JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengurus Pusat (PP) Muhammadyah menolak mengikuti seruan Kementerian Agama (Kemenag) untuk memulai ibadah puasa sesuai dengan ketetapan mereka. Muhammadiyah mengklarifikasi, Ulil Amri bukan berarti harus dimaknai pemerintah.
“Ulil Amri itu bukan pemerintah, tapi yang punya otoritas (ahli di bidangnya),” ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin di kantornya, Menteng, Jakarta, Senin 8 Juli 2013.
Din lantas mengkritik pernyataan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar yang menyebut bila tak taat pemerintah soal awal Ramadan sama dengan tidak taat Ulil Amri. Dia menilai pernyataan itu bukanlah sikap yang bijak, dan tidak punya dasar agama.
“Seyogyanya, Kementerian Agama tidak usah memasuki wilayah keyakinan ini. Karena konstitusi membebaskan kita untuk beragama sesuai keyakinan,” katanya.
Penentuan Ramadan, tegasnya, bukanlah domain pemerintah atau negara. “Tarawih 8 rakaat, atau mau berapa, pemerintah nggak ikut. Ini menimbulkan masalah karena pemerintah ikut campur. Seharusnya tidak perlu rapat isbat,” ucapnya.
Begitu juga pendapat dari KOMNAS HAM RI, manajer Nasution mengatakan, bila Nazarudin Umar benar menyatakan begitu, maka ini adalah bentuk intimidasi negara terhadap hak asasi warga negara yang paling hakiki, menjalankan ajaran agama yang diyakininya, ini hal yang serius dan berpotensi melanggar HAM, dan Komnas HAM mendesak Presiden meminta klarifikasi yang bersangkutan, agar pejabat negara dan pengamat harus berhati hati berkomentar. Manajer Nasution menghimbau masyarakat untuk tetap tenang, memperkuat ukhuwah, dan saling menghargai keyakinan masing masing untuk menjaga keutuhan bangsa ini.
(eramuslim/arrahmah.com)