JAKARTA (Arrahmah.com) – Berikut ini redaksi tampilkan selengkapnya surat terbuka Majelis Mujahidin menggugat Rezim Jokowi-JK, yang kami kutip dari laman majelis mujahidin.com
Surat Terbuka
Menggugat Rezim Jokowi-JK
Mengingat:
- Pemerintahan Presiden Joko Widodo belum mencapai 100 hari berlangsung, sejak pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 20 Oktober 2014, namun kebijakan yang dikeluarkan telah menimbulkan gejolak di masyarakat. Presiden yang tampil merakyat, ternyata kebijakannya menyengsarakan rakyat. Sementara para Menteri Kabinet Kerja melontarkan berbagai wacana yang meresahkan masyarakat, dan bersifat adu domba.
- Sistem politik kenegaraan Indonesia adalah sistem presidensiel dalam negara hukum, bukan sistem otoritarianisme dalam negara komunis. Kekuasaan presiden dibatasi oleh undang-undang dan produk hukum Negara.
- Negara Indonesia adalah Negara Berketuhanan Yang Maha Esa, maka tidak dibenarkan membuat aturan yang bertentangan dengan agama, tidak diperkenankan melakukan penodaan terhadap agama, atau mengintimidasi umat beragama.
Menimbang:
- Perintah Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam Qs. Ali ‘Imran ayat 159 dan Qs. Asy‑Syura ayat 38, tentang kewajiban kaum muslimin untuk bermusyawarah di dalam menjalankan urusan kemasyararakatan, pemerintahan dan kenegaraan.
- Larangan Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam Qs. Al‑Isra’ ayat 16 bahwa tidak boleh memberi peluang kepada orang‑orang yang lebih mengutamakan kepentingan duniawi dan mengabaikan penegakan hukum‑hukum Allah, dan menelantarkan rakyat di dalam memimpin negara dan pemerintahan.
- UUD NRI tahun 1945 Bab XA tentang HAK ASASI MANUSIA, pasal 28I dan 28J
- Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dan Bab XI tentang AGAMA, pasal 29 ayat (1) dan (2). Dan UUD NRI tahun 1945 Bab III tentang KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA, pasal 4 jo pasal 7A ayat (1), jo pasal 9 ayat (1)
- UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, Bab II tentang DASAR, FUNGSI DAN TUJUAN, pasal 3 dan Bab III tentang PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN, pasal 4.
Memperhatikan:
- Kegelisahan sosial masyarakat atas kebijakan Presiden Jokowi yang menaikkan harga BBM dan TDL (Tarif Dasar Listrik) sangat membebani hidup rakyat.
- Pengkhianatan Presiden Jokowi terhadap rumusan resmi Pancasila 18 Agustus 1945, dan bersikeras menggunakan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai gantinya, berarti direks dan indireks telah melakukan upaya kudeta ideologis. Dalam visi dan misi pemerintahannya, Presiden Jokowi menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 dan Trisakti sebagai ideologi penuntun, penggerak, pemersatu perjuangan dan bintang pengarah bangsa Indonesia. Hal ini merupakan penyimpangan ideologi sekaligus ketidaktaatan terhadap kewajiban memegang teguh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, sebagaimana sumpahnya saat dilantik sebagai Presiden RI.
- Adanya indikasi kuat intervensi asing, antara lain Amnesty Internasional untuk memarginalisasi peran Agama dalam bernegara, dengan usulan mencabut UU Penodaan Agama, sehingga mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara.
- Kebijakan dan wacana para Menteri Kabinet Kerja Jokowi yang mengindikasikan hendak menghidupkan komunisme di Indonesia, dengan menumbuh suburkan paham sesat, menyebarkan wacana yang bersifat adu domba antar umat beragama dan kelompok masyarakat, seperti:
- Mendagri Tjahjo Kumolo menyebarkan wacana pengosongan kolom Agama dalam E-KTP yang meresahkan rakyat beragama, dengan wacana penghapusan UU Penodaan Agama, SKB Tiga Menteri tentang pendirian rumah ibadah, dan UU Anti Komunisme.
- Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan ingin mengevaluasi proses belajar mengajar di kelas, dan akan merevisi tata cara berdo’a yang tidak didominasi ajaran Islam. “Saat ini, kita sedang menyusun, tatib (tata tertib) soal aktivitas, bagaimana memulai dan menutup sekolah, termasuk soal do’a yang menimbulkan masalah,” kata Anies di kantornya beberapa waktu lalu. “Sekolah negeri harus mempromosikan sikap Ketuhanan Yang Maha Esa bukan satu agama,” katanya lagi. Sikap Mendikbud ini aneh, memisahkan antara agama dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukankah berdo’a dianggap urusan pribadi? Di masa orde lama, Presiden Soekarno bahkan gembong Komunis Aidit sekalipun, tidak mempersoalkan tata cara do’a.
- Menag Lukman Hakim Saifuddin menganggap Bahai sebagai agama, dan melestarikan berbagai aliran sesat, termasuk sekte Syi’ah, Ahmadiyah, yang sudah dinyatakan sebagai aliran sesat oleh MUI dan surat edaran Departemen Agama RI.
- Pernyataan Ditjen Bimas Islam Machasin yang intoleran, menyerukan pemakaian atribut Natal bagi karyawan muslim di perusahaan milik non Islam.
- Pernyataan Ketua BNPT Saud Usman Nasution bahwa, “Terorisme di Indonesia tidak akan berhenti sampai cita-cita para teroris mendirikan Negara Islam tercapai.” Mengaitkan Islam dengan terorisme, merupakan penghinaan terhadap umat Islam.
- Pernyataan diskriminatif Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama, Mubarok, tentang perlunya penataan izin rumah ibadah, termasuk pula materi khutbah yang dilakukan pada ruang publik. “Agar khutbah itu lebih menyejukkan. Tidak mengeluarkan materi yang memancing amarah dan lainnya,” paparnya. Pengaturan materi khutbah ini membuka kembali memori umat Islam ke era Orde Baru, saat itu pemerintah Soeharto mengawasi dan menindak tegas para ulama dan da’i, bahkan politisi dan sastrawan di bawah UU Subversif.
- Pernyataan mantan penasihat Tim Transisi KH. Hasyim Muzadi: “Sudah saya ingatkan bahwa ide ini akan membebani pemerintahan Jokowi-JK sebagai pemerintahan yang terkesan pelan-pelan tidak mempedulikan agama. Menurutnya, keinginan pengosongan kolom agama dalam KTP berasal dari kelompok yang sepertinya beragama tapi sesungguhnya tidak beragama. Pemerintahan Jokowi-JK saya harap hati-hati, karena hal-hal seperti ini sesungguhnya tidak berguna bagi bangsa, tidak berguna pula untuk seluruh umat beragama di Indonesia,” katanya di depan wartawan di Jakarta pada 11 November 2014 lalu.
Memutuskan:
- Menuntut Presiden Joko Widodo mempertanggung-jawabkan secara konstitusional terhadap visi misinya “Meneguhkan kembali jalan ideologis”, menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 dan Trisakti sebagai ideologi penuntun, penggerak, pemersatu perjuangan dan sebagai bintang pengarah bangsa Indonesia.
- Menuntut Presiden Joko Widodo agar menghentikan segala kebijakan yang menyengsarakan rakyat, dan mengontrol para pejabatnya agar tidak menyebarkan opini atau wacana yang mendiskreditkan agama dan umat beragama, sehingga memberi peluang munculnya paham anti agama serta sikap liberal dalam beragama.
- Majelis Mujahidin menyerukan kepada DPR RI dan MPR RI untuk segera melakukan langkah-langkah konstituisional (impeachment) terhadap Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Yusuf Kalla, apabila Presiden Joko Widodo tidak mau melaksanakan poin pertama dan kedua di atas, untuk menghindari kekacauan pemerintahan serta konflik horizontal di masyarakat.
- Menyerukan kepada TNI dan seluruh rakyat Indonesia untuk segera menghentikan kebijakan anti agama rezim Jokowi-Kalla serta wacana yang tendensius sebelum terjadi bencana besar bagi bangsa Indonesia, sebagaimana pernah terjadi pada 30 September 1965 yang terkenal dengan peristiwa G 30 S/ PKI.
Yogyakarta, 19 Shafar 1436 H/11 Desember 2014
Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Tembusan-tembusan:
- MPR RI
- DPR RI
- Menteri-menteri
- Mahkamah Agung
- Pimpinan pusat Partai-partai politik
- MUI Pusat
- Pimpinan pusat Ormas
- Media massa
(azm/arrahmah.com)