“Mengapa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menganggap Khalifah Al-Ma’mun yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sebagai orang kafir ?”
Syaikh Al Mujahid Abu Qatadah Al Filishtniy – fakkallohu asrahu- menjawabnya dengan jawaban sebagai berikut :
“Di antara syubhat orang-orang yang tak mau memvonis kafir pemerintah yang mengganti syariat Allah tidak membolehkan menentang dan melawan mereka dan bahkan membolehkan berbaiat kepadanya ialah perkataan mereka, “Sesungguhnya para ulama – yang salah satu tokoh utamanya adalah Imam Ahmad bin Hanbal- tidak memvonis kafir khalifah Al Ma’mun, dan tidak melancarkan pemberontakan untuk menggulingkannya meskipun ia berpendapat Al-Qur’an adalah makhluk serta berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat.”
Kami jawab, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kami, “Alasan di atas tak akan dikatakan, kecuali oleh orang-orang bodoh dan awam. Jika ia bukan orang bodoh, berarti orang yang mempermainkan agama Allah. Bagi yang mengerti realitas kita hari ini, mengetahui sebab kafirnya pemerintah saat ini, serta mengetahui sikap para Imam Ahlus Sunnah terhadap mereka yang salah dalam menakwilkan nash, akan memahami bahwa kondisi Khalifah Al Ma’mun tak bisa dibandingkan dengan realitas pemerintahan saat ini dari sisi mana pun. Sebab, terdapat perbedaan yang sangat besar antara mereka yang sengaja dan bermaksud untuk berpaling dan menolak hukum Islam dengan mereka yang berupaya mencari kebenaran, namun ternyata mereka terjerumus dalam pemahaman yang salah.
Sebagaimana dalam kasus Khalifah Al Ma’mun dan penerusnya yaitu Al Mu’tashim yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk juga kelompok Jahmiyyah yaitu mereka yang beranggapan bahwa Allah tidak memiliki sifat. Mereka ini dikategorikan sebagai orang-orang yang salah dalam mentakwil (mis interpretation).
Mazhab Ahlussunnah telah mempunyai sikap pendapat dan hukum yang pasti terhadap mereka yang salah dalam memahami dalil dan dalam mentakwil. Kita bisa mengatakan, bahwa ulama salaf telah bersepakat atas hukum mereka yang salah paham, meskipun terdapat perbedaan di kalangan ulama muta’akhirin yang datang kemudian.
التأويل: هو اعتقاد غير الدليل دليلاً، وصورته: أن يقول المرء قولاً أو يعتقد أمراً أو يفعل فعلاً وهو يظن أن هذا القول وهذا الفعل وهذا الاعتقاد هو الحق الذي جاء به الرسول r وهو في حقيقة الأمر وفي نفس الأمر ليس كذلك، فهو رجل يريد الحق ولا يُدركه، وهذا حال أهل البدع في أمّتنا فإِنهم يريدون الحق ولكنهم أخطأوه، والبدع قد تكون في العلْميات «كالبدع الاعتقادية» وقد تكون في العملِيات، وهؤلاء مع قولهم وفعلهم واعتقادهم المخالف للشريعة إلاّ أن قصدهم يعذرهم في نفس الأمر، ولهذا نهى الأئمة عن تكفير المتأوّلين، وقد كتب ابن حزم كتاباً في هذا ذكره في كتابه “إحكام الأحكام”،
Adapun definisi ta’wil ialah meyakini sebuah ayat atau hadits sebagai dalil, padahal ayat atau hadits tersebut sebenarnya bukanlah dalil dalam masalah yang dimaksudnya. Contohnya ialah saat seseorang berpendapat tentang sesuatu, meyakini sebuah keyakinan, atau melakukan suatu perbuatan yang dikiranya bahwa pendapat, keyakinan, atau perbuatan ini benar sebagaimana yang diajarkan Nabi, sementara pada hakikatnya hal itu tidaklah demikian. Ia ingin mencari kebenaran, tapi tidak mendapatkannya. Keadaan ini seperti yang terjadi dengan para ahlul bid’ah saat ini. Mereka sebenarnya ingin melakukan kebenaran, tapi mereka justru terjerumus dalam kesalahan. Dan bid’ah serta kekeliruan semacam ini, bisa terjadi dalam masalah keyakinan (I’tiqad/Aqidah) bisa juga dalam amaliyyah (perbuatan).
Adapun Khalifah Al-Ma’mun dan kaum Jahmiyah, meskipun keyakinan dan pendapat mereka menyimpang dari syari’ah, namun karena tujuan mereka adalah ingin mendapatkan yang haq, maka para ulama berpendapat bahwa kondisi mereka ini menjadi penghalang untuk mengkafirkan mereka. Oleh sebab itu, para ulama melarang kita memvonis kafir bagi mereka yang salah dalam mentakwil namun sejatinya mereka ingin mendapatkan yang haq.
