JAKARTA (Arrahmah.id) – Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh, memberikan klarifikasi terkait isu viral di masyarakat mengenai produk yang menggunakan nama atau istilah yang dilarang secara syariat.
Isu ini mencuat karena beberapa produk dianggap terasosiasi dengan sesuatu yang haram, najis, atau mengandung pengertian kekufuran dan kesesatan, yang berpotensi tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikasi halal.
Kyai Asrorun Ni’am menjelaskan bahwa MUI telah mengeluarkan Fatwa No. 44 Tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk, dan rasa produk yang terasosiasi dengan sesuatu yang diharamkan.
“Majelis Ulama Indonesia telah melakukan proses konfirmasi dan klarifikasi terhadap masalah ini. Fatwa MUI No. 44 Tahun 2020 mengatur secara jelas penggunaan nama, bentuk, dan rasa yang terasosiasi dengan hal-hal haram atau dilarang secara syariat, yang tidak bisa disertifikasi halal,” jelasnya kepada MUI Digital di Aula Buya Hamka Gedung MUI sesuai rapat pimpinan, Selasa (8/10/24), dilansir mui.or.id.
Dia menambahkan bahwa meskipun suatu produk secara substansi halal, baik dari segi bahan baku maupun proses produksinya, jika menggunakan nama atau istilah yang berkonotasi haram, produk tersebut tetap tidak dapat disertifikasi halal.
“Misalnya, bir non-alkohol, meskipun secara substansi halal dan tidak mengandung unsur haram atau najis, penggunaan kata ‘bir’ tidak bisa disertifikasi halal karena terasosiasi dengan sesuatu yang haram,” lanjut Kiai Ni’am, begitu akrab disapa.
Hal ini dilakukan untuk memastikan agar masyarakat tidak mendekati atau terjerumus pada sesuatu yang haram atau berbau kekufuran.
Selain itu, MUI juga ingin meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kehalalan produk, tidak hanya dari substansi tetapi juga dari aspek-aspek lain yang berpotensi menimbulkan kebingungan atau kesalahpahaman di kalangan konsumen.
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mencontohkan kasus viral produk dengan nama “Mie Setan” dan “Mie Cap Babi”. Meskipun secara substansi produk tersebut halal, penggunaan nama-nama tersebut dilarang dalam proses sertifikasi halal.
Namun, setelah berdiskusi dengan MUI, para pelaku usaha akhirnya mengganti nama produk mereka tanpa mengurangi omset penjualan, menunjukkan bahwa perubahan nama tidak merugikan bisnis.
Fatwa ini memberikan pengecualian untuk beberapa istilah yang sudah dikenal secara umum oleh masyarakat dan tidak terasosiasi dengan hal-hal haram, seperti “bir pletok” dan “roti buaya”.
Istilah-istilah ini sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat dan tidak menimbulkan kebingungan, sehingga tetap bisa disertifikasi halal.
Kyai Ni’am menekankan pentingnya kepatuhan pelaku usaha terhadap Fatwa MUI No. 44 Tahun 2020, serta peran lembaga pemeriksa halal dalam memastikan sertifikasi halal sesuai dengan standar yang ditetapkan.
“Ini adalah bagian dari upaya untuk melindungi masyarakat dan meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya produk halal, baik dari segi substansi maupun aspek-aspek lainnya,” jelasnya.
Dengan klarifikasi ini, diharapkan masyarakat dan pelaku usaha lebih memahami pentingnya mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, sehingga dapat mendukung terciptanya ekosistem produk halal yang lebih baik di Indonesia.
(ameera/arrahmah.id)