(Arrahmah.com)– Prof Dr Ing Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, selain dikenal sebagai Bapak Teknologi Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia di kancah dirgantara, khususnya dalam teknologi pesawat terbang, dia juga merupakan pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
ICMI, yang lahir pada 7 Desember 1990, didukung oleh Presiden Soeharto yang kala itu mulai “mendekat” ke kalangan Islam, pertama kali dipimpin oleh Menteri Riset & Teknologi (Menristek) BJ Habibie, sosok kesayangan Pak Harto.
Habibie, yang selain sebagai Menteri Riset dan Teknolgi saat itu, juga menjabat sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Ketua Dewan Riset Nasional.
Bukan hanya ICMI, Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang merupakan Bank “Syariah” pertama dengan nama Bank Muamalat Indonesia menyusul kelahiran ICMI pada 1 November 1991. Kemudian, menyusul Harian Umum Republika yang terbit perdana pada 4 Januari 1993.
Mantan Pemred Majalah Islam Sabili, M Ubaydillah Salman mengungkapkan, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang kala itu sangat ketat izinnya, berhasil diperoleh setelah BJ Habibie—Ketum ICMI—menembus pembatasan izin ketat tersebut.
“Sangat harmonis kala itu. Sebagai orang kesayangan Pak Harto, Menristek, kemudian menjadi pendiri sekaligus sebagai Ketum ICMI pertama dan menjabat selama dua periode, Habibie terus bergerak. Mendekatkan Soeharto kepada kalangan Islam. Tak bertepuk sebelah tangan. Pak Harto pun meresponsnya. Harmonis,” terang M Ubaydillah.
Pada 1993, lanjutnya, ketika gagal menjadi Wakil Presiden yang dikehendaki Pak Harto, Habibie malah memanfaatkan posisinya sebagai Ketum ICMI yang mendekatkan Orde Baru ke kelompok Islam.
“Dia lobi Pak Harto. Sejumlah tahanan politik (tapol) Islam dan nasionalis bebas,” tuturnya.
Ada Tony Ardie, AM Fatwa, Abdul Qadir Djaelani, HM Sanusi, dan lain-lain dari kalangan Islam, khususnya tapol kasus tragedi Tanjungpriok (12 September 1984) dan lainnya, bebas. Begitu pula dari kalangan nasionalis seperti mantan Pangdam Siliwangi dan Sekjen ASEAN Letjen TNI (Purn) HR Dharsono, salah seorang anggota Kelompok Kerja Petisi 50.
Kelompok Petisi 50 yang saat itu dipimpin mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, mengkritik penyimpangan yang dilakukan oleh rezim Orba. Sejumlah tokoh berkumpul di situ. Setiap hari Rabu.
Di Ratu Plaza, lantai 23, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Selain HR Dharsono dan Ali Sadikin yang dulu populer dengan panggilan Bang Ali, ada Mohammad Natsir, Jenderal Besar AH Nasution, Syafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, HM Sanusi, Anwar Haryono, AM Fatwa, dan lainnya.
“Habibie, seakan memecahkan kebekuan,” tandas M Ubaydillah.
Pada 1993 itu, yang semula membeku jadi cair. Habibie memanfaatkan posisinya sebagai Ketum ICMI selama 2 periode dari 1990-1995 (Muktamar I di Malang) dan 1995-2000 (Muktamar II di Jakarta) untuk memberikan jalan kepada umat Islam yang sudah lama dipinggirkan. Habibie membuat Pak Harto cair. Melunak. Sejumlah tapol pengkritik Soeharto, termasuk tapol Islam menghirup udara bebas sekitar pertengahan 1993.
Setelah Pak Harto lengser pada Mei 1998, Habibie menggantikannya. Hal pertama yang dia lakukan sebagai Presiden adalah menemui Jaksa Agung. Dia minta para tahanan politik dibebaskan.
Jaksa Agung saat itu terheran-heran dengan sikap Habibie. Meski banyak yang mempertanyakan sikapnya, namun langkah Presiden ke-3 RI untuk membebaskan para tapol pengkritik Soeharto itu tak surut. Salah seorang tokoh pengkritik keras Orde Baru yang dibebaskan setelah Habibie jadi Presiden adalah Sri Bintang Pamungkas.
“Penjara itu hanya untuk para kriminal, bukan untuk orang yang berbeda pandangan,” tegas Habibie saat itu.
“Bagaimana dengan Sri Bintang Pamungkas (yang saat itu jadi musuh nomor wahid Soeharto)?” tanya Jaksa Agung. “Ya, segera bebaskan!” jawab Habibie.
Selama kurang lebih 17 bulan (1 tahun 5 bulan/21 Mei 1998-20 Oktober 1999), Habibie menjabat Presiden. Dia dilengserkan karena pidato pertanggungjawabannya tidak diterima MPR. Pelopor tidak diterimanya pertanggungjawaban Habibie justru dari Fraksi Golkar. Golkar saat itu dipimpin Akbar Tanjung, yang pernah menjadi Ketum PB HMI. Padahal Habibie sendiri dari Golkar.
“Saya mendapat informasi yang pilu dari Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara/BAKIN (sekarang BIN) di era Habibie, Letjen TNI (Purn) ZA Maulani, bagaimana Habibie ditelikung dan dikhianati. Padahal kala Habibie menjadi Presiden, dolar yang semula masih Rp 16.800, turun menjadi Rp 6.800. Ekonomi distabilkan,” ungkap M Ubaydillah
Menkeu Sri Mulyani mengakui, Habibie yang lebih dari cerdas itu berhasil membawa Indonesia keluar dari krisis moneter (krismon). Begitu pula dengan kran kebebasan, termasuk kebebasan pers, justru terjadi di era Presiden Habibie. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau disingkat SIUPP dihapus. Media bebas tanpa harus ada SIUPP.
