari kebenarannya”. (‘Awa’iqut Tholab: 26)
Demikian para ulama bermulazamah, bermusyawarah, berdiskusi terhadap hal-hal yang mereka perselisihkan, memecahkan permasalahan yang mereka hadapi, lalu sikap mereka terhadap perbedaan, adab dan akhlak para ahli ilmu inilah menjadi hal terindah bagi para thalabul ilmi, disinilah mereka mendapatkan qudwah hasanah dari para ulama, inilah yang harus dimiliki oleh para calon-calon para ulama agar tidak belajar sendiri, menyimpulkan sendiri, memahami dan bersikap tasamuh terhadap orang yang menyelisihinya.
Jujur saja saya katakan bahwa Ustadz Aman Abdurrahman ini ceroboh dan nekat. Beliau mempunyai sifat yang mana para ulama takut dan menjauhi sifat tersebut serta sangat berhati-hati dengannya. Sifat yang dimiliki beliau adalah sifat para ahlu bid’ah yang mempertahankan keyakinannya sesatnya dan juga membuat aliran baru dalam banyak hal serta hal-hal yang asing di dalam madzhab.
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah memberikan nasehat :
ينبغي للمسلم أن يستعيذ من الفتن، ولا يشغب بذكر غريب المذاهب لا الأصول ولا في الفروع، فما رأيت الحركة في ذلك تحصل خيرًا، بل تثير شرًا وعداوة ومقتاً للصلحاء والعباد من الفريقين، فتمسك بالسنة، والزم الصمت، ولا تخض فيما لا يعنيك، وما أشكل عليك فرده إلى الله ورسوله، وقف وقل: الله (ورسوله أعلم [الذهبي – السير ]
“Seyogyanya bagi seorang muslim berlindung dari fitnah, dan tidak menyibukkan dengan perkara yang asing di dalam mazhab, bukan saja dalam perkara pokok dan bukan saja perkara cabang, maka tidaklah aku melihat orang yang berbuat demikian mendapatkan kebaikan, bahkan berdampak buruk menimbulkan permusuhan, kebencian bagi orang-orang shalih dan para hamba-hamba dari 2 (dua) kelompok, maka berpeganglah kepada Sunnah, dan melazimi diam, dan janganlah fokus kepada hal yang tidak bermanfaat, dan apabila musykil/sulit bagimu, maka kembalilah kepada Allah dan RasulNya, bersikaplah dan katakan Allah dan RasulNya lebih mengetahui”. (Adz-Dzahabi – Siyar An-Nubala)
Kebiasaan orang-orang seperti beliau ini adalah sering berputar-putar dalam api fitnah, terutama dalam masalah aqidah, membangun keyakinannya dengan pasti dan pasti, persis seperti ahlul kalam di dalam membangun aqidahnya. Maka terkumpul lah pada diri mereka keburukan dan kekejamannya seperti khawarij, sering berdusta dan menipu seperti rafidhah, dalam fiqih mereka anti Fiqih dan Ushul Fiqih dan cenderung anti bermadzhab, sehingga dalam mentarjih suatu masalah di dalam mereka adalah orang yang tidak berkompeten mengeluarkan dalil dan mampu mengkomparasikan dalil lagi cakap beristimbath. Hasilnya sudah dapat dibayangkan, keluarlah fiqh yang lemah daripada fiqh yang kuat, produk syariat yang dipakai jauh dari maslahat dan dekat kepada mudharat sehingga Ustadz. Aman Abdurrahman dan orang yang semisalnya sulit dikatakan orang yang faqih.
Kecenderungan mereka seperti ahlul bid’ah yang membangun manhaj dan bid’ahnya dengan memasang bendera al-wala wal bara’ kepada orang yang menyelisihi mereka dengan vonis-vonis keji seperti kafir, fasiq, bid’ah. Padahal sesungguhnya mereka yang melakukan bid’ah dan kesesatan dengan membuat kaedah-kaedah baru di dalam agama.
