Oleh Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
(Arrahmah.com) – Alasan yang disampaikan oleh Jokowi tentang kebijakan kenaikan BBM menurut Golkar yang diwakili Bambang Soesatyo “tidak kreatif”. Bermunculan banyak statement seputar kebijakan ini dari banyak kalangan terutama para politisi. Jika dulu saat PDI-P tidak menjadi partai penguasa, konsisten menolaknya. Maka saat ini justru mendukungnya dengan beragam dalih/alasan yang dirasionalisasi. Dari waktu ke waktu sepanjang sejarah kebijakan energi BBM ini, alasan yang disampaikan oleh pemerintah hampir sama. Diantaranya dalam rangka menyelamatkan APBN yang disinyalir akan mempengaruhi penyelamatan pembangunan nasional untuk kepentingan rakyat. Komunikasi politik untuk menyampaikan kenapa harus dilakukan kebijakan inipun terus dibangun. Agar rakyat akhirnya memahami arti penting dan strategisnya kebijakan kenaikan BBM diputuskan.
Pemerintah lebih sibuk dan fokus mencari pilihan bahasa yang tepat dan masuk akal agar kebijakan ini diterima. Ketimbang mencari akar persoalan yang menggelayuti problema kebijakan energi ini secara sistemik. Para pakar teknologi pengelolaan energi pun seolah tidak mendapatkan tempat untuk mengambil peran. Karena kebijakan energi ini selalu didekati dengan perspektif politis. Sulit berbicara untuk mewujudkan arti kedaulatan energi. Meski di sana sini banyak kalangan terutama pengambil kebijakan selalu mengingatkan arti penting kedaulatan negara. Pernyataan itu lebih nampak sebagai lipstik ketimbang wujud sebenarnya. Belum lagi ditambah dengan kenyataan terdapatnya mafia migas yang menghantui dunia permigasan di negeri ini. Mafia yang tumbuh subur karena limpahan dollar di seputar pengelolaan energi negeri ini.
Alasan spesifik Jokowi menaikkan BBM diantaranya sebagaimana dilansir media, bahwa selama lima tahun terakhir, pembangunan infrastruktur dan kesehatan sangat minim akibat uang negara lebih banyak dipakai untuk subsidi BBM. Karena itu, menaikkan harga BBM dan mengurangi dana subsidi akan lebih bermanfaat karena dana yang ada bisa dialihkan untuk kepentingan pembangunan lainnya yang memiliki nilai manfaat lebih tinggi bagi masyarakat. Dan Jokowi juga telah menyiapkan konsep penguatan atau peningkatan keberdayaan masyarakat miskin dengan beberapa paket program. Diantaranya Kartu Indonesia Sehat, Indonesia Pintar dan Indonesia Sejahtera. Ini semua kebijakan yang dianggap tepat sebelum realokasi subsidi BBM dijalankan. Jokowi memang mewarisi ‘bom waktu’ terkait buruknya kondisi fiskal akibat target pajak yang selama tiga tahun terakhir tidak pernah tercapai, beban ‘carry over’ subsidi tahun 2012 dan 2013 serta defisit ganda di APBN dan neraca transaksi berjalan. Meski juga disampaikan bahwa akan dilakukan berbagai kebijakan seputar problem energi ini. Diantaranya menjalankan kebijakan efisiensi hulu-hilir di sektor energi, melakukan audit migas, dan terus berupaya memerangi mafia migas, termasuk langkah terobosan MoU dengan Pemerintah Angola yang diprediksikan menghemat anggaran Rp15 triliun. Sebagaimana diungkap oleh Plt Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Apa yang dilakukan Jokowi di bidang energi tidak mungkin bisa merealisasikan solusi tuntas. Pada faktanya problem pengelolaan energi di negeri ini bersifat sistemik. Harus dilakukan pendekatan sistemik pula untuk memecahkannya. Sulit mengurai fakta sebenarnya yang melatar belakangi kebijakan naiknya BBM. Karena pemerintah selama ini termasuk Jokowi lebih banyak menggunakan retorika. Menyisakan banyak pertanyaan di seputar persoalan ini. Tidakkah ada jalan lain selain menaikkan BBM di tengah beban berat APBN misalnya dengan menutup kebocoran anggaran dan penghematan pengeluaran. Atau Jokowi seharusnya berani mensetop dana BLBI ulah konglomerat hitam yang tiap tahun harus ditanggung negara sebanyak Rp 60 triliun.
Setidaknya ada beberapa indikator yang menjadi penunjuk fakta sebenarnya di balik naiknya BBM. Untuk memahami bagaimana rancang bangun solusi komprehensif dan sistemik problem sistemik energi di negeri ini. Diantaranya :
Pertama, naiknya harga BBM adalah kompensasi politik Jokowi menjadi RI 1. Isu bahwa di belakang Jokowi ada beberapa Taipan adalah benar adanya. Jokowi lebih berani menaikkan BBM atau istilah pemerintah merealokasi subsidi BBM ketimbang menstop pembayaran atas tanggungan BLBI. Karena ditutupnya kasus BLBI adalah guarantee Jokowi bisa menjadi orang nomer 1 di negeri ini.
