Oleh: Saeid Ziya
Peneliti dalam bidang urusan politik dan strategi.
(Arrahmah.id) – Sejak perang kembali meletus di Jalur Gaza hingga waktu penulisan artikel ini, medan tempur tampak dikuasai oleh keheningan operasi dari pihak perlawanan. Tidak tampak geliat tempur yang selama 15 bulan sebelumnya menjadi ciri khas perlawanan sebelum gencatan senjata selama 60 hari diberlakukan. Hal ini memunculkan banyak pertanyaan dan perdebatan mengenai kemampuan perlawanan untuk terus melakukan operasi defensif terhadap pasukan pendudukan. Masyarakat pun terbelah antara yang khawatir, ragu, kecewa, hingga sinis.
Lalu, mengapa operasi militer perlawanan melambat, padahal perang telah berlangsung sekitar 20 hari sejak dimulai kembali? Mengapa perlawanan tidak menghadapi perluasan operasi darat musuh di Rafah, yang kini melibatkan tiga divisi militer sekaligus di seluruh wilayah Gaza: Divisi 36 di selatan, Divisi 252 di tengah, dan Divisi 162 di utara? Terlebih lagi, musuh telah mulai membangun jalur operasi baru yang memisahkan Rafah dan Khan Younis, yang mereka namai Morag.
Apakah perlawanan benar-benar melemah sampai pada titik tak mampu melawan? Ataukah ini bagian dari taktik baru yang mengandalkan kesabaran dan menunggu momen yang tepat sebelum kembali bertempur?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penting memahami dua konsep militer: yang pertama adalah pertahanan fleksibel, salah satu jenis strategi pertahanan; dan yang kedua adalah ekonomi kekuatan, salah satu prinsip dasar dalam perang.
Jika kita meninjau strategi pertahanan yang diterapkan perlawanan sejak dimulainya invasi darat “Israel” pada malam 27 Oktober 2023, terlihat bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, perlawanan bertempur sejak meter pertama wilayah pertahanannya. Mereka memberikan pukulan di setiap jalan, gang, dan tanah yang dimasuki musuh. “Israel” tak bisa menembus satu lapis pun pertahanan tanpa mengalami kerugian. Tak satu pun dari 24 batalion Brigade Al-Qassam, dari Beit Hanoun di utara hingga Tel Al-Sultan di selatan, berhasil dilumpuhkan. Bahkan, perlawanan mencatat angka kematian tertinggi di pihak “Israel” sejak awal perang—dalam Pertempuran Wilayah Utara yang berlangsung 115 hari, “Israel” mengakui kehilangan 55 tentaranya, termasuk komandan Brigade Lapis Baja 401.
Selama berjalannya operasi Thufan Al-Aqsha, perlawanan menunjukkan keragaman taktik yang luar biasa. Salah satu pendekatan utamanya adalah meninggalkan posisi pertahanan tetap dan beralih ke pertahanan fleksibel, bersabar sebelum menyerang, dan menunggu peluang untuk melakukan serangan presisi. Seorang jenderal “Israel” bahkan menggambarkan gaya bertempur Hamas sebagai “bunglon” karena begitu beragam dan berubah-ubah.
Pendekatan dinamis ini memungkinkan perlawanan menyesuaikan diri dengan situasi tempur yang berubah, menjaga elemen kejutan, serta membuat musuh selalu cemas akan serangan tak terduga—sebuah ciri khas dalam peperangan asimetris.
Dengan kata lain, strategi pertahanan yang efektif di awal perang, tidak lagi sesuai di fase-fase selanjutnya. Taktik tempur di Gaza dan wilayah utara berbeda dari taktik di Khan Younis dan Rafah. Bahkan, dalam satu wilayah yang sama pun taktik bisa berubah tergantung pergerakan musuh, dan bisa berbeda antar satu batalion dengan batalion lain.
Jika dibandingkan, misalnya, antara Pertempuran Jabalia I (November), Pertempuran Jabalia II (Mei), dan Pertempuran Jabalia III (Oktober), terlihat jelas perbedaan dalam pendekatan taktis yang digunakan.
Kelompok perlawanan umumnya—terutama ketika perang berlangsung lama dan sumber daya menipis—mengadopsi strategi pertahanan fleksibel, berbeda dari militer konvensional yang cenderung bertahan secara statis. Dalam pertahanan fleksibel, pasukan digerakkan sesuai kondisi medan tempur demi menyerang titik lemah musuh secara lebih efektif, ketimbang membuang kekuatan di area yang tidak menghasilkan kerugian signifikan bagi lawan.
Sedangkan ekonomi kekuatan adalah penggunaan seminimal mungkin sumber daya—baik senjata, prajurit, maupun infrastruktur—untuk mempertahankan diri, tanpa kehabisan tenaga dan sumber daya. Ini penting karena perlawanan tidak memiliki jalur suplai, sehingga sangat bergantung pada efisiensi dalam setiap langkah pertempuran.
Prinsip ini diterapkan di Pertempuran Khan Younis melawan Divisi 98 dan Pertempuran Rafah melawan Divisi 162, di mana laporan-laporan “Israel” sendiri menyebut bahwa Hamas menarik tiga perempat pasukannya dan hanya menyisakan seperempat kekuatan untuk mempertahankan wilayah.
Dalam perang yang panjang dan kompleks, baik bagi perlawanan maupun “Israel”, strategi saling menekan dan menguras tenaga menjadi fokus utama. Selama berbulan-bulan, perlawanan terus menyempurnakan taktiknya demi menghindari kelelahan. Sebaliknya, “Israel” justru menghadapi ancaman kehabisan tenaga, karena harus menyebarkan pasukannya ke beberapa front sekaligus: Lebanon, Suriah, dan Tepi Barat. “Israel” akhirnya terpaksa mengerahkan tiga divisi militer ke Gaza—jumlah yang cukup besar untuk ukuran tentara yang relatif kecil.
Sementara “Israel” terus menambah pasukan dan logistik serta menanggung beban kerugian sendiri, perlawanan justru mempertahankan kekuatannya dan menyimpan sumber daya serta jaringan terowongan bawah tanahnya. Mereka menunggu momen yang tepat untuk melancarkan serangan, dan ketika saatnya tiba, perlawanan akan menghantam dengan kekuatan penuh. Dalam skenario ini, beban perang sepenuhnya ditanggung “Israel”, sementara perlawanan hampir tidak kehilangan apa-apa.
Sepanjang perang, banyak yang mempertanyakan kemampuan perlawanan—terutama karena propaganda “Israel” yang mengklaim berhasil melemahkannya. Namun fakta-fakta di medan perang berkata lain. Misalnya, dalam 72 jam sebelum gencatan senjata dimulai, Beit Hanoun mencatat salah satu jumlah korban terbesar di pihak “Israel”, dengan sekitar 10 tentara tewas—padahal daerah itu sudah diserang sejak hari pertama invasi darat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keheningan operasi militer dari pihak perlawanan bukanlah tanda kelemahan atau kegagalan organisasi. Sebaliknya, ini merupakan bagian dari strategi defensif untuk mencapai tiga tujuan: menguras tenaga musuh, mempertahankan kekuatan, dan melemahkan semangat bertempur musuh.
Apa yang efektif secara militer di fase awal perang, tidak lagi relevan saat ini. Oleh karena itu, meninggalkan wilayah dan mundur ke daerah pertahanan yang lebih dalam bisa lebih menguntungkan daripada mempertahankan setiap garis depan. Pendekatan ini memungkinkan penggunaan sumber daya secara optimal, meminimalkan kerugian, dan menjaga kemampuan bertempur untuk jangka waktu yang lebih panjang.
Jika strategi ini berhasil, perlawanan tidak hanya akan meraih keunggulan militer, tetapi juga memperkuat posisinya dalam negosiasi politik. Kemampuan bertahan dan melakukan serangan terarah menunjukkan bahwa mereka masih memegang inisiatif strategis. Ini adalah bentuk perlawanan dinamis yang mampu mengubah peta kekuatan.
Selain itu, strategi ini juga memengaruhi opini publik “Israel”, yang mulai kehilangan kepercayaan pada perang dan menjadi lebih sensitif terhadap kerugian di pihak militer. Banyak yang menilai bahwa perang ini lebih melayani kepentingan politik pribadi Netanyahu dan sayap kanan “Israel” daripada kepentingan negara.
Strategi ini juga menekan sikap Amerika Serikat yang mulai goyah terhadap kelanjutan operasi militer. Pemerintah AS, baik sebelumnya maupun saat ini, sepakat bahwa pencapaian militer tidak akan berarti apa-apa jika tidak didukung oleh proses politik. Menteri Luar Negeri AS sebelumnya, Antony Blinken, dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin pernah mengatakan bahwa keberhasilan taktis “Israel” di Gaza bisa hilang begitu saja—bahkan berubah menjadi kekalahan besar—jika tidak dimanfaatkan dalam kerangka politik.
Artikel ini diterjemahkan dari tulisan asli yang dimuat di situs Al Jazeera dengan judul berbahasa Arab: “لماذا لا تقاتل المقاومة؟”, yang dalam transliterasi Latin berbunyi: “Limādzā lā tuqātil al-muqāwamah?” dan berarti “Mengapa Perlawanan Tidak Lagi Bertempur?”
(Samirmusa/arrahmah.id)