Kecenderungan sikap seperti ini digambarkan oleh Syaikh Athiyyatullah yang mencoba membongkar salah satu kerusakan mereka dengan mengatakan:
“Orang-orang yang terkena fitnah (Takfiri) itu membuat-buat kaidah dari diri mereka sendiri dan meletakkan batasan-batasan bagi agama Allah, mereka menyusunnya dengan ungkapan-ungkapan baru yang diada-adakan, lalu mereka ‘mengadili’ masyarakat dengan kaedah-kaedah tersebut. Barangsiapa memasuki ‘kaidah-kaidah’ yang mereka masuki, maka ia dianggap Muslim oleh mereka. Sedangkan orang yang tidak memasuki apa yang mereka masuki, maka ia dianggap orang kafir oleh mereka.” (Jawabus Su’al Jihad Difa’ hal 26 )
NASEHAT PARA ULAMA JIHAD KEPADA ORANG-ORANG SEPERTI USTADZ AMAN ABDURRAHMAN
Syaikh Athiyyatullah Al-Liby rahimahullah menasehati dengan mengatakan :
“Tidak selayaknya memutuskan secara ngotot sampai kepada taraf yakin pada setiap masalah. Maksud saya masalah yang diperselisihkan dan masalah ijtihadi. Karena sesungguhnya kebanyakan masalah-masalah dien (bahkan kebanyakan) dibangun dengan di atas zhan (sangkaan).” (I’dad Syar’i Wats-Tsaqafi hlm: 22)
Kembali beliau mengatakan :
“Hendaknya kita juga berkaca kepada kemampuan kita, sehingga kita tidak dengan gegabah menuduh dan memvonis orang yang sebetulnya kita belum sampai taraf mufti apalagi dia merupakan panutan teladan dalam dakwah. Bayangkan jika setiap manusia, dengan kemampuan agama yang terbatas lalu tanpa pertimbangan kemudian memvonis manusia (dengan asal-asalan), apa jadinya agama ini?”
Beliau juga mengatakan kembali :
“Ini adalah sebuah nasihat bagi para pemuda kita yang terburu-buru dalam memastikan pada seluruh masalah yang dibangun di atasnya perselisihan dan perbedaan, yang didalamnya terdapat berbagai ijtihad.” (I’dad Syar’i wat-Tsaqafi hlm 23)
Syaikh Abu Yahya Al-Libi rahimahullah menjelaskan dalam kesempatan daurah Syar’i nya di Waziristan :
“Kedudukan fatwa dan kedudukan yang ini halal dan itu haram sebelumnya merupakan perjalanan yang panjang bagi seseorang untuk bisa mencapainya, yang demikian itu tidak mungkin bagimu untuk mencapainya dalam sebulan atau dua bulan, bahkan tidak setahun atau dua tahun. Aku tidak ingin mendengar seseorang dari kamu keluar dari sini dan kalian memimpin majelis-majelis lalu ia berkata ini halal dan itu haram.” (Al-I’dad asy-Syar’i wats-Tsaqafi hlm.23)
Para Ulama Saja Takut Berfatwa
Ustadz Aman Abdurrahman sering mengklaim mengikuti manhaj salaf, tetapi faktanya beliau tidak mengikuti sikap para ulama salaf dalam permasalahan ini. Beliau mendahului para salaf dalam bersikap, sehingga menghilangkan sikap tawadhu’ dengan berani mengeluarkan fatwa padahal Ilmu yang ada pada beliau masih jauh untuk bisa mengeluarkan fatwa.
Berkata Ibnu Abi Laila:
لقد أدركت عشرين ومائة من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم من الأنصار إن كان أحدهم ليسأل عن المسألة فيردها إلى غيره فيرد هذا إلى هذا وهذا إلى هذا حتى ترجع إلى الأول وإن كان أحدهم ليقول في شيء وانه ليرتعد
“Sungguh aku telah bertemu dengan 120 sahabat Nabi ﷺ dari kaum Anshar, sungguh ada salah seorang dari mereka ditanya tentang satu permasalahan maka iapun melemparkannya kepada yang lainnya, maka yang ini melemparkan kepada yang itu, dan yang itu menyerahkannya kepada yang ini hingga kembalilah permasalahan tersebut kepada orang yang pertama tadi. Dan sungguh salah seorang dari mereka berkata tentang sesuatu dan ia dalam keadaan gemetar”. (Tarikh Bagdad 13/412, Tarikh Ad-Dimasyq 36/87 dari Sufyan Ibnu Uyainah ia berkata, “Telah mengabarkan kepadaku ‘Ato’ bin As-Saib dari Ibni Abi Laila….”)
Beliau juga berkata :
أدركت عشرين ومائة من الأنصار من أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم ما منهم من أحد يحدث إلا ود أن أخاه كفاه إياه ولا يستفتى عن شيء إلا ود أن أخاه كفاه الفتوى
“Aku bertemu dengan 120 sahabat Nabi ﷺ dan tidak seorangpun dari mereka yang berfatwa tentang suatu perkara kecuali ia berharap agar saudaranya telah mencukupi fatwanya (sehingga ia tidak perlu lagi berfatwa)”. (Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/433 no 800)
Lihatlah bagaimana keadaan sekarang telah menjadi terbalik. Sesuatu yang dulu para salaf lari darinya (yaitu berfatwa), namun sekarang malah menjadi sesuatu yang diminati. Dan sebaliknya, sesuatu hal yang dulu dituntut unutk melakukannya (yaitu berfatwa dengan hati-hati dan di atas ilmu), namun sekarang malah menjadi sesuatu yang dijauhi. (Faidhul Qadir 1/159)
Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Seorang pria menemui Malik bin Anas berhari-hari lamanya untuk bertanya tentang suatu perkara, namun Malik tidak memberi jawaban, maka iapun berkata, ‘Wahai Abu Abdillah sesungguhnya aku ingin keluar (kota) dan aku telah lama berulang-ulang bolak-balik menemuimu!’ Maka Malik pun menundukan kepalanya lama kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Masya Allah wahai fulan, sesungguhnya aku tidaklah berkata kecuali yang menurutku baik dan aku tidak bisa menguasai jawaban pertanyaanmu ini”. (Fatawa Ibnus Solah 1/13)
Dari Al-Haitsam bin Jamil ia berkata: “Aku menyaksikan Imam Malik bin Anas ditanya 48 pertanyaan dan ia berkata pada 32 pertanyaan tersebut ‘Aku tidak tahu’.”
Dan diriwayatkan juga darinya bahwa ia ditanya suatu pertanyaan lalu ia berkata, “Aku tidak tahu” maka dikatakan kepadanya “Ini adalah pertanyaan yang ringan dan mudah!”, maka iapun marah dan berkata, “Tidak ada dalam ilmu sesuatupun yang ringan, tidakkah engkau mendengar firman Allah :
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (QS. Al-Muzammil : 5)
Maka ilmu itu seluruhnya berat terutama sesuatu yang akan ditanya pada hari kiamat (yaitu orang yang berfatwa akan dimintai pertanggungjawabannya pada hari kiamat-pen)”.
Imam Malik juga berkata : “Jika para sahabat Nabi ﷺ merasa berat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan tidaklah salah seorang dari mereka menjawab hingga ia melihat pendapat sahabatnya yang lain, padahal mereka telah dianugrahi taufiq dan kelurusan dari Allah dan sucinya hati-hati mereka. Maka lantas bagaimanakah dengan kita yang kesalahan-kesalahan serta dosa-dosa kita telah menutup hati-hati kita” (Fatawa Ibnus Salah 1/13-15)
Berkata Ibnu Khaldah kepada Rabi’ah :
يا ربيعة إياك أن تفتي الناس فإذا جاءك الرجل يسألك فلا تكن همتك أن تخرجه مما وقع فيه ولتكن همتك أن تتخلص مما سألك عنه
“Wahai Rabi’ah waspadalah engkau dari memberi fatwa kepada manusia, maka jika datang kepadamu seseorang yang bertanya kepadamu maka janganlah tujuanmu adalah untuk menyelamatkan dia (si penanya) dari apa yang sedang ia alami, namun jadikanlah tujuanmu adalah agar engkau bisa selamat dari pertanyaannya”. ( Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/439 no 823)
Ada orang yang bertanya kepada Imam Malik dan Imam Malik tidak menjawabnya. Maka ia berkata, “Wahai Abu Abdillah jawablah pertanyaanku!” Imam Malik berkata, “Celaka engkau apakah engkau hendak menjadikan aku hujjah antara aku dan Allah? Maka aku yang lebih dahulu butuh untuk aku melihat bagaimana keselamatanku kemudian aku menyelamatkan engkau”. (Al-Muwafaqaat 4/288 )
Oleh karena itu tidaklah Ibnul Musayyib berfatwa kecuali ia berkata, اللهم سلمني وسلمه مني “Ya Allah selamatkanlah aku dan selamatkanlah ia dariku”. ( Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/439 no 824)
Berkata Imam Malik, “Terkadang aku menerima satu pertanyaan yang menjadikan aku tidak bisa makan dan minum serta tidak bisa tidur”.
Beliau juga berkata, “Sungguh aku pernah memikirkan satu permasalahan sejak belasan tahun namun aku belum bisa memiliki pendapat yang pas hingga sekarang”.
Beliau juga berkata, “Terkadang aku menemukan permasalahan maka akupun memikirkannya beberapa malam”. (Al-Muwafaqaat 4/286 permasalahan yang ketujuh)
Dan dari Imam Malik juga bahwasanya terkadang beliau ditanya 50 pertanyaan maka ia tidak menjawab kecuali satu pertanyaan saja dan ia berkata,
من أجاب في مسألة فينبغي من قبل أن يجيب فيها أن يعرض نفسه على الجنة والنار وكيف يكون خلاصة في الآخرة ثم يجيب فيها
“Barangsiapa yang menjawab suatu pertanyaan maka hendaknya sebelum ia menjawab maka ia meletakan dirinya di antara surga dan neraka dan bagaimanakah jalan keluar di akhirat kemudian ia menjawab pertanyaan tersebut”.
Berkata sebagian orang, “Demi Allah Imam Malik jika ditanya suatu pertanyaan maka demi Allah ia sedang berdiri antara surga dan neraka”.
Berkata Asy-Syatibhi mengomentari perkataan Malik, “Karena hal ini adalah memutuskan hukum Allah. Sungguh aku telah bertemu dengan para ulama dan ahli fiqih di negeri-negeri kami, dan sungguh salah seorang dari mereka jika ditanya tentang satu permasalahan maka seakan-akan kematian di hadapan mereka, dan aku melihat penduduk negeri zaman kita ini mereka begitu suka berbicara tentang halal dan haram dan suka berfatwa. Jika seandainya mereka berhenti memikirkan akhir yang mereka tuju kelak maka mereka akan mempersedikit hal ini.
Sesungguhnya Umar bin Al-Khatthab, Ali, dan seluruh para sahabat yang mulia jika mereka berhadapan dengan permasalahan-permasalahan –padahal mereka adalah generasi yang terbaik yang diutus kepada mereka Nabi ﷺ- maka merekapun mengumpulkan para sahabat Nabi ﷺ dan merekapun bertanya kepada mereka, kemudian setelah itu mereka berfatwa. Adapun penduduk zaman kita sekarang ini jadilah kebanggaan mereka adalah berfatwa” (Al-Muwafaqaat 4/287)
Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Malik tentang suatu permasalahan dan sang penanya tersebut menyebutkan bahwa ia diutus dari perjalanan sejauh enam bulan perjalanan dari Magrib untuk menanyakan permasalahan tersebut. Maka Imam Malik berkata, “Katakan kepada yang mengutusmu bahwa aku tidak memiliki ilmu tentang permasalahan ini”. Orang itu berkata, “Kalau begitu siapakah yang mengetahui permasalahan ini?”, Imam Malik berkata, “Orang yang diajari oleh Allah”.
Imam Malik ditanya oleh seseorang tentang permasalahan dan orang tersebut telah dititipkan oleh penduduk Magrib kepadanya, maka Imam Malik berkata, “Aku tidak tahu, kami tidak pernah menghadapi permasalahan seperti ini, dan kami tidak pernah mendengar guru-guru kami berbicara tentang permasalahan ini akan tetapi kembalilah engkau ke Magrib”. Dan tatkala keesokan harinya orang itupun datang dan telah mengangkat barang-barangnya di atas begolnya yang ia tunggangi dan ia berkata, “Pertanyaanku bagaimana?” Imam Malik berkata, “Aku tidak tahu jawabannya”. Orang itupun berkata, “Wahai Abu Abdillah aku telah meninggalkan di belakangku orang yang berkata bahwa tidak ada di atas muka bumi ini yang lebih pandai daripada engkau”. Imam Malik pun berkata, “Ada apa denganmu jika engkau tidak bersedih, jika engkau kembali maka kabarkanlah mereka bahwa aku tidak menguasai jawaban pertanyaan itu.” ( Al-Muwafaqaat 4/288 )
Kita katakan kepada Ustadz Aman Abdurrahman, bukanlah berarti jika dikatakan tidak boleh berfatwa tanpa ilmu artinya tidak boleh berfatwa sama sekali, akan tetapi permasalahannya adalah beliau sembrono dan lancang terhadap perkara-perkara yang masih diperselisihkan, berani yakin terhadap perkara yang bersifat zhanniyah, terlalu berani terhadap ilmu yang mana para ulama sendiri banyak tergelincir didalamnya. Seharusnya beliau mendahulukan menyampaikan ilmu yang tidak mengandung perselisihan didalamnya, ilmu yang membuat ummat optimis dan bersatu, karena ilmu adalah amanah, tetap berdakwah dengan tetap menjadi pemersatu ummat karena memberikan ilmu adalah kewajiban, orang yang memiliki ilmu jika nanti ditanya tentang apa yang ia ketahui maka wajib bagi dia untuk menjawabnya.
