(Arrahmah.com) – Bom Sarinah Jakarta mengguncang, membelalakkan mata, menyentuh nurani terdalam dan menyibak ada apa sebenarnya di balik kejadian yang sangat menyita perhatian dunia dan secara khusus Indonesia. Dari beragam pemberitaan yang berkembang seolah-olah ada arah opini yang secara sengaja dikehendaki oleh pihak tertentu di tengah pengusutan dan pencarian siapa yang menjadi otak dan motif dari tindakan yang selalu dikaitkan dengan ajaran Islam -jihad- itu.
Secara sepintas kesimpulan yang dibangun oleh peristiwa ini adalah sebuah operasi pengeboman disertai penyerangan sebagai bagian dari rencana merealisasikan wilayah Dais (Daulah Islamiyah ala ISIS) di Indonesia. Persis seperti pernyataan Pemerintah Australia melalui Jaksa Agungnya, John Brandis yang menyatakan : “ISIS mengincar Indonesia untuk dijadikan bagian dari kekhalifahan mereka, yang otomatis jadi ancaman besar bagi Australia.” sebagaimana direlease di media Australian (22/12/2015), meski pernyataan tersebut dibantah oleh Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Namun dibenarkan oleh Irfan Idris, selaku Direktur Deradikalisasi BNPT.
Peristiwa bom Sarinah Thamrin Jakarta kemarin seolah-olah telah menjadi pembenaran kesimpulan tersebut. Meski kemudian dibantah oleh salah seorang pengamat militer, Salim Said yang menyatakan : “Semua teoris terbunuh, dari mana Kapolda mengambil kesimpulan kalau itu ISIS,” ujar Salim dalam diskusi yang diselenggarakan Smart FM bersama Populi Center di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (16/1/2016). Dimana sebelumnya disampaikan oleh Tito Karnavian sebagai Kapolda Metro Jaya yang menyatakan : “Jaringan pelaku yang berhubungan dengan kelompok ISIS di Raqa,” ujarnya saat menggelar jumpa pers di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (14/1/2016).
Tito menjelaskan, motif dari penyerangan tersebut karena adanya persaingan merebutkan kekuasaan untuk menguasai jaringan ISIS di Asia Tenggara. “Jadi Bachrum Naim yang ingin dirikan Kathibah Nusantara di Indonesia. Dia mau jadi leader ISIS di Asia Tenggara. Ada upaya rivalitas, untuk menjadi pemimpin, di Filipina sudah mendeklare dan mereka bersaing ingin menjadi leadership dan Bachrum Naim lancarkan serangan,” kata Tito.
Walaupun belakangan beredar isu di dunia maya bantahan Bachrun Naim yang diduga kuat sebagai suara aslinya oleh salah seorang pengamat terorisme dari CIIA, Harist Abu Ulya yang menyatakan : “99 Persen Saya yakin itu suara BN (Bahrun Naim -red),” kata Harits yang pernah mengadvokasi Bahrun dalam kasus kepemilikan amunisi pada tahun 2010 saat dihubungi, Senin (18/1/2016). Suara yang diduga dari Bachrun Naim dengan durasi 6 detik itu berbunyi : “Lha, wong saya itu jarang online, dikira komunikasi, komunikasi dari Hong Kong apa?” demikian isi suara rekaman itu. Rekaman suara itu beredar di situs berbagi audio SoundCloud. Senin (18/1). Rekaman suara itu diunggah oleh akun bernama Ghostop. Akun itu memakai foto wajah Bahrun Naim yang memakai kaca mata. (Detiknews, Senin 18 Jan 2016, 10:18 WIB). Di sisi lain masih menurut Harist Abu Ulya berpendapat bahwa otak sebenarnya dari bom Sarinah Thamrin Jakarta adalah Afif. “Ya bisa inisiatif mereka sendiri, itu yang disebut komando putus. Jadi aksi itu tidak harus bergantung kepada komando pusat tapi aksi individu atau dia bersama empat orang mereka melakukan aksi inisiatif mereka sendiri nanti diklaim sebagai aktivitas ISIS,” tutup Haris. (Okezone, Senin, 18 Januari 2016 – 08:27 WIB).
Yang menarik dari rangkaian perjalanan berita bom Sarinah Thamrin Jakarta itu adalah info terbaru disetujuinya oleh DPR RI melalui ketua barunya, Ade Komaruddin revisi terhadap Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Ade menjelaskan, dengan adanya revisi tersebut penegak hukum akan mempunyai kekuatan dalam memberantas tindak terorisme. “Intinya UU Terorisme harus diperbaiki supaya punya kekuatan yang dapat memberantas terorisme dalam arti sesungguhnya,” lanjut Ade. (Metrotvnews Jakarta, 18 Januari 2016). Hal itu senada dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Panjaitan yang mengatakan, pemerintah akan melanjutkan rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Meski demikian, Luhut menyadari revisi tersebut bakal rawan pro dan kontra. Revisi itu akan difokuskan pada formulasi dan desain undang-undang yang memberi ruang bagi Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) untuk menangkap pihak-pihak yang dinilai kuat terlibat terorisme dan akan melakukan aksi teror dalam waktu tertentu. Hal ini disebut Luhut sebagai antisipasi. “Termasuk kewenangan penangkapan, penahanan sampai waktu tertentu bila diperlu keterangan-keterangan. Dengan demikian kita bisa lebih mencegah kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan,” ujarnya menambahkan. Luhut mengatakan, setidaknya dengan cara itu Densus 88 bisa meredam potensi terorisme hingga dipastikan tidak akan bisa terealisasi. “Memang ada sementara yang berpendapat itu tidak menyelesaikan masalah, tidak serta merta. Tapi paling tidak itu akan memperkuat intelijen dapatkan data untuk persempit ruang gerak dari upaya teror.” Ruhut berharap, revisi tersebut akan rampung dalam tahun ini. Oleh karena itu tidak diperlukan aturan dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Tak hanya UU Pemberantasan Terorisme, Luhut juga mendukung adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen. Wacana revisi tersebut digulirkan oleh Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso pasca ledakan Bom Sarinah. Revisi rencananya akan memuat soal penambahan kewenangan lembaga intelijen itu. Luhut sendiri menilai wajar jika penangkapan dan penahanan masuk dalam wewenang intelijen. “Kita juga lagi melihat, berapa lama ketentuan umum. Itu makanya akan kami pertimbangkan. Kan kita lihat ketentuan umumnya, bisa menahan 10 hari kemudian bisa dilepas, ya kenapa tidak,” kata Luhut (Viva.co.id, 18 Januari 2016). Meski menurut Ade Komaruddin (Ketua baru DPRI RI) usulan revisi UU Terorisme sebagaimana ajuan pemerintah melalui proses lama. Hal itu disampaikannya saat memenuhi undangan Jokowi pasca bom Sarinah Thamrin Jakarta Senin, 18 Januari 2016. Ade menyarankan Presiden Jokowi menggunakan haknya untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), daripada menunggu revisi disahkan. (Viva.co.id, 18 Januari 2016)
Dari beberapa rangkaian opini media yang berkembang seputar bom Sarinah Thamrin Jakarta kemarin ada rangkaian peristiwa yang seolah-olah mengkonfigurasikan sebuah latar dan arah kemana bom Sarinah Thamrin Jakarta mau menuju. Mulai dari statemen Jhon Brandis, Jaksa Agung Australia tanggal 15 Desember 2015 tentang ancaman pendirian kekhilafan Jauh ISIS di Indonesia dan Australia dan dibenarkan oleh Irfan Idris (BNPT), kemudian terjadilah bom Sarinah yang masih kontroversial siapa otak dan motif sebenarnya dibalik peristiwa menyayat hati tersebut dimana Polri telah menyampaikan keterangan resminya, berikutnya terdapat dorongan membahas pentingnya segera adanya revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen sebagaimana usulan BIN. Seolah-olah menjadi sebuah rangkaian peristiwa demi peristiwa yang berkaitan satu sama lain. Akhrinya, kita semua berharap bahwa penindakan terorisme di negeri ini benar-benar murni dalam kerangka mewujudkan solusi tuntas menyelesaikan persoalan terorisme bukan sekedar menjadi legitimasi mewujudkan keinginan politik asing yang syarat dengan beragam kepentingan ekonomi melalui lahirnya perundang-undangan yang represif atas nama pemberantasan terorisme. Wallahu a’lam bis showab.
Penulis: Adil Nugroho, Pemerhati Sosial Politik
(*/arrahmah.com)