DERNA (Arrahmah.id) — Sisa-sisa kehancuran akibat banjir bandang yang datang tiba-tiba di kota Derna, Libya, masih nampak meskipun sudah 3 hari kejadian berlalu.
Dilansir Middle East Eye (13/9/2023), setidaknya 5.200 orang tewas di Derna setelah dua bendungan hancur pada hari Senin (11/9) lalu menyapu bersih wilayah yang ada di aliran sungai menuju laut. Sekitar 10.000 orang masih diinformasikan hilang.
Menurut para ahli dan analis kepada Middle East Eye, angka kematian yang tinggi dikarenakan infrastruktur yang buruk dan kurangnya perencanaan berkontribusi terhadap banyaknya korban jiwa.
Selain itu, perubahan iklim juga memperparah badai, kata mereka. Akibat perubahan iklim itu, terjadi cuaca ekstrim seperti halnya kasus badai Daniel pada tanggal 4 September yang menyebabkan 25 orang tewas di Yunani, Turki, dan Bulgaria.
Para ahli dan analis menyebutkan bahwa puncak badai terjadi pada ahad lalu dengan kesepatan 70-80 km per jam dengan curah hujan tertinggi sebesar 414,1 mm pada hari Seninnya.
Dampak ekstrimnya cuaca dan infrastruktur yang buruk, dua bendungan yang ada di kota Derna jebol dan menyebabkan 25% kota hilang tersapu muntahan air.
Dalam beberapa hari, badai tersebut dengan cepat menjadi salah satu badai paling mematikan yang pernah tercatat di Afrika Utara.
“Jika bendungan-bendungan tersebut dipelihara dengan lebih baik, hal ini akan mengurangi kerusakan secara efektif,” ujar Liz Stephens, profesor risiko dan ketahanan iklim di University of Reading.
“Betul Yunani dilanda banjir dan menyebabkan orang tewas akibat Badai Daniel, namun hilangnya nyawa secara tragis di Libya sebagian besar disebabkan oleh jebolnya bendungan secara tiba-tiba, sehingga tidak ada momen untuk menyelamatkan diri,” kata Stephens kepada Middle East Eye.
“Bendungan-bendungan tersebut pada awalnya mampu menahan air, namun infrastruktur yang buruk menyebabkan seluruh air keluar. Sialnya, puing-puing sisa bangunan bendungan yang bergerak bersama air bah menambah daya rusaknya.”
Sebelumnya, sebuah laporan pernah diterbitkan tahun lalu oleh seorang akademisi di Universitas Omar Al-Mukhtar di Libya yang memperkirakan bahwa wilayah Derna memiliki potensi risiko banjir yang tinggi dan bendungan yang ada di kota itu memerlukan perbaikan.
“Bendungan di Libya berada dalam kondisi lemah,” ujar Malak Altaeb, seorang konsultan independen dan peneliti kebijakan lingkungan hidup di Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), mengatakan kepada MEE.
“Jika bendungan-bendungan tersebut dipelihara dengan lebih baik, maka kerusakan yang terjadi akan berkurang secara efektif.”
Pada hari Selasa, seorang pejabat setempat mengatakan kepada media lokal bahwa bendungan lain di wilayah timur, antara Derna dan Benghazi, terisi air dan berada di ambang kehancuran.
Altaeb mengatakan Libya tidak memiliki kesiapan bencana yang kuat, sistem peringatan dini, rencana evakuasi dan infrastruktur yang terpelihara dengan baik yang diperlukan untuk “mengurangi dampak badai dan melindungi nyawa”.
Lubna Yousef, seorang peneliti kebijakan di kawasan MENA dan perubahan iklim, menyalahkan kedua pemerintahan Libya atas kehancuran akibat badai tersebut.
“Rencana evakuasi, tempat penampungan, pemahaman tentang potensi skala kerusakan infrastruktur, dan alokasi anggaran untuk pemulihan semuanya sangat kurang di kedua pemerintah,” kata Yousef kepada MEE.
“Meskipun badai ini merupakan katalisator langsungnya, kegagalan negara selama beberapa dekade, tata kelola yang buruk, korupsi,dan konflik memperburuk dampaknya.”
Dia mengatakan bahwa Libya timur telah lama mendapat alokasi anggaran yang tidak memadai untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, bahkan selama era Gaddafi sebelum tahun 2011.
“Meskipun perubahan iklim kemungkinan besar akan menyebabkan penurunan jumlah siklon di Mediterania secara keseluruhan, badai yang terbentuk kemungkinan akan lebih kuat, dengan curah hujan yang lebih tinggi,” kata Stephens.
Sebuah laporan yang diterbitkan oleh sekelompok ilmuwan internasional pada bulan September 2022 mengidentifikasi Mediterania bagian timur dan Timur Tengah sebagai titik panas perubahan iklim, dimana pemanasan global hampir dua kali lebih cepat dari rata-rata global.
Pemanasan seperti itu akan menyebabkan gelombang panas, badai debu, hujan deras, dan peristiwa cuaca ekstrem lainnya, yang berpotensi menimbulkan dampak sosial yang mengganggu, demikian temuan studi tersebut.
“Wilayah MENA memang salah satu wilayah yang paling rentan terhadap perubahan iklim dan kita sudah melihat dampaknya,” kata Yousef.
“Tempat-tempat seperti Bahrain dianggap sebagai salah satu negara yang paling kekurangan air di kawasan Teluk, sementara negara-negara lain, seperti Iran, sedang menuju bencana kemanusiaan karena buruknya pengelolaan air di negara tersebut.”
Dia mengatakan bahwa situasi ini memerlukan pendekatan kooperatif di kawasan ini, karena tantangan terkait iklim “lintas batas”.
“Otoritas Libya dan internasional harus menerapkan strategi mitigasi dan adaptasi yang efektif agar lebih siap menghadapi kejadian di masa depan,” kata Altaeb.
“Koordinasi regional penting setelah dampak besar perubahan iklim dan bencana alam untuk mengatasi dampak iklim lintas batas dan berbagi pengetahuan dan sumber daya.” (hanoum/arrahmah.id)