Dan bukankah kita sepakat untuk tidak mengatakan bahwa ini adalah hukum syar’i, kecuali pada permasalahan yang telah kita ketahui secara yakin bahwa persoalan tersebut adalah hukum dan Syari’at Allah? Seperti permasalahan-permasalahan yang disebutkan secara nash dan disepakati secara ijma’. Adapun mayoritas persoalan yang kita bicarakan hari ini adalah persoalan ijtihad dan kajian, yang mana kesimpulannya diambil dengan cara istidlal (memahami dalil), dan bukan dalam persoalan yang bisa dikatakan: ini adalah hukum Allah. Allah Ta’ala berfirman:
ولا تقولوا لما تصف ألسنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الله الكذب
“Dan janganlah kalian mengatakan dengan lisan kalian secara dusta bahwa ini halal dan ini haram untuk membuat kedustaan kepada Allah”.
Dan Rasul ﷺ bersabda:
وإذا حاصرت أهل حصن فأرادوك أن تنزلهم على حكم الله فلا تنزلهم على حكم الله، ولكن أنزلهم على حكمك فإنك لا تدري أتصيب حكم الله فيهم أم لا
”Dan apabila engkau mengepung suatu benteng, lalu penghuni benteng tersebut meminta agar kamu memperlakukan mereka sesuai dengan hukum Allah maka janganlah kamu memperlakukan mereka dengan hukum Allah. Akan tetapi perlakukanlah mereka sesuai dengan hukummu, karena kamu tidak tahu apakah kamu tepat dalam memperlakukan mereka sesuai dengan hukum Allah atau tidak”. (Hadits riwayat Muslim dan lainnya dari hadits Buraidah bin Al Hushaib.)
Demikianlah cara para ulama’ dan para imam kita dalam berfatwa dan berpendapat pada semua permasalahan, yaitu mengatakan: Kami berpendapat begini … Kami tidak berpendapat begini … Kami senang begini … Kami tidak senang yang begini … Kecuali pada persoalan yang ada nashnya dari Allah dan Rasul-Nya, atau pada persoalan yang kejelasannya setara dengan yang ada nashnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama’ kita pada tempatnya, sebagaimana juga yang dapat engkau lihat secara panjang lebar di dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in dan yang lainnya.
Intinya bahwa apa yang saya katakan ini adalah pendapat saya. Jika benar maka dari Allah dan jika salah maka dari saya dan dari Setan, sementara Allah Ta’ala dan Rasul-Nya berlepas diri darinya.”
Demikianlah penjelasan Syaikh ‘Athiyatullah dalam Liqa’ Maftuh nya. Sedangkan dalam mengomentari hadits di atas Ibnul Qayyim beliau berkata: “Dalam hadits ini terdapat hujjah yang sangat jelas atas tidak diperbolehkannya mengatakan hukum Allah pada persoalan ijtihadi yang mana dia tidak ketahui bahwa hal tersebut secara yakin memang hukum Allah. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf: Takutlah kalian untuk mengatakan; Allah telah menghalalkan begini, atau mengharamkan begini, sehingga kelak Allah akan mengatakan kepadanya: Kau dusta, Aku tidak menghalalkan begini dan tidak mengharamkan begini.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah I/114)
Maka takutlah engkau wahai Ustadz Aman Abdurrahman, terhadap tertumpahnya darah seorang muslim yang terbunuh akibat fatwa-fatwa sesat mu. Engkau belum pantas untuk berfatwa terhadap hal-hal yang berkaitan dengan darah apalagi persoalan tersebut masih diperselisihkan oleh banyak ulama. Tawadhu’lah engkau terhadap ilmu. Allah berfirman :
”Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam. Ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutukinya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93)
Kemudian, dalam hadits dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ, bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ مُسْلِمٍ
“Lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan pembunuhan terhadap seorang muslim.” (Hr. Nasai 3987, Turmudzi 1395 dan dishahih al-Albani).
