Membongkar Hakekat Syi’ah – Imam syi’ah yang konon memiliki banyak mukjizat, ternyata masih harus bertaqiyah, menyembunyikan kebenaran karena takut. Apa yang ditakutkan oleh Imam Syi’ah yang konon adalah manusia paling pemberani di jamannya? Al Mufid [seorang ulama Syi’ah] mengatakan: seorang imam harus bersifat paling pemberani di antara umatnya [Al Iqtishad hal 312]
Para pemalsu riwayat dari ahlulbait membuat ajaran baru yang dapat menjaga dan memelihara kebohongan mereka. Tetapi sebenarnya ajaran ini dapat menghancurkan/mengungkap kebatilan prinsip imamah, bahkan membuat agama menjadi batil, ajaran ini adalah taqiyah, atau kebohongan yang dilakukan dengan sengaja.
Mereka yang memalsu riwayat dari para imam tidak tinggal di tempat yang sama, juga hidup pada jaman yang berbeda-beda, juga tidak sepakat atas satu pendapat, jika ada seseorang memalsukan riwayat dari imam, ada juga orang lain yang memalsu riwyat dari imam, yang mana dua riwayat tu aling bertentanga, jalan keluar sudah siap: salah satu yang berbohong melakukan taqiyyah
Taqiyyah dalam Islam
Taqiyyah dalam terminologi syi’ah bukanlah taqiyyah yang diperbolehkan oleh Allah pada saat dalam ketakutan –Allah tidak mewajibkan taqiyah-, tetapi syi’ah beranggapan bahwa taqiyah adalah wajib, yang meningaglkan taqiyah sama dengan meninggalkan agama –menurut riwayat yang ada-.
Sedangkan taqiyah yang sah dalam Islam, bisa jadi seorang muslim hidup hingga meninggal dunia sedangkan dia belum pernah melakukan taqiyah, karena hukumnya mubah, bukan sebuah kewajiban.
Allah berfirman:
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. 16:106)
Thabari menukil riwayat dari Ibnu Abbas, dia mengatakan : Allah memberitahukan bahwa orang yang kafir setelah beriman, maka dia akan terkena murka dari Allah dan siksa yang pedih, tetapi siapa yang dipaksa dan mengucapkan kekafiran tetapi hatinya tetap beriman, agar bisa selamat dari musuh, maka hal itu tidak mengapa, karena Allah hanya menilai seorang hamba dengan apa yang diyakini oleh hati. Dari Tafsir Thabari
Allah berfirman:
Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu). (QS. 3:28)
Thabari juga menukil riwayat dari Ibnu Abbas: Allah berfirