(Arrahmah.id) – Allah membagi manusia dalam tiga golongan: Mukminun, Kafirun dan Munafiqun. Pembagian ini bukan teori hampa, tapi kenyataan kehidupan yang pernah terjadi pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dan akan selalu terulang dalam sejarah umat Islam sampai akhir zaman. Selama masih ada perseteruan antara Mukminun melawan Kafirun, di tengahnya pasti ada Munafiqun.
Pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam kelompok Mukminun diwakili oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kelompok Kafirun diwakili Quraisy pada periode Makkah, dan ditambah dengan Yahudi pada periode Madinah. Sementara kelompok Munafiqun baru muncul pada periode Madinah, yang diwakili Abdullah bin Ubay dan para loyalisnya yang jumlahnya minoritas dibanding jumlah loyalis Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam.
Karakteristik Munafiqun
Keompok Munafiqun pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam memiliki karakteristik sebagai berikut:
Pertama, lahir karena dendam politik. Abdullah bin Ubay telah disepakati menjadi raja baru bagi dua suku pribumi Madinah – Aus dan Khazraj – yang sepakat rekonsiliasi setelah lelah berperang bertahun-tahun. Rencana sudah bulat, tinggal menunggu pelantikan dan mahkota sudah disiapkan. Tapi karena angin perubahan berhembus, warga Aus dan Khazraj yang sebelumnya kompak mendukung tokoh politik tersebut, tiba-tiba berubah haluan menjadi muslim yang berdampak pada pindahnya loyalitas politik kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Pada akhirnya hari pelantikan yang ditunggu tak pernah datang. Tokoh politik baru dan warga asing tiba-tiba menjadi bintang terang, sebaliknya Abdullah bin Ubay sinarnya meredup.
Memilih menjadi oposan, tetap bertahan sebagai kafir, tak menguntungkan secara politik. Tapi mengalah dengan legowo, yang bermakna menerima jadi pengikut Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dengan sepenuh hati, terlalu menyakitkan. Pilihan yang paling menguntungkan adalah secara lahir menerima Islam tapi hati konsisten untuk merugikan Islam dan kepemimpinan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Setiap peluang dan celah sekecil apapun akan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memberikan pukulan merugikan terhadap Islam dan umat Islam.
Kedua, kaum Munafiqun sangat berbakat dalam melakukan intrik politik. Abdullah bin Ubay berhasil mempersatukan dua suku yang terlibat konflik panjang seolah tanpa ujung, jelas menunjukkan kehebatannya dalam bermain politik. Al-Qur’an menggambarkan ketrampilan mereka:
وَمِمَّنْ حَوْلَكُم مِّنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ ۖ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ ۖ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ ۖ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ ۚ سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَىٰ عَذَابٍ عَظِيمٍ
Di antara orang-orang Arab Badui yang (tinggal) di sekitarmu ada orang-orang munafik. (Demikian pula) di antara penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik), mereka terampil dalam kemunafikannya. Engkau (Nabi Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya. Mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar. (QS. At-Taubah: 101)
Al-Baghowiy menjelaskan: kata ( مردوا ) berarti ( مرن وثبت عليها واعتادها ) – terlatih, terampil dan terbiasa.
Orang munafiq dari penduduk Madinah yang terampil bermain kemunafikan tentu saja Abdullah bin Ubay dan para loyalisnya. Jika menilik masa lalunya yang berhasil menempatkan dirinya sebagai calon raja Yatsrib tentu menunjukkan keterampilannya yang hebat dalam bermain politik. Masalahnya, keterampilan itu kemudian dipakai untuk membuat intrik terhadap kenabian, maka menjadi keterampilan dalam bermain kemunafikan. Dengan kata lain, keterampilan berpolitik bisa menjadi keterampilan bermunafik jika dipakai dalam menciptakan intrik demi keuntungan diri sendiri dan kelompoknya dengan merugikan Islam dan umat Islam.
Ketiga, topeng wajah munafiq tersingkap jelas ketika jihad meletus. Hal ini disebabkan ibadah jihad, perang di jalan Allah melawan kaum kafir, akan mengakibatkan luka, cacat, kerugian harta, dan kematian. Kaum munafiq adalah orang yang paling serius dalam memikirkan keselamatan diri sendiri meski harus mengorbankan apa saja termasuk keyakinan di hati.
Shalat tak bisa memilah siapa munafiq dan siapa mukmin, sebab munafiq secara lahir melaksanakan shalat dalam satu shaf bersama orang-orang beriman. Demikian pula ibadah lain. Tapi ketika umat Islam sudah kompak melaksanakan ibadah jihad, mereka pasti melakukan manuver untuk menghindar atau menggembosi atau menggagalkan secara total.
Karena itu, ayat-ayat yang menyingkap sosok munafiq lebih banyak saat mereview peperangan, seperti Uhud, Ahzab dan Tabuk. Intrik dan manuver yang mereka lakukan dibongkar oleh ayat sehingga masyarakat menjadi tahu siapa sosok munafiq yang dimaksud meski ayat tak menyebut nama secara terang. Masyarakat tahu karena membaca perilaku mereka, bukan karena vonis nama-nama munafiq yang disebut oleh wahyu.
Keempat, kaum Munafiqun menggunakan sentimen kebangsaan sebagai alat menghimpun suara melawan sentimen keislaman. Mereka tidak suka jika Islam mendominasi, sebab jika Islam mendominasi pasti yang lebih mendapat tempat adalah ulama, mujahid, kyai, santri, dai, dan orang-orang shalih. Tapi jika sentimen kebangsaan yang lebih dominan, mereka bisa merebut panggung, sebab sentimen kebangsaan tak mengharuskan keshalihan.
Setiap ada kesempatan, narasi kebangsaan selalu ditinggikan sambil merendahkan sentimen keislaman. Misalnya ayat berikut:
وَإِذۡ قَالَت طَّاۤئِفَةࣱ مِّنۡهُمۡ یَٰۤأَهۡلَ یَثۡرِبَ لَا مُقَامَ لَكُمۡ فَٱرۡجِعُوا۟ۚ وَیَسۡتَءۡذِنُ فَرِیقࣱ مِّنۡهُمُ ٱلنَّبِیَّ یَقُولُونَ إِنَّ بُیُوتَنَا عَوۡرَةࣱ وَمَا هِیَ بِعَوۡرَةٍۖ إِن یُرِیدُونَ إِلَّا فِرَارࣰا ١٣
(Ingatlah) ketika segolongan di antara mereka (munafiqun) berkata, “Wahai penduduk Yasrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu. Maka, kembalilah kamu!” Sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).” Padahal, rumah-rumah itu tidak terbuka. Mereka hanya ingin lari (dari peperangan). (QS. Al-Ahzab: 13)
Penggunaan nama lama – Yatsrib – untuk kota Madinah menunjukkan mereka lebih ingin meninggikan narasi kebangsaan ala jahiliyah dengan merendahkan narasi keimanan. Nama Yatsrib mencerminkan warisan syirik dan jahiliyah, sementara nama Madinah mencerminkan peradaban iman dan keadilan.
Kelima, kaum munafiqun punya persekutuan dengan kaum kafirun dalam memberikan kerugian terhadap Islam dan umat Islam. Pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, kaum munafiqun punya persekutuan agenda dengan kafir Quraisy dan kaum Yahudi. Bahkan dalam kasus masjid Dhirar, persekutuan itu melibatkan Heraklius penguasa Romawi Timur yang Nasrani. Mereka telah meloby Haraklius untuk mengirimkan tentara dalam jumlah besar demi memerangi Madinah.
Persekutuan ini dianggap sebagai kesalahan terberat munafiqun. Hal yang menyebabkan kaum munafiqun diancam azab pedih oleh Allah SWT.
بَشِّرِ ٱلۡمُنَٰفِقِینَ بِأَنَّ لَهُمۡ عَذَابًا أَلِیمًا ١٣٨ ٱلَّذِینَ یَتَّخِذُونَ ٱلۡكَٰفِرِینَ أَوۡلِیَاۤءَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَۚ أَیَبۡتَغُونَ عِندَهُمُ ٱلۡعِزَّةَ فَإِنَّ ٱلۡعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِیعࣰا ١٣٩
- Berilah kabar ‘gembira’ kepada orang-orang munafik bahwa sesungguhnya bagi mereka azab yang sangat pedih. 139. (Yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai mitra setia dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? (Ketahuilah) sesungguhnya semua kemuliaan itu milik Allah. (QS. An-Nisa’: 138-139)
Peta Munafiqun Masa Kini
Jika diringkas, karakteristik Munafiqun terkumpul dalam beberapa kata kunci yaitu pemain politik yang terampil dan tak suka dominasi Islam, ambisi kekuasaan untuk diri atau dinastinya sendiri, chauvinis (fanatisme kebangsaan dan menolak dikalahkan oleh sentimen keislaman) dan bersekutu dengan kaum kafir. Empat kata kunci ini bisa digunakan untuk melihat peta munafiqun masa kini.
Dalam konteks Timur Tengah, dinamika yang terjadi sudah bisa dijadikan modal untuk menemukan siapa sosok munafiqun, meski tak harus menunjuk nama tapi cukup karakteristiknya. Terutama pasca meletusnya Thufanul Aqsha, perang paling dramatik di zaman modern antara umat Islam melawan kaum kafir. Kaidah menyebutkan, di balik setiap peperangan antara Islam lawan kafir, pasti kedok munafiqun terbongkar.
Pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, setelah peperangan terjadi, turun ayat yang me-review-nya, untuk menunjukkan kepada masyarakat muslim siapa yang kemarin memiliki karakter munafiqun. Tujuannya, agar jalan kaum mujrimin menjadi jelas di mata umat Islam, sehingga bisa memasang mode waspada ketika berinteraksi dengan kaum mujrimin tersebut.
وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلۡءَایَٰتِ وَلِتَسۡتَبِینَ سَبِیلُ ٱلۡمُجۡرِمِینَ ٥٥
Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur’an secara terperinci (agar terlihat jelas jalan kebenaran) dan agar terlihat jelas (pula) jalan para pendurhaka. (QS. Al-An’am: 55)
Salah satu jalan kaum pendurhaka (mujrimin) yang paling penting diketahui adalah jalan kaum munafiqun. Sebab mereka merupakan musuh dalam selimut yang hidup bersama umat Islam. Kegagalan mengendus mereka bisa berakibat fatal.
Jika kita mengacu pada empat kata kunci di atas, sosok munafiqun di balik perang Thufanul Aqsha adalah para penguasa negara-negara Arab sekeliling Gaza. Mereka adalah para pemain politik yang terampil. Mereka menjunjung tinggi kebangsaan dan merendahkan solidaritas keislaman. Mereka punya ambisi kuat untuk menjaga singgasana kekuasaannya agar tetap kokoh meski harus mengorbankan nyawa rakyat dan menabrak aturan Ilahi. Dan mereka juga punya persekutuan agenda dengan “Israel”, AS dan negara-negara kafir lain. Fakta-fakta yang dengan mudah kita temukan di berbagai media.
Pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, munafiqun merupakan kelompok minoritas yang tak punya kekuasaan, senjata dan tentara. Mereka hanya punya manuver dan intrik politik untuk mengganggu atau menggagalkan agenda kenabian.
Sementara munafiqun zaman sekarang, mereka memegang kekuasaan, punya duit nyaris tak terbatas, punya tentara dan punya senjata. Mereka punya singgasana yang kokoh. Citra sebagai pengayom umat bisa dipoles dengan baik melalui sihir media dan lidah istana. Mereka juga punya dukungan kuat dari negara-negara Barat dan kafir lain yang sedang menggenggam dunia.
Karenanya, jika menilik keberhasilan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dalam menaklukkan kekuatan kafir, adalah karena terlebih dahulu berhasil menjinakkan kekuatan kaum munafiqun di Madinah. Mereka tidak dibantai, sebab hal itu justru akan berbalik menjadi badai yang sulit diatasi, sebab Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam akan terkena tuduhan membunuh orang-orang dekat yang notabene muslim. Maka cara yang bijaksana adalah dengan melucuti trust masyarakat muslim terhadap mereka. Maknanya, mereka dibiarkan secara fisik tapi ditanggalkan kepercayaan umat kepada mereka. Mereka hanya menjadi kayu mati yang tersandar di dinding.
Perjuangan umat Islam hanya akan berhasil jika umat Islam di Timur Tengah mampu menyingkirkan kaum munafiqun dari kehidupan umat Islam. Maksudnya, melucuti trust umat Islam terhadap mereka, mengecilkan jumlah loyalis mereka dan ujungnya menumbangkan singgasana mereka seperti yang baru saja dicapai oleh umat Islam Suriah.
Umat Islam hari ini menghadapi situasi yang lebih sulit dibanding zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dalam perjuangannya mengalahkan kaum kafir. Saat umat Islam berperang melawan kaum kafir, rezim penguasa muslim memainkan peran sebagai munafiqun. Umat Islam menghadapi dua musuh sekaligus, dan keduanya punya kekuasaan, tentara, dana dan senjata. Sementara umat Islam berada pada puncak kelemahan, hanya punya semangat dan nyawa. Bahkan untuk demo sebagai solidaritas terhadap pejuang Gaza saja dilarang oleh rezim, misalnya Mesir, Saudi dan Suriah sebelum jatuh.
Sementara pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, dua pihak yang punya kekuasaan, tentara, dana dan senjata adalah kaum kafirun dan musuhnya yaitu umat Islam. Sedangkan kaum munafiqun hanya minoritas, tak punya dana, tak punya tentara dan tak punya senjata.
Bayangkan, betapa berat perjuangan umat Islam ketika mereka lemah dengan tangan terbelenggu harus berhadapan dengan kaum kafir yang kekuatannya sanggup menggenggam dunia, sementara di dalam rumah sendiri harus berhadapan dengan kaum munafiqun yang punya kekuasaan, dana, tentara dan senjata. Wajarlah jika mereka yang berani berjihad di zaman seperti ini pahalanya sangat besar.
Ketika AS mendikte para rezim muslim dengan stigma terorisme terhadap umat Islam karena keberaniannya melawan kekafiran, mereka menerimanya dan bahkan lebih semangat dalam menteroriskan umat Islam rakyatnya sendiri. Umat Islam kalah secara militer dan kalah juga secara narasi. Sebab gabungan kekuatan kafirun dengan munafiqun benar-benar menempatkan pejuang Islam dalam nestapa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kita berada di zaman paling sulit itu. Tapi yakinlah fajar kemenangan akan segera terbit. Wallahul-musta’an.
والله أعلم بالصواب
@elhakimi – (28/12/2024)