Kedua, sikap politik tidak konsisten dari PDI-P sebagai kendaraan politik utama Jokowi-JK terhadap policy kenaikan BBM menunjukkan bahwa persoalan energi BBM lebih banyak dilihat sebagai domain politik ketimbang persoalan pemenuhan hajad hidup orang banyak. Padahal konstitusi yang berlaku di negeri ini mengamanahkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dikuasai oleh negara dan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Efesiensi dan audit di sektor migas mulai hulu hingga hilir tidak akan mampu merubah dominasi penguasaan asing pada sektor migas mulai hulu hingga hilir pula. Karena persoalan sesungguhnya adalah dikuasainya sektor migas oleh kepemilikan asing yang dilegitimasi oleh UU Migas versi revisi terbaru. Dominasi asing itu nampak dari jauh-jauh hari sebelum Jokowi jadi RI 1 sudah berani membuat statement akan menaikkan BBM.
Ketiga, selamanya dengan bangunan sistem dan rezim yang berlaku selama ini apalagi kabinet pimpinan Jokowi tidak akan pernah lahir kebijakan stop kenaikan BBM. Apalagi menurunkan harga BBM. Mindset politik kebijakan negara yang berjalan harus patuh pada LOI IMF dan World Bank yang mewajibkan untuk menghilangkan atau mencabut subsidi. Tuntutan pengelolaan sumber daya alam termasuk energi secara privat dan liberal menjadi keniscayaan. Sebagai syarat skim reschedullimg pengembalian pinjaman RI yang terus membumbung tinggi. Peningkatan target perolehan pajak, pengendalian hutang, efesiensi pengeluaran, penanganan kebocoran anggaran dan lain-lain adalah formulasi kebijakan partial yang tidak pernah melahirkan solusi mendasar dan menyeluruh. Persoalannya adalah tercerabutnya kedaulatan energi negeri ini yang dirampas oleh Asing. Performa rezim dan sistem yang diterapkan oleh Jokowi tidak berdaya mewujudkan kedaulatan energi negeri ini. Perlu sistem dan rezim yang mampu merekonstruksi tatanan konstitusi dan undang-undang liberal di negeri ini. Sebuah tatanan yang mampu merealisasikan pengelolaan dan kepemilikan energi khususnya BBM oleh bangsa sendiri. Sesuai dengan amanah konstitusi. Dan itu tidak bisa dilakukan oleh Pemimpin dengan tipikal Pecundang, Penjilat dan Antek Asing-Aseng. Meski dipoles dengan style merakyat dan penuh kesederhanaan sekalipun. Diperlukan pemimpin yang tidak hanya bisa blusukan ke rakyatnya. Lalu kesana sini menyampaikan rationalisasi kebijakan kenaikan BBM. Sembari memberi harapan-harapan semu kepada rakyat tidak berhenti hanya saat kampanye saja. Atas nama pengalihan subsidi untuk pembangunan infrastruktur yang lain lah. Namun perlu pemimpin yang berani menyatakan STOP intervensi asing atas migas. Nasionalisasikan seluruh SDA termasuk migas. Hanya untuk kemakmuran rakyat saja. Tidak berpretensi politis. Dan tidak tunduk pada Asing dan Aseng. Hanya tunduk melayani rakyat.
Keempat, ketiga faktor di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa ada sebab yang bersifat struktural dan fungsional yang menjadi penyebab BBM naik. Alasan yang disampaikan selama ini oleh pemerintah atau yang sejalan dengan pemerintah hanya bersifat formalitas semata. Bukan menggambarkan faktor sebenarnya yang menjadikan naiknya BBM. Struktural artinya tatanan rezim dan sistem kekuasaan yang berlaku hingga kini tidak mampu mewujudkan keberdayaan politik negeri ini berdaulat dan bebas dari cengkeraman asing. Padahal syarat untuk mampu melayani kepentingan rakyat adalah independen dan bebas dari dikte kepentingan asing. Fungsional artinya tanggung jawab penguasa tidak sepenuhnya mengabdi untuk kepentingan rakyat. Krisis di tubuh DPR dengan munculnya fenomena DPR Tandingan adalah di antara indikator kepentingan kekuasaan kelompok/parpol yang mengedepan dibanding kepentingan rakyat.
Beberapa alasan sebenarnya Jokowi menaikkan BBM sesungguhnya cukup menjadi acuan bagaimana seharusnya lahir political will dari penguasa untuk menuntaskan akar persoalan seputar migas. Munculnya political will penguasa harus didorong melalui sebuah mekanisme GANTI REZIM dan GANTI SISTEM. Karena rezim dan sistem yang berlaku sekarang adalah REZIM THOGUT yang memberlakukan SISTEM THOGUT buatan manusia. Beralih kepada REZIM dan SISTEM Ilahiah yang memberlakukan Hukum Sang Pencipta Manusia. Yakni Sistem Islam yang mengajarkan ajaran-ajaran tentang syareah, khilafah dan jihad. Wallahu a’lam bis showab. (arrahmah.com)