SURIAH (Arrahmah.com) – Perusahaan keamanan global profesional yang bekerja secara independen, Janes Intelijen, merilis data baru-baru ini yang menyoroti jumlah operasi yang dilakukan oleh kelompok “Daulah Islamiyah” atau Islamic State (IS) yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS, dan rezim Bashar Al-Assad.
Ditemukan sekitar 64% dari serangan ISIS telah diverifikasi di Suriah tahun ini (21 November 2013 -21 November 2014) yang menargetkan kelompok pemberontak lainnya (mujahidin). Hanya 13% dari serangan ISIS selama periode yang sama yang ditargetkan kepada pasukan Assad. Hal ini juga ditemukan dalam operasi-operasi kontra-terorisme rezim Assad, lebih dari dua-pertiga serangan udara, sangat condong terhadap berbagai kelompok yang namanya bukan ISIS. Dari 982 operasi kontraterorisme tahun ini, hanya 6% yang secara langsung menargetkan ISIS, lapor The Guardian, sebagaimana dilansir Muqawamah Media pada Senin (8/6/2015).
Tindakan ISIS sejak kemunculannya telah menyebabkan banyak kecurigaan akan koordinasi di antara mereka dan rezim Suriah. Di RO (Revolution Observer, pent) kami terus menerima banyak pertanyaan tentang kemungkinan ISIS menjadi kepanjangan tangan AS dan kecurigaan kolusi antara ISIS dan rezim Assad. Karenanya kami pikir ini akan menjadi saat yang tepat untuk menganalisa klaim tersebut, apalagi sekarang ada bukti nyata dari ISIS dan pasukan rezim Assad, terutamanya saling menghindari satu sama lain.
ASAL USUSL ISIS
Asal usul ISIS agak gelap dan mungkin menjadi alasan banyaknya muncul kecurigaan atas mereka. Semua pemimpin senior ISIS berkumpul di Camp Bucca pada tahun 2004 di tengah-tengah pemberontakan melawan pasukan koalisi selama perang Irak. The Guardian melakukan pencarian yang panjang dan eksklusif atas ISIS pada tanggal 11 Desember 2014 dan mewawancarai komandan senior ISIS.
Komandan ISIS, Abu Ahmed menegaskan penjara yang dijalankan AS memberikan kesempatan yang luar biasa. “Kami tidak pernah bisa bersama-sama semua berkumpul seperti ini di Baghdad, atau di mana pun. Itu akan menjadi kemustahilan yang berbahaya. Di sini, kami tidak hanya aman, tapi kami hanya beberapa ratus meter dari seluruh kepemimpinan Al-Qaeda.”
Abu Ahmed menjelaskan bagaimana Camp Bucca diorganisir. Sebagian besar tahanan pengikut Baghdadi – sekitar 24.000 orang, dibagi ke dalam 24 kamp. Penjara dijalankan dalam garis hirarki yang ketat, sampai ke pola warna seragam “ala-Teletubbies” yang memungkinkan sipir dan tawanan sama-sama mengenali tempat masing-masing tahanan menurut tingkatan kekuasaan.
Ketika ISIS mengamuk di daerah, maka serangan itu dipimpin oleh orang-orang yang telah menghabiskan waktu di pusat-pusat penahanan AS selama pendudukan Amerika di Irak. Menurut Hisham Al-Hashimi, analis daerah Baghdad, pemerintah Irak memperkirakan bahwa 17 dari 25 pemimpin Daulah Islam yang paling penting dalam menjalankan perang di Irak dan Suriah menghabiskan waktu di penjara-penjara AS antara tahun 2004 dan 2011.
Pada Desember 2004, Baghdadi dianggap oleh sipir penjara tidak menimbulkan risiko lanjutan dan dibebaskan pihak berwenang. “Dia sangat dihormati oleh tentara AS,” kata Abu Ahmed. “Jika dia ingin mengunjungi orang di kamp lain dia bisa, tapi kita tidak bisa. Efektif di penjara, semua pangeran ISIS bertemu secara teratur. Orang-orang yang paling penting dalam Bucca adalah mereka yang telah dekat dengan Zarqawi. Tapi pertanyaan yang tersisa adalah bagaimana ISIS bergeser dari sebuah komplotan di penjara menjadi organisasi militan utama di dunia?
Di sinilah orang-orang Ba’ath Saddam Hussain menerima persamaan, yang kehilangan segalanya ketika Saddam digulingkan. Pada tahun 2008 pertemuan antara orang-orang yang akan membentuk ISIS dan kaum Ba’ath menjadi sering. Dalam pendalaman Guardian terhadap Abu Ahmed, seorang komandan senior ISIS menegaskan: “Pertemuan ini telah menjadi jauh lebih sering – dan banyak darinya berlangsung di Suriah.” Bashar Al-Assad memiliki sejarah panjang dalam mempersenjatai dan mendukung kelompok- kelompok Jihadi, untuk kepentingan strategisnya sendiri.
ISIS DAN REZIM ASSAD
Pada bulan Mei 2006, laporan triwulanan Departemen Pertahanan AS, berjudul “Mengukur Stabilitas dan Keamanan di Irak,” diuraikan: “…. Suriah terus memberikan tempat perlindungan yang aman, transit perbatasan, dan dukungan logistik yang terbatas pada beberapa pemberontak Irak, khususnya elemen-elemen Partai Baath Irak era mantan-Saddam. Suriah juga memungkinkan mantan unsur rezim untuk terlibat dalam kegiatan organisasi, sehingga Suriah telah muncul sebagai pusat organisasi dan koordinasi yang penting bagi unsur-unsur rezim Irak. Meskipun keamanan dan intelijen Suriah terus menahan dan mendeportasi para pejuang-terkait Irak, Suriah tetap menjadi gerbang utama pejuang asing menuju Irak … “
Ada bukti yang lebih memberatkan akan kolusi rezim Suriah rezim-ISIS. The Guardian secara teratur mewawancarai Mayor Jenderal Hussein Ali Kamal, direktur intelijen di Irak, sampai kematiannya pada awal 2014. Salah satu tugasnya adalah untuk mengamankan Baghdad terhadap serangan teror. Kamal, yang didiagnosa menderita kanker pada tahun 2012 dan meninggal awal tahun ini, mengizinkan wartawan Guardian untuk mempublikasikan rincian dari percakapan mereka.
Wartawan The Guardian dikonfirmasi ketika ia pertama kali bertemu Kamal pada tahun 2009, ia meneliti transkrip rekaman yang telah dibuat pada dua pertemuan rahasia di Zabadani, dekat Damaskus, pada musim semi tahun 2009. Kemal menegaskan dalam wawancara dengan Guardian bahwa jihadis Irak, pejabat Suriah dan Ba’athists dari kedua negara dari Irak dan Suriah dibawa bersama-sama: “Kami punya seorang sumber di ruangan yang mengenakan kabel pada pertemuan di Zabadani. Dia adalah sumber yang paling sensitif yang pernah kita miliki. Sejauh yang kami tahu, ini adalah pertama kalinya telah terjadi pertemuan tingkat strategis antara semua kelompok-kelompok ini. Ini menandai titik baru dalam sejarah.”
Pada bulan Maret 2010, pasukan Irak, menangkap seorang pemimpin ISIS bernama Munaf Abdul Rahim Al-Rawi, yang diturunkan menjadi salah satu komandan utama kelompok itu di Baghdad, dan salah satu dari sedikit orang yang memiliki akses ke kelompok itu (ISIS) setelah pimpinan, Abu Omar Al-Baghdadi. Tiga badan intelijen utama Irak, bersekongkol untuk mendapatkan alat penyadap dan pelacak lokasi GPS dalam kotak bunga yang dikirim ke tempat persembunyian Abu Omar. Persembunyian Abu Omar tidak memiliki koneksi internet atau saluran telepon – semua pesan penting dibawa masuk dan keluar oleh hanya tiga orang. Salah satunya adalah Abu Bakar Al-Baghdadi. Kematian Abu Omar Al-Baghdadi dan Abu Ayub Al-Masri mengosongkan posisi yang dengan cepat diisi oleh alumni dari Camp Bucca – yang mana eselon tingkat atas mulai mempersiapkan untuk momen sejak saat mereka di penjara di selatan Irak. “Bagi kami itu adalah sebuah akademi,” ujar Abu Ahmed, “tetapi untuk mereka” – para pemimpin senior – “itu adalah manajemen sekolah. Tidak ada kekosongan sama sekali, karena begitu banyak orang telah dibimbing di penjara.
MEREBUT MOSUL
ISIS menimbulkan keburukan saat penaklukan atas Mosul. Mosul, kota terbesar di Irak setelah Baghdad adalah ibu kota provinsi dan penduduknya digadangkan sekitar 1,8 juta. Matematika sederhana. Tentara Irak memiliki 250.000 tentara, musuhnya, ISIS, memiliki sekitar 1.500. Tentara Irak memiliki tank, pesawat, dan pelatihan Amerika. ISIS tidak pernah menerjunkan tank atau pesawat. Dua divisi tentara ditempatkan di Mosul. Ini adalah sekitar 30.000 tentara, ada juga 10.000 polisi federal, 30.000 polisi setempat dan kemungkinan besar, beberapa petugas Angkatan Al Quds Iran. Pertanyaannya adalah bagaimana kekuatan yang 15 kali lebih besar dari 1.500 orang ISIS bisa sekaligus dikalahkan?
Para pejabat militer Irak menyadari serangan yang akan datang oleh ISIS. Letnan Jenderal Mahdi Gharawi, komandan operasional provinsi Nineveh, yang mana Mosul adalah ibukotanya, dikonfirmasi dalam beberapa wawancara bahwa pada akhir Mei 2014, pasukan keamanan Irak menangkap tujuh anggota ISIS di Mosul dan mempelajari bahwa kelompok tersebut merencanakan serangan di kota pada awal Juni. Gharawi, meminta komandan yang paling terpercaya Perdana Menteri Nuri Al-Maliki untuk bala bantuan. Perwira senior mencemooh permintaan itu.
Serangan terhadap Mosul dimulai pada tanggal 6 Juni 2014, ISIS menyerang Mosul dari barat laut dalam konvoi truk pickup. Pertempuran dalam kota berlangsung selama 3 hari sampai tentara lengang dan melarikan diri. Namun ada banyak tentara dan aparat keamanan, yang dalam wawancara dikonfirmasi, mereka tidak pergi – mereka diperintahkan untuk mundur. Amir al-Saadi, seorang prajurit dari salah satu divisi Angkatan Darat Irak di Mosul menguraikan apa yang terjadi: “Tentara menarik diri dari Mosul dan penarikan itu adalah tanggung jawab komandan senior. Petugas yang bertanggung jawab sedang duduk di kantornya ketika saya datang dengan beberapa prajurit lainnya. Dia mengatakan kepada kami bahwa ia telah menerima perintah untuk menarik diri dari kota secepat mungkin. Ketika dia mengatakan hal itu, kami benar-benar berpikir dia sedang bercanda. Tapi ternyata tidak. Jadi kami pergi keluar dan mengatakan kepada orang lain tentang perintah tersebut. Saat itulah kami mulai meninggalkan pangkalan, setelah mengubah seragam kami ke pakaian sipil.”
Letnan Jenderal Mahdi Gharawi mengonfirmasi hanya tiga orang bisa memberi perintah akhir: Aboud Qanbar, pada saat itu menjabat wakil kepala staf kementerian pertahanan; Ali Ghaidan, kemudian komandan pasukan darat; atau Maliki sendiri, yang secara pribadi mengarahkan para petugas paling senior dari Baghdad. Rahasia akan siapa yang memutuskan untuk meninggalkan Mosul, ujar Gharawi, berada pada ketiga orang ini. Gharawi mengatakan keputusan oleh Ghaidan dan Qanbar meninggalkan tepi barat Mosul memicu desersi massal karena tentara menyangka komandan mereka telah melarikan diri.
Semua bukti mengarah bahwa Mosul tidaklah ditinggalkan, melainkan karena perintah-perintah yang diterima para tentara untuk meninggalkan kota, tapi juga meninggalkan peralatan mereka di belakang. Maliki, sejak ia muncul sebagai perdana menteri Irak, mengkonsolidasi dan memusatkan semua departemen dan kementerian kunci kedalam kantor pribadinya, oleh karena itu keputusan untuk meninggalkan kota hanya bisa datang dari Maliki sendiri. Hal ini akan melemahkan posisinya jauh di Irak dan terutama dari basis dukungan Syiah-nya. Ia hanya akan melakukan ini jika tekanan itu berasal dari AS, karena tidak ada seorang pun memiliki begitu banyak pengaruh untuk memaksa Malaki kedalam keputusan seperti ini. ISIS telah mematahkan pemberontakan di Suriah melalui aksi-aksinya sejak pengumuman -dari apa yang disebut “Khilafah”. Senjata dan peralatan serta uang diperoleh dari Mosul adalah yang mempercepat untuk ini.
KHILAFAH ISIS
Tindakan ISIS sejak saat mengumumkan “Khilafah”-nya telah menyebabkan keretakan pada kesatuan pemberontak. Hal ini karena negara ISIS ini didasarkan pada metode eksklusif pemerintahan. ISIS mempertahankan kontrol sosialnya dengan cara melenyapkan semua perlawanan. Banyak laporan yang keluar dari Mosul dan di Suriah adalah penduduknya ditangani dengan hukuman, termasuk hukuman mati. Baghdadi mengatakan hal berikut tentang Syiah: “Al-Qaeda ingin menjalin hubungan dengan Syiah. Mereka berpikir Syiah adalah saudara mereka meskipun mereka membuat takfir pada semua sahabat dan mereka percaya Al-Qur’an rusak. Namun Al-Qaeda ingin menjalin hubungan dengan mereka. Ketika Isis mengambil kota baik kalian pilih meninggalkan Syiah atau mati. ISIS tidak bisa mengambil jizyah dari mereka. Mereka adalah agama yang baru diciptakan sehingga tidak ada jizyah dapat diambil dari mereka. “
Pelaksanaan Islam meliputi pemahaman mereka tentang keimanan dan sebagai hasilnya banyak yang telah dituduh murtad karena berbeda posisi dengan mereka. Berdasarkan hal ini, pengadilan telah diatur dan setiap penentangan terhadap peraturan ISIS atau vonis dilihat sebagai pemberontakan dan telah nampak individu dan kelompok yang dihukum dengan cara eksekusi (dibunuh, pent). Ketika semua kelompok pemberontak memerangi rezim Assad dan melancarkan serangan terhadap Damaskus, ISIS memfokuskan pada menaklukkan wilayah, bukan memerangi rezim Assad.
Telah lama banyak kecurigaan kolusi antara Assad dan ISIS. Analisis database JTIC pada tingkat regional menunjukkan bahwa ada 238 operasi kontraterorisme di Aleppo untuk setahun hingga 21 November – tetapi hanya 14 darinya yang mentargetkan ISIS. Di benteng ISIS Raqqa, ada 22 operasi kontraterorisme tetapi hanya setengahnya yang ditargetkan ke ISIS. ISIS telah banyak menghabiskan beberapa bulan terakhir dalam pertempuran di Kobani, yang memiliki nilai strategis yang sangat kecil dan memiliki nilai nol akan kehadiran rezim Assad, daripada berhadapan dengan rezim Assad di Aleppo yang diserang intens.
Yusuf Abu Abdullah, salah satu pemimpin Pasukan Al-Mujahiddin di Aleppo, mengatakan saat pejuangnya telah menyerang basis rezim, mereka telah berada di bawah serangan terpisah dari ISIS. Itu memaksa mereka untuk mundur dan jadi memerangi ISIS (karena diserang oleh ISIS, pent) bukannya pasukan Assad. Angkatan udara Assad tidak menargetkan kamp-kamp besar yang dioperasikan oleh ISIS di beberapa bagian negara, yang terus menerus memperlihatkan itu di akhir serangan-serangan udaranya [11] dan banyak pembelot dari tentara Assad telah menunjukkan beberapa komandan lapangan ISIS adalah mantan perwira militer atau intelijen tentara Suriah. Penjualan minyak dan gas antara ISIS dan rezim Assad juga menjadi kejadian biasa.
Serangan kembali AS ke Irak dan kemudian ke Suriah telah sangat meragukan. ISIS mulai dari Irak dan telah terus-menerus mengalir melintasi perbatasan Irak-Suriah, mereka telah memindahkan perbekalan dalam konvoi truk tetapi belum ditargetkan oleh AS. AS memberi ISIS perlindungan ketika melakukan serangan di Suriah terhadap sebuah kelompok baru meragukan yang dikenal sebagai ‘Khorasan,’ yang mana disebutkan pejabat sedang merencanakan sebuah serangan dalam waktu dekat negri AS. Anehnya, sejarah Khorasan adalah hampir tidak ada, dan pejabat AS tidak pernah menyebutkan kelompok itu sampai minggu sebelum serangan dimulai di Suriah. Diperkirakan 50 pejuang, kelompok tiba-tiba menjadi alasan besar untuk intervensi militer, meskipun sebuah serangan mendadak udara pada 23 September 2014 dilaporkan menewaskan 30 dari mereka.
Andrew McCarthy, mantan jaksa federal terorisme AS yang disorot di majalah National Review: “Anda belum mendengar tentang kelompok Khorasan karena memang ia tidak ada. Ini adalah nama administrasi yang datang dengan perhitungan bahwa Khorasan memiliki hubungan yang cukup untuk memancing jihadis [jadi] tidak ada yang akan memanggil Presiden di atasnya.”
Harakat Hazm menyoroti serangan udara adalah upaya signifikan AS untuk menghancurkan Jabhat al-Nusra, dan upaya yang sangat kecil untuk menghancurkan ISIS, serta tidak ada upaya sama sekali untuk menghancurkan Assad. Hal ini sangat penting karena Harakat Hazm, yang bersekutu dengan didukung CIA-Tentara Pembebasan Suriah, adalah salah satu kelompok pemberontak pertama yang menerima rudal anti-tank AS. Yang secara efektif menjadikannya sebagai salah satu sekutu yang paling dipercaya Amerika dalam konflik Suriah.
AS telah berusaha untuk menggagalkan pemberontakan di Suriah sejak hari pertama dimulainya. Meskipun hal itu mampu untuk mengalihkan pemberontakan lain di musim semi Arab (Arab Spring, pent) yang lebih luas, mereka telah gagal untuk melakukannya di Suriah di mana orang-orang telah mempertahankan orientasi Islam mereka dalam kondisi yang hampir hancur. Tidak dapat kasar bersama oposisi yang loyal, para tahanan AS kemudian mendirikan ISIS yang telah mencapai lebih dari yang AS sanggup untuk mencapainya.
Prioritas ISIS di Suriah ialah menaklukkan wilayah daripada memerangi rezim Assad, yang telah melemahkan perlawanan pemberontak terhadap Assad. Selama periode ini Assad telah duduk santai dan menonton para pemberontak berperang satu sama lain di utara Suriah dan meluncurkan serangan ketika kesempatan muncul terhadap garis depan pemberontak yang melemah. Hanya ada satu wujud yang telah mendapatkan manfaat dari kebangkitan ISIS dan apa yang telah mereka capai, yaitu AS yang sedang berjuang menggagalkan pemberontakan di Suriah.
(aliakram/arrahmah.com)