JAKARTA (Arrahmah.id) – Dewasa ini, kosmetik telah menjadi salah satu kebutuhan manusia. Meningkatnya industri kosmetik, selaras dengan minat masyarakat terkait penggunaannya dalam keseharian.
Bagi seorang muslim, ketika menggunakan atau mengkonsumsi sesuatu wajib memvalidasi kehalalan dan kesucian bahan yang terkandung di suatu produk.
Berkaitan dengan hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa, telah memberikan panduan bagi umat Muslim melalui fatwa No. 23 tahun 2013 tentang standard kehalalan produk kosmetika dan penggunaannya.
Terdapat delapan hal yang perlu diperhatikan bagi seorang muslim dalam menggunakan kosmetik berdasarkan fatwa MUI di atas, yaitu:
Pertama, penggunaan kosmetika untuk kepentingan berhias hukumnya boleh dengan syarat tiga syarat, yaitu bahan yang digunakan halal dan suci, ditujukan untuk kepentingan yang dibolehkan secara syar’i, dan tidak membahayakan.
Perintah mengkonsumsi bahan yang halal termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 168, firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata.”
Begitu pula, dalam sabda Rasulullah SAW, yaitu:
الْحَلَالُ بَيِّنٌ الْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ… (رواه مسلم)
“Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang musyta-bihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya…” (HR. Muslim).
Kedua, penggunaan kosmetika dalam (untuk dikonsumsi/masuk ke dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau haram hukumnya haram.
Dalam salah satu kaidah fiqih disebutkan:
الأصل في الأشْيَاء النَّافِعَةِ الإبَاحَةُ، وفي الأشْبَاء الضَّارَّةِ الحُر مَة
“Hukum asal mengenai sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil muktabar yang mengharamkanya.”
Ketiga, penggunaan kosmetika luar (tidak masuk ke dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau haram selain babi dibolehkan dengan syarat dilakukan penyucian setelah pemakaian (tathhir syar’i).
Keempat, penggunaan kosmetika yang semata-mata berfungsi tahsiniyyat, tidak ada rukhshah (keringanan) untuk memanfaatkan kosmetika yang haram.
Kelima, penggunaan kosmetika yang berfungsi sebagai obat memiliki ketentuan hukum sebagai obat, yang mengacu pada fatwa terkait penggunaan obat-obatan.
Keenam, poduk kosmetika yang mengandung bahan yang dibuat dengan menggunakan mikroba hasil rekayasa genetika yang melibatkan gen babi atau gen manusia hukumnya haram.
Ketujuh, produk kosmetika yang menggunakan bahan (bahan baku, bahan aktif, dan atau bahan tambahan) dari turunan hewan halal (berupa lemak atau lainnya) yang tidak diketahui cara penyembelihannya hukumnya makruh tahrim, sehingga harus dihindari.
Kedelapan, produk kosmetika yang menggunakan bahan dari produk mikrobial yang tidak diketahui media pertumbuhan mikrobanya apakah dari babi, harus dihindari sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan kesucian bahannya.
Demikianlah delapan standard kehalalan kosmetik dan penggunaannya berdasarkan fatwa MUI. Pedoman tersebut, diharapkan dapat menjadi acuan bagi umat Muslim dalam memilah produk kosmetik yang digunakan sehari-hari. Wallahu’alam.
(ameera/arrahmah.id)