Rasulullah ﷺ bersabda:
القضاة ثلاثة: قاضيان في النار وقاضٍ في الجنة، رجلٌ علم الحق فقضى به فهو في الجنة، ورجلٌ علمَ الحق فقضى بغيره فهو في النار، ورجلٌ قضى للناس على جهل فهو في النار
”Hakim itu ada tiga macam, dua di neraka dan satu di surga. Pertama orang yang mengetahui kebenaran lalu dia memutuskan perkara dengannya, maka dia di surga. Kedua, orang yang mengetahui kebenaran tapi dia tidak memutuskan perkara dengannya maka dia di neraka. Ketiga orang yang memutuskan perkara berdasarkan kebodohan maka dia di neraka”.
Ibnu Taimiyah dalam mengomentari hadits ini mengatakan: “Apabila orang yang memutuskan perkara di tengah-tengah manusia dalam masalah harta, darah dan kehormatan saja jika dia bukan orang yang berilmu dan bersikap adil dia masuk neraka, lalu bagaimana dengan orang yang memutuskan perkara dalam masalah aliran, agama, prinsip-prinsip iman, ilmu-ilmu ketuhanan dan pengetahuan-pengetahuan universal tanpa berdasarkan ilmu dan sikap adil”.
Namun demikian kita dapatkan banyak para aktivis perjuangan Islam, bagi mereka itu perkara yang paling gampang adalah memvonis orang lain dengan vonis sesat dan menyimpang, atau vonis benar dan ma’shum (terjaga dari kesalahan), tanpa ada dasar berupa ilmu atau sikap adil.
Takutlah engkau wahai Ustadz Aman abdurahman yang sembrono dan lancang terhadap darah ummat Islam yang tertumpah… Masikah engkau mengingat Kisah Usamah bin Zaid?
Dari Usamah bin Zaid radhiallahu anhu, dia berkata: Pernah Rasulullah ﷺ mengirim kami ke kabilah Hirqah dari suku Juhainah, maka kamipun mendatangi mereka sampai di perairan mereka. Lalu saya bersama seorang Anshar mengejar seorang dari mereka. Ketika kami telah menangkapnya dia mengucapkan laa ilaha illallah, sehingga orang Anshar yang bersamaku tadi menahan diri sementara aku tetap menusuknya dengan tombakku sampai aku berhasil membunuhnya. Kemudian tatkala kami sampai Madinah peristiwa itu sampai kepada Nabi ﷺ, maka beliaupun bersabda kepadaku: “Wahai Usamah apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaha illallah?” Sayapun menjawab: “Wahai Rasulullah, dia itu hanya mau menyelamatkan diri”. Maka Nabi pun bersabda: “Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaha illallah?”Beliau pun terus mengulang-ulang sabdanya itu sampai-sampai aku berangan-angan seandainya aku belum masuk Islam sebelum hari itu. (Muttafaq ‘alaih).
Jawaban apa yang hendak engkau jawab di hadapan Allah nantinya atas darah-darah yang tertumpah dan kehormatan-kehormatan yang ternoda atas fatwa-fatwa sesatmu?
Ibnu Mas’ud juga berkata:
إن الذي يفتي الناس في كل ما يستفتونه فيه مجنون
“Sesungguhnya orang yang berfatwa kepada manusia pada setiap perkara yang mereka tanyakan maka ia adalah orang gila”. (Atsar riwayat At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 9/188 no 8923, berkata Al-Haitsami “Para perawinya terpercaya” (Majma’ Az-Zawaid 1/183) dan juga Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/432, dan perkataan yang semisal ini juga dikatakan oleh Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol 1/433 )
فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
“…Merekapun ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu maka merekapun sesat dan menyesatkan”. (HR Al-Bukhari 1/50 no 100, Muslim 4/2058 no 2673 )
Berkata seorang penyair:
ومن نال العلومَ بغير شيوخٍ
يضلُّ عن الصراط المستقيمِ
وتلتبس الأمورُ عليه حتى
يكونَ أضلَّ من تَوْمَى الحكيمِ
تصدَّقَ بِالْبناتِ على رجالٍ
يريد بذلك جناتِ النَّعِيمِ
Barangsiapa yang meraih ilmu tanpa melalui guru…
Maka ia akan tersesat dari jalan yang lurus…
Dan perkara-perkara menjadi rancu baginya…
Hingga lebih sesat daripada Hakim Tauma…
Hakim Tauma telah (berfatwa untuk) menyedekahkan para wanita kepada para lelaki…
Karena ia berharap masuk surga yang penuh kenikmatan…
Tentunya fatwa Hakim Tauma ini menyelisih syari’at karena syari’at kita mewajibkan mahar dalam pernikahan. Ia berniat baik tatkala berfatwa yaitu bersedekah bagi para lelaki yang mungkin kesulitan mencari mahar untuk menikah, namun niat baik saja tidak cukup apalagi jika melanggar syari’at.
