Oleh: Pizaro Gozali Idrus*)
(Arrahmah.id) – Oposisi utama Turki berhaluan sekuler Partai Rakyat Republik atau CHP akhirnya kembali mempertahankan kekuasaanya di kota-kota besar Turki dan turut meraih kemenangan besar di kota lainnya dalam Pilkada Turki yang berlangsung pada Ahad (31/3).
Situasi ini menjadi pukulan bagi Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Partai pimpinannya Keadilan dan Pembangunan (AKP), yang bertekad merebut kembali kendali atas wilayah-wilayah perkotaan di negara itu.
Dengan total hampir 100% kotak suara yang telah dihitung, Walikota Istanbul Ekrem Imamoglu, dari CHP, memimpin dengan selisih 10 persen melawan penantangnya dari AKP sekaligus mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Urbanisasi Murat Kurum.
Sementara itu Mansur Yavas, wali kota ibu kota Ankara yang juga berasal dari CHP, mempertahankan kursinya dengan unggul 65%, jauh melangkahi Turgut Altinok dari AKP yang hanya meraih 35%.
Total CHP memperoleh 37% suara nasional, unggul dari AKP yang meraih 36%. Meski terjadi perbedaan selisih suara yang tipis, ini menandai kemenangan pemilu terbesar CHP terhadap Erdogan yang berkuasa sejak 20 tahun lalu.
Erdogan mengakui kemunduran yang dicapai partainya dalam pilkada kali ini. Untuk itu, ia berjanji akan melakukan analisa dan otokritik bagi partainya selama empat tahun kedepan sebelum duel melawan CHP kembali digelar.
“Sayangnya, sembilan bulan setelah kemenangan kami pada pemilu 28 Mei, kami tidak bisa mendapatkan hasil yang kami inginkan dalam pemilu lokal. Kami akan memperbaiki kesalahan kami dan memperbaiki kekurangan kami,” ucap Erdogan.
Pilkada Turki menjadi barometer popularitas Erdogan dalam kendali kekuasaannya. Sebelumya, kemenangan CHP di Ankara dan Istanbul pada tahun 2019 telah mengejutkan AKP yang tidak terkalahkan di dua wilayah strategis tersebut.
Dua kota tersebut bisa dikatakan menjadi tolak ukur kekuatan politik partai di negeri dua benua itu, yakni Istanbul sebagai kota terbesar sekaligus pusat ekonomi dan Ankara sebagai ibu kota negara.
Tentunya banyak analisa dan variabel yang mengakibatkan mengapa popularitas Erdogan dan AKP merosot tajam pada pemilu kali ini.
Pertama, tak bisa dipungkiri. Faktor ekonomi menjadi alasan besar mengapa dukungan kepada AKP menurun. Dengan inflasi mencapai 67 persen, banyak harga kebutuhan pokok membumbung tinggi dan semakin menyulitkan kehidupan ekonomi warga. Racikan Erdogan dengan bolak balik mengganti kepala bank sentral sejauh ini tidak berhasil.
Sebenarnya juga tidak ada yang terlalu menonjol saat CHP memimpin Istanbul dan Ankara. Tapi kekalahan AKP dalam pilkada kali ini merupakan cara warga untuk menghukum Erdogan.
Perlu dicatat ada satu varian para pemilih Turki yang tidak terlalu mementingkan ideologi partai. Apakah mereka berhaluan Islam atau sekuler, sepanjang para pemimpin dapat menjaga kesejahteraan masyarakat dan menjaga kebutuhan tetap terjangkau, itulah yang akan mereka pilih.
Kedua, adanya suara pendukung AKP yang kini memilih golput. Mereka adalah para pemilih yang kecewa dengan AKP tapi juga enggan memilih CHP maupun partai lainnya. Berdasarkan data, tingkat pemilih dalam pilkada Turki hari ini mencapai 76%, jauh dari pemilih pemilu 2023 yang mencapai 87%.
Banyak di antara mereka menilai pilkada tidak akan banyak mempengaruhi situasi ekonomi di Turki karena CHP juga tidak mewakili pendekatan baru. Turki pernah mengalami krisis ekonomi yang sangat buruk pada 2001 saat CHP memimpin. Situasi itu menyebabkan kerugian ekonomi sebesar $20 miliar atau 10% dari PDB Turki.
Pada tahun itu, bursa saham Borsa kehilangan hampir 30% nilainya dalam beberapa hari dan suku bunga meroket 7.500%. Bank Sentral kehilangan cadangan mata uang sebesar $7,6 miliar, perekonomian Turki menyusut 5,7%, dan inflasi melonjak menjadi 88%. Walhasil, tingkat pengangguran sebesar 6,5% pada tahun 2000 naik menjadi 8,5% pada tahun 2001 dan 10,3% pada tahun 2002. Hingga lebih dari dua puluh tahun krisis itu terjadi, bayang-bayang kegagalan CHP masih banyak menghantui para pemilih Turki.
Ketiga, kekalahan AKP juga tidak lepas dari Partai berhaluan Islam Refah Baru (YDP) yang menarik diri dari AKP karena Erdogan dianggap gagal memenuhi tiga tuntutan mereka. Yakni, berhenti berdagang dengan Israel, tutup pangkalan radar NATO di Kurecik, tambah dana pensiun warga. Menurut Fatih Erbakan, hubungan dagang Turki dengan Israel turut menyumbang berkurangnya dukungan Ankara bagi Palestina.
Benar saja, partai pimpinan Fatih Erbakan ini berhasil meraih 6,19% suara dalam pilkada kali ini melewati target mereka yang hanya 5%. Mereka sukses mencuri kemenangan pilkada di dua wilaah berbasis pemilih Muslim Kota Sanliurfa dan Provinsi Yozgat yang sebelumnya dikuasai AKP.
Walau keduanya daerah kecil, tapi pencapaian YDP sebagai partai yang baru didirkan pada 2018 merupakan pencapaian yang progres. Banyak analisa bahwa YDP berhasil menarik ceruk sejumlah pemilih AKP yang masih fokus pada agenda-agenda keIslaman.
Keempat, terobosan baru yang dilakukan CHP dengan terpilihnya ketua umum baru Ozgur Ozel, 50 tahun, yang lebih muda menggantikan Kemal Kilicdaroglu, 74 tahun, pada November 2023 lalu juga berperan dalam memaksimalkan mesin partai. Kilicdaroglu telah memimpin partai tersebut sejak tahun 2010 dan telah banyak disalahkan dalam kekalahan pada pemilu 2023.
Situasi ini juga membuat koalisi besar oposisi pecah. Ozel lahir dengan gagasan baru. Dia melakukan demokratisasi partai agar lebih fresh yang sebelumnya mandeg di era Kilicdaroglu. Ozel juga menyasar para pemilih muda dan rasional sebagai strategi pemenangan partai. Hal ini dilakukan untuk menambal lubang pemilih usai pecahnya Aliansi Bangsa –koalisi enam partai—
pada pemilu 2023 karena besarnya kritik kepada performa Kilicdaroglu sebagai capres.
Baik Ekrem Imamoglu dan Mansur Yavas kini menjadi kandidat kuat capres pada pemilu nasional Turki pada 2028 mendatang. Meski aliansi oposisi terpecah belah, bukan tidak mungkin mereka akan bersatu kembali pada pemilu mendatang untuk melawan AKP.
Situasi ini akan menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Erdogan dan AKP untuk membereskan ekonomi saat ini dan menyatukan kembali para koalisi pendukungnya. Jika tidak, ini akan menandai era berakhirnya AKP di tampuk kekuasaan Turki.
*) Penulis adalah Mahasiwa studi doktoral studi Kebijakan dan HI Universiti Sains Malaysia, Redaktur Kantor Berita Turki Anadolu Agency (2017-2022).