(Arrahmah.com) – Kementerian Dalam Negeri Saudi menyatakan telah mengeksekusi 47 orang tahanan terkait tuduhan “terorisme” pada Sabtu (2/1/2016) di 12 kota berbeda di Saudi. Di antara 47 tahanan itu, hanya 4 di antaranya yang berasal dari kaum Syiah, sedangkan 43 sisanya adalah Muslim Sunni.
Salah seorang dari 4 tahanan Syiah tersebut adalah pendeta terkemuka Syiah Nimr Al-Nimr, sementara di antara 43 tahanan Sunni sisanya terdapat nama seorang ideolog Al-Qaeda terkemuka Syaikh Faris Az-Zahrani Rahimahullah.
Eksekusi Saudi terhadap memicu kemarahan sektarian di Timur Tengah. Namun dengan mengeksekusi puluhan narapidana Al-Qaeda pada saat yang sama, Saudi juga menyampaikan pesan yang kuat bahwa perlawanan yang dilakukan Muslim Sunni juga tidak akan ditoleransi pihak kerajaan.
Riyadh tahu eksekusi mati terhadap Nimr Al-Nimr dan tiga penganut Syiah lainnya yang terlibat dalam pembunuhan terhadap polisi akan mendorong kemarahan dan protes di luar negeri, tetapi tampaknya pihak kerajaan masih mempertimbangkan bahwa konsekuensi atas langkah tersebut masih akan terkendali.
Di tengah meningkatnya gejolak regional dan serangkaian pengeboman dan penembakan yang menewaskan lebih dari 50 warga Saudi sejak akhir 2014, eksekusi Riyadh terhadap 43 Mujahidin adalah peringatan bahwa dukungan internal terhadap Mujahidin Sunni juga akan ditumpaskan.
Syaikh Awadh Al-Qarni, seorang ulama Sunni terkemuka yang mendukung pemerintah Saudi melawan jihadis, di akun twitternya berkicau bahwa eksekusi itu merupakan “sebuah pesan kepada dunia dan para penjahat; prinsip-prinsip kami tidak akan tergoyahkan dan tidak ada batasan dalam keamanan kami”.
Keluarga penguasa Al-Saud memandang perluasan pengaruh Syiah Iran di Timur Tengah sebagai ancaman bagi keamanan mereka dan ambisi mereka memainkan peran utama di antara negara-negara Arab.
Sementara itu pihak kerajaan juga takut terhadap ancaman pemberontakan yang dilakukan oleh Muslim Sunni mayoritas yang dianggap berbahaya bagi kerajaan yang pemerintahannya didasarkan pada dukungan konservatif di dalam negeri dan hubungan aliansinya dengan Barat.
Seluruh ancaman masa lalu Dinasti Saud, dari mulai pemberontakan suku-suku pada tahun 1920 hingga kerusuhan pada tahun 1960, pengepungan di Masjidil Haram Mekah pada tahun 1979 dan aksi protes pada 1990-an, disebabkan oleh kemarahan kaum Sunni konservatif terhadap kebijakan modernisasi atau hubungan Saudi yang semakin lekat dengan Barat.
Itulah sebabnya perlawanan Al-Qaeda yang dimulai pada tahun 2003, dan menyerang Al-Saud dengan memutarbalikkan branding ideologi konservatif Salafi Sunni Islam untuk melawan kerajaan itu, dianggap sebagai sebuah bahaya. Kemunculan gerakan semacam “Daulah Islam” atau ISIS, juga dianggap sebagai sebuah masalah.
Dengan mengeksekusi sejumlah ideolog dan pejuang Al-Qaeda, Riyadh tengah menunjukkan tekadnya untuk menghancurkan dukungan yang bisa menimbulkan bibit perlawanan. Dengan mengeksekusi empat penganut Syiah, yang menimbulkan kemarahan Iran, Saudi ingin menunjukkan kepada Muslim Sunni konservatif bahwa pihak kerajaan masih berada di pihak mereka.
Arab Saudi juga meyakini bahwa mereka tak hanya menghadapi ancaman fisik, melainkan juga pertempuran ideologi memperebutkan rivalitas interpretasi Salafi Islam. Hal ini diperkuat dengan fokus media pemerintah Saudi terhadap sosok Syaikh Faris Al-Shuwail Al-Zahrani Rahimahullah yang merupakan salah satu di antara ideolog Al-Qaeda yang dieksekusi.
Syaikh Faris, yang dituding kerajaan Saudi sebagai “salah satu biang perselisihan dan pengkhotbah takfiri”, dituduh membantu mengartikulasi pandangan jihad bahwa Al-Saud telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dan bahwa merupakan tugas umat Islam untuk membunuh mereka dan sekutu mereka.
Media resmi Saudi mempresentasikan Syaikh Faris dan tokoh Syiah Nimr Al-Nimr dalam timbangan yang setara, bahwa keduanya dapat “menimbulkan dorongan kekerasan dan terorisme”. Deskripsi itu yang dipilih oleh surat kabar pagi Saudi setelah eksekusi mereka, sebgaimana dilansir Reuters pada Ahad (3/1/2016).
(aliakram/arrahmah.com)