Karena terlalu bodohnya Hakim Tauma hingga dikatakan bahwa himar (keledai) tunggangannya berkata:
قال حمار الحكيم تومى لو أنصف الدَهْرُ كنتُ أركبُ
لأَنَّنِي جَاهل بَسِيْطٌ وصاحبي جاهلٌ مركَّبُ
Berkata himar (tunggangannya) si Hakim Tauma
“Kalau memang zaman itu adil mestinya akulah yang menunggangi
Karena aku bodoh murni dan tuanku bodoh kuadrat”
(Lihat kedua syair ini dalam syarah mandzumah Al-Waraqaat oleh Syaikh Utsaimin pada penjelasan makna ilmu)
Wahai Ustadz Aman Abdurrahman, kenapa engkau banyak berdusta atas nama Allah lalu menghalalkan darah yang haram untuk ditumpahkan? Kelak engkau akan ditanya oleh Allah atas apa yang engkau ucapkan.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”. (QS. 17:36)
“Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah apa saja yang tidak kamu ketahui”. (QS. 7:33)
Syaikh Utsaimin berkata: “Sesungguhnya pembicaraan tentang permasalahan-permasalahan agama (tanpa ilmu) adalah sangat berbahaya karena hal ini merupakan pembicaraan tentang Allah tanpa ilmu”. ( At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 322 )
Berkata Al-Munawi: “…Karena sesungguhnya seseorang yang berfatwa pada hakekatnya adalah wakil Allah dalam menjelaskan hukum-hukum Allah, maka jika ia berfatwa di atas kebodohan atau tanpa ilmu atau menggampangkan dalam berfatwa atau dalam mengambil hukum maka ia telah menyebabkan dirinya untuk masuk ke dalam neraka karena keberaniannya yang ngawur tentang hukum-hukum Allah. Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَاماً وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ تَفْتَرُونَ
“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal’. Katakanlah: ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”. (QS. 10:59)
Az-Zamakhsyari berkata: “Cukuplah ayat ini sebagai peringatan yang sangat keras terhadap sikap nekat dalam hukum perkara-perkara yang ditanyakan dan merupakan pendorong untuk wajib berhati-hati dalam hal ini dan agar tidak seorangpun berkata tentang hukum sesuatu bahwasanya hukumnya adalah boleh atau tidak boleh kecuali setelah mantap (mengusai dengan baik hukumnya) dan dalam keadaan yakin. Barangsiapa yang tidak dalam keadaan yakin –tatkala berfatwa- maka hendaknya ia takut kepada Allah dan hendaknya ia diam karena jika tidak maka ia telah berdusta atas nama Allah”. (Faidhul Qodir 1/158-159 )
Seseorang bertanya kepada ‘Amr bin Dinar suatu perkara dan ‘Amr bin Dinar tidak memberikan jawaban kepadanya maka orang itu berkata, “Sesungguhnya ada sesuatu pada diriku tentang perkara ini maka jawablah!” Maka ‘Amr berkata : ‘Jika dalam dirimu terdapat sesuatu seberat gunung Abu Qubais lebih aku sukai daripada ada pada diriku (keraguan) tentang perkara ini seberat sehelai rambut”. ( Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/437 no 815 )
Demikian nasehat karena Allah Ta’ala ini kami sampaikan semata –mata karena mengharap wajah Allah. Shallallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa Ala Alihi wa Sahbihi Ajmai’in. Waallahul musta’an. Waallahu A’lam.
(aliakram/arrahmah.com)