Namun kebebasan itu pulalah yang dimanfaatkan yang tak suka atau yang mengkhianatinya untuk melengserkannya.
Di era Habibie demonstrasi lebih bebas. Kelompok demonstran dari kalangan kiri adalah yang paling utama memusuhinya. Saat memasuki ruang Sidang MPR, Habibie disoraki dan diteriaki, “Huuuu…!” Tapi Habibie tetap dengan gayanya yang khas, tersenyum, sambil melambaikan tangan.
Salah satu poin yang dikritik oleh kelompok anti-Habibie adalah karena lepasnya Timor Timur (Timtim) dari Indonesia. Padahal dulu umat Islam yang mayoritas di negeri ini bersyukur. Sebab, Timtim yang miskin Sumber Daya Alam (SDA) itu sangat membebani keuangan Indonesia. Provinsi-provinsi yang kaya harus membantu wilayah bekas jajahan Portugis itu.
Referendum di era Presiden Habibie berhasil melepaskan Timtim (sekarang Timur Leste) pada 30 Agustus 1999. Negara-negara Barat menyebut Timtim dijajah Indonesia. Padahal provinsi-provinsi kaya di Indonesia harus rela diperas untuk membantu “saudara bungsu”nya itu setelah terbebas dari jajahan Portugis.
Lantas, apakah setelah melepaskan diri dari Indonesia, Timtim atau Timor Leste menjadi negara maju? Tetap miskin. Dan, apakah negara-negara Barat yang menghujat Indonesia dulu membantu Timor Leste? Mereka umumnya mana mau membantu jika negara yang ingin dibantu miskin SDA?
Berbeda dengan Papua. Jika pemerintah Indonesia menyetujui Papua direferendum, justru ini kerugian bagi Indonesia. Papua kaya dengan SDA. Jika Papua lepas, yang untung adalah negara lain yang mengendalikan dan menjarah SDA wilayah tersebut. Uang hasil jarahan itu sangat mungkin digunakan untuk membiayai kepentingan negara penjajah yang mengintervensi negara-negara yang tengah berkonflik. Membantu rezim koplak dan ilegal untuk membantai rakyatnya sendiri.
Kembali ke Habibie. Kasus lepasnya Timtim itu hanyalah salah satu yang jadi “jualan” orang-orang yang anti kepadanya. Padahal inti penolakan kepada Habibie itu karena pembencinya khawatir akan kebangkitan umat Islam jika Habibie terus memimpin. Selain itu orang-orang atau kelompok-kelompok yang tidak ingin negeri ini maju sehingga tak peduli dengan kesejahteraan rakyat dan maunya terus bergantung kepada asing, tentu menolak Habibie, sosok sederhana itu.
Kesalahan Habibie lainnya adalah karena dia cerdas bahkan jenius. Hanya orang-orang bodoh yang tidak mau dipimpin sosok jenius seperti Habibie. Namun, setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, Habibie tak berniat dan tidak berminat mencapreskan diri.
Selain ada yang tak suka, terutama yang tidak se-ideologi, juga tak dipungkiri, Habibie yang rajin puasa Senin-Kamis ini adalah sosok yang dekat dengan berbagai kalangan. Dikagumi oleh banyak orang karena kejeniusannya. Meski kedekatan khususnya nampak pada kelompok dan para tokoh Islam. Jadi, tak usah heran, Habibie mengangkat Letjen (Purn) ZA Maulani sebagai Kepala BAKIN (BIN). Allahyarham ZA Maulani semasa mudanya adalah aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) yang kemudian masuk dan jadi salah seorang tokoh militer di republik ini.
Pada 23 Mei 1998 di Jakarta, ZA Maulani terpilih sebagai Ketua Keluarga Besar PII (KB-PII) yang pertama. Maulani, memang salah seorang tokoh Islam yang ada di TNI. Jadi, tak salah jika Habibie memilih sosok cerdas ini sebagai Kepala BAKIN. Habibie dapat meneropong orang-orang atau kelompok yang memusuhinya. Yang tak ingin Indonesia dipimpin oleh sosok cerdas. Tapi semua itu dia hadapi dengan senyum dan sepenuhnya bertawakkal kepada Allah.
Rabu, 11 Muharram 1441 H/11 Setember 2019 M, pukul 18.05, BJ Habibie wafat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, setelah menjalani perawatan sejak 1 September karena penyakit dalam yang dideritanya. Dalam usia 83 tahun. Sementara istrinya, Ibu Hasri Ainun Besari sudah mendahuluinya, meninggal di Munchen, Jerman, pada 22 Mei 2010 dalam usia 72 tahun.
Kini Habibie menyusul Ibu Ainun. Selamat jalan Pak Habibie. Kami yang waktu itu sebagai jurnalis, sempat menyaksikan keberhasilan Bapak memimpin Indonesia. Di era reformasi. Meski singkat. Tapi sungguh luar biasa, dengan pertolongan Allah, Bapak sukses mengeluarkan republik ini dari krisis.
“Semoga Allah menerima amal kebaikan dan perjuangan Habibie untuk bangsa dan umat ini. Diampuni segala khilaf dan dosanya. Dan meninggalkan dunia yang fana ini dengan husnul khatimah. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihii wa’fu ‘anhu…,” pungkas M Ubaydillah.
Sumber: https://www.salam-online.com
(ameera/arrahmah.com)