Oleh : Ali Hasan Al Hasyimi
Seorang Tabi’in melewati penggembala kambing, dia melihat ada 30 ekor anjing bersamanya. Dia berkata pada penggembala: “buat apa anjing-anjing ini? Satu saja cukup”. Penggembala penjawab: “Subhanallah, apa kamu tidak tahu? Ini bukan anjing, ini serigala”. Tabi’in tadi bertanya balik: “Sejak kapan serigala bisa berdamai dengan kambing”. Si gembala berkata: “Jika kepala sehat, maka tubuh ikut sehat. Jika Amirul Mu’minin bersikap adil, dan takut pada Allah, maka Allah akan mencegah kezhaliman terjadi di antara makhlukNya”.(Hilyatul Aulia)
Serigala akan selalu memangsa domba. Gembala akan berjaga agar dombanya tidak dimakan serigala. Inilah hukum alam yang selalu terjadi. Tapi hukum alam ini bisa berubah dalam kondisi istimewa, kondisi yang benar-benar istimewa, yang bisa merubah hukum alam. Bisa membuat kambing berdamai dengan serigala, tanpa takut dimangsa.
Keadilan membuat kambing hidup tenteram, bisa merumput di dekat sekawanan serigala, maka sudah tentu manusia juga ikut merasakan dampaknya. Jika konflik yang biasa terjadi di antara hewan bisa hilang, maka apalagi konflik di kalangan manusia. Semua itu sirna karena keadilan ditegakkan.
Itu terjadi pada era kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, yang memimpin rakyat dengan adil, hingga bukan hanya manusia yang sejahtera, hewan pun ikut sejahtera. Serigala tidak lagi perlu memangsa kambing untuk mencari makan.
Umar bin Abdul Aziz, nama yang indah, mengukir kenangan manis dalam sejarah Islam, harum namanya, menjadi pujian sepanjang masa. Semua itu diraihnya karena sikap adilnya. Karena ketegasannya menegakkan keadilan, menegakkan hukum Allah di kalangan masyarakat,.
Bukan hanya hewan dan manusia, tumbuhan pun ikut terkena getahnya. Pada era Umar bin Abdul Aziz, sebutir biji gandum adalah seukuran bawang sebagaiman yang tercantum dalam Musnad Ahmad.
Harta benda melimpah, tidak ada penduduk wilayahnya yang miskin. Konon akhirnya masyarakat pun bingung, kemana mereka harus membayar zakat? Akhirnya Umar memutuskan, agar zakat disalurkan untuk memerdekakan budak-budak.
Ini adalah berkah keadilan, ini adalah berkah yang muncul ketika syareat dijalankan. Dan Umar bin Abdul Aziz menjalankan semua ini dengan konsisten. Menghukum yang bersalah, dan membiarkan yang tidak bersalah. Masyarakat pun aman tentram.
Salah satu pilar keadilan masyarakat adalah penegakan hukum yang tegas. Umar tidak segan-segan bersikap tegas terhadap pelanggaran hukum. Salah satunya adalah terhadap mereka yang mencaci maki sahabat Nabi. Umar bin Abdul Aziz mencambuk mereka yang berani mencaci Muawiyah bin Abi Sufyan.
Ibnu Asakir meriwayatkan dalam Tarikh Dimasyq, jilid 59 hal 211, dari jalan sanad Muhammad bin Muslim, dari Ibrahim bin Maysarah: saya tidak melihat Umar bin Abdul Aziz mencambuk orang, kecuali orang yang mencaci Muawiyah, Umar mencambuknya berkali-kali.
Mencaci Muawiyah adalah sebuah kejahatan, meski berupa pendapat pribadi dari pengucapnya. Meski itu pendapat pribadi, mengutarakannya adalah sebuah kejahatan, yang harus dibasmi agar keadilan tegak di bumi. Begitulah sikap Umar bin Abdul Aziz
Sahabat Nabi adalah manusia-manusia yang terhormat, yang mendapatkan kecintaan Allah. Mereka melakukan amalan-amalan besar, yang hanya bisa dilakukan oleh sahabat Nabi. Mereka berperang bersama Nabi, mereka shalat di belakang Nabi, mereka hijrah bersama Nabi. Semua itu merupakan kemuliaan khusus, yang tidak akan dialami oleh siapa pun. Kesempatan-kesempatan itu hanya terjadi sekali, dan yang beruntung mendapat kesempatan itu adalah sahabat Nabi.
Abdullah bin Mubarak, seorang ulama besar yang sekaligus dikenal dengan jihadnya, ditanya: “Mana yang lebih utama? Muawiyah atau Umar bin Abdul Aziz?” Beliau menjawab:
“Debu yang masuk ke hidung Muawiyah saat berperang bersama Rasulullah, lebih baik dari Umar (bin Abdul Aziz) seribu kali. Muawiyah pernah shalat di belakang Rasulullah , dan Rasulullah berkata: Sami’allahu liman hamidah, lalu Muawiyah berkata: Rabbana walakal Hamd. Apa yang lebih utama dari ini?” (Wafayat Al A’yan, jilid 3 hal 33.)
Dari Al Jarrah AL Mushili berkata: aku mendengar seorang bertanya pada Al Mu’afa bin Imran: “Wahai Abu Mas’ud, Bagaimana Umar bin Abdul Aziz bila dibandingkan dengan Muawiyah?” Lalu aku melihat dia sangat marah, dan berkata: “Sahabat Rasulullah tidak bisa dibandingkan dengan seorang pun, Muawiyah adalah juru tulis Nabi, sahabatnya, iparnya, dan orang yang dipercaya menulis wahyu Allah. (As Syari’ah, Al Ajurri, jilid 5, riwayat no 2466, 2467).
Umar bin Abdul Aziz menyadari bahwa Muawiyah adalah seorang sahabat, yang telah melakukan amalan-amalan besar, disamping juga melakukan kesalahan. Tapi Umar bin Abdul Aziz sadar, bahwa amalan-amalan Muawiyah lebih banyak dan lebih besar dari kesalahannya. Di samping juga Umar bin Abdul Aziz juga menyadari, bahwa Muawiyah adalah salah satu dari mereka yang mendapat doa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Jika mencela muslim “biasa” saja mengakibatkan dosa, apalagi mencela sahabat Nabi?
Maka Umar bin Abdul Aziz beranggapan bahwa mencaci Muawiyah adalah perbuatan kriminal, yang pelakunya harus dihukum.