Berkaitan dengan masalah ini pula, Ibnu Hazm telah menuliskannya dalam Ihkamul Ahkam.
Ini lah mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah. Berbeda dengan pendapat Khawarij dan Mu’tazilah yang memvonis kafir terhadap mereka yang tak sependapat dengan mazhabnya, sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah meskipun mereka tetap berkeyakinan ada di antara pendapat ahlul bid’ah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir seketika, tapi mereka tak langsung memvonis kafir setiap orang yang berpendapat demikian. Sebab, ada perbedaan besar antara vonis kafir terhadap perbuatan dengan vonis kafir pelaku perbuatan tersebut, dan perkara seperti ini sudah diketahui oleh para pelajar dan thalibul ilmi tingkat pemula sekali pun.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
الأقوال التي يكفر قائلها، قد يكون الرجل لم تبلغه النصوص الموجبة لمعرفة الحق، وقد تكون عنده، ولم تثبت عنده، أو لم يتمكن من فهمها، وقد يكون قد عرضت له شبهات يعذره الله بها، فمن كان من المؤمنين مجتهداً في طلب الحق وأخطأ، فإن الله يغفرُ لهُ خطاياه كائناً من كان، سواءً كان في المسائل النظرية، أو العملية، هذا الذي عليه أصحاب النبي صلي الله عليه وسلم وجماهير أئمة الإسلام”
“Ada banyak ucapan yang bisa menyebabkan orang yang mengucapkannya menjadi kafir, namun bisa jadi si pengucap belum mengetahui dalil-dalil yang membuatnya bisa memahami kebenaran (bahwa ucapan itu dapat menyebabkan kekufuran –pent). Bisa jadi pula ia telah mengetahui, tetapi ia belum mengetahui tsubut (keabsahan) dalil itu ia belum memahami dalil tersebut dengan pemahaman yang benar. Bisa jadi pula karena ia mengalami kerancuan dalam memahami dalil tersebut, sehingga dimaafkan oleh Allah. Maka siapa saja dari orang mukmin yang mencari kebenaran, yang berijtihad dan bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran tapi ia terjatuh dalam kesalahan, Allah akan mengampuni semua kesalahannya siapa pun dia, baik dalam permasalahan pemahaman maupun permasalahan ibadah praktis. Demikianlah pendapat seluruh shahabat Nabi dan jumhur ulama kaum muslimin”.
إلى أن قال: “كان الإمام أحمد -رحمه الله تعالى- يُكفرّ الجهمية المنكرين لأسماء الله وصفاته، لأن مناقضة أقوالهم لما جاء به الرسول r ظاهرةٌ بينة… لكن ما كان يُكفّرُ أعيانهم، فإن الذي يدعو إلى القول أعظم من الذي يقول به، والذي يُعاقب مخالفه أعظمُ من الذي يدعو فقط… ومع هذا فالذين كانوا من ولاة الأمور يقولون بقول الجهمية، ويدعون الناس إلى ذلك ويُعاقبونهم، ويُكفرون من لم يُجبهم، ومع هذا فالإمام أحمد -رحمه الله تعالى- ترحمّ عليهم، واستغفرَ لهم، لعلمه بأنهم لم يُبَيَّنُ لهم أنهم مكذبون للرسول r ولا جاحدون لما جاء به، ولكن تأولّوا فأخطئوا، وقلّدوا من قال لهم ذلك…”
Sampai dengan fatwa Syaikhul Islam :
“………….Imam Ahmad mengafirkan orang-orang Jahmiyah yang mengingkari nama dan sifat Allah karena pendapat mereka yang jelas-jelas menyalahi ajaran Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau tidak mengafirkan setiap individu yang berpendapat demikian. Sebab, orang yang mengajak orang lain hukumnya lebih berat dibandingkan dengan orang yang sekadar mengatakannya. Sementara itu, orang yang menghukum siapa yang tak mau mengikuti pendapatnya adalah lebih jahat dari mereka yang sekadar mengajak orang lain.
Pada waktu itu, para pejabat pemerintahan yang menganut pendapat kaum Jahmiyah menyeru manusia untuk menganut pendapat mereka serta menghukum dan memvonis kafir bagi yang tak mau mengikuti pendapat mereka. Meskipun demikian, Imam Ahmad tetap berbuat baik dan memintakan ampunan kepada Allah bagi mereka. Sebab, beliau tahu pasti mereka tak sadar bahwa mereka mendustakan Nabi dan menentang ajarannya, tetapi hanya salah dalam memahami kebenaran dan mengikuti orang-orang yang berpendapat seperti itu…” [1]
Beginilah sikap para ulama terhadap orang-orang yang salah dalam memahami dan mentakwil nash. Karena yang mereka inginkan sebenarnya kebenaran serta tak pernah bermaksud mendustakan Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam dan menentang ajarannya sehingga hal ini menjadi penghalang mereka untuk divonis kafir.
Berbeda dengan para penguasa di zaman modern ini, bagi mereka yang menggunakan bashiroh dan akal mereka pasti akan bisa menyimpulkan dan mengetahui bahwa para penguasa pada zaman kita saat ini secara sengaja memang ingin menyelisihi dan menentang syariat Islam. Bahkan, mereka mendeklarasikan dan menyatakannya secara terang-terangan di dalam undang-undang dan peraturan hukum mereka : bahwa kedaulatan adalah berada di tangan rakyat. Kedaulatan yang berupa kekuasaan tertinggi dan mutlak yang berhak menentukan hukum atas segala perbuatan dan tindakan serta segala sesuatu yang berkaitan dengan peri kehidupan manusia.
Padahal, yang demikian ini merupakan makna kata Ar-Rabb dalam Islam, yakni Yang Maha Berkuasa, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, dan Yang Berhak Menetapkan Hukum dan Undang-undang. Sikap merebut hak Allah dalam tahkim (mengatur dan menentukan hukum) ini adalah inti kekufuran, pokok utama penentangan terhadap Syari’ah Allah, serta bentuk nyata pengingkaran dan pembangkangan terhadap Syari’ah Allah.
Lantas, bagaimana mungkin orang-orang buta dan bodoh itu bisa menyamakan pemimpin yang meyakini hanya Allah saja yang berhak menentukan hukum, melarang dan memerintah, tetapi salah dalam memahaminya dengan pemerintah yang menolak mengakui hanya Allah yang berhak melarang dan memerintah, bahkan menyatakan dirinya sendiri lah yang berhak menentukan hukum memerintah dan melarang ? Apakah dua hal ini sama? Kita berlindung kepada Allah dari pengkhianatan terhadap Syari’ah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Oleh sebab itu, di antara yang menjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama kita ialah bahwa pembuatan dan penetapan undang-undang yang menyelisihi hukum Allah adalah perbuatan kufur. Hal ini sebagaimana dinyatakan Imam Asy Syathibi dalam Al I’tisham jilid. I hlm. 61:
“Para ulama telah bersepakat bahwa mengganti aturan Dienul Islam (syari’ah Islam) dengan hukum selainnya ialah perbuatan syirik dan kufur”.
Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan, “Kapan saja seseorang menganggap halal sesuatu yang disepakati keharamannya atau mengharamkan sesuatu yang disepakati kehalalannya atau mengganti syariat yang telah disepakati para ulama, para ahli fikih bersepakat ia telah kafir dan murtad”. [2]
Lalu, apakah yang dilakukan para penguasa negeri-negeri umat Islam saat ini (menerapkan hukum selain hukum Allah) termasuk salah ta’wil (paham) ataukah memang mereka berniat menyingkirkan Al Qur’an dan As Sunnah serta memegang erat-erat aturan Barat dalam mengatur negara ? Siapa saja yang menyangka pemerintah yang mengganti syariat Islam sebenarnya berniat baik, yakni ingin menerapkan syariat Islam tetapi mereka salah memahaminya (sebagaimana Khalifah Al-Ma’mun—Penj), berarti ia telah berbohong tentang realitas pemerintahan tersebut dan membohongi dirinya sendiri.
Realitas dan fakta yang ada membantah dan menepis anggapan tersebut. Sebab, penyimpangan pemerintah yang mengganti syariat Islam dengan syariat lain bukanlah karena mereka salah memahami syariat Islam, tetapi karena mereka memang ingin menyelisih, melawan, dan menandingi syariat Allah.
Perkara ini merupakan sesuatu yang sangat jelas dan terang. Namun, mereka secara terang-terangan justru menyatakan syariat Islam tidak masuk dalam urusan politik dan perundang-undangan. Di samping itu, mereka juga menganggap syariat Islam hanya mengatur hubungan antara hamba dan Rabbnya. Karena itu, orang-orang tersebut hendaknya takut kepada Allah dan tidak membohongi masyarakat atas nama agama.”
Sampai di sini jawaban Syaikh. Kita memohon kepada Allah agar dirinya beserta ilmunya bisa bermanfaat bagi Islam serta kaum muslimin dan berkenan membalasnya dengan sebaik-baik balasan.
Syaikh Abu Qatadah Al Filishtiny –fakkalloohu asrohu- menulis jawaban ini pada tanggal 14 Muharram 1418 H, 21 5 1997.
Source : abuizzudinalhazimi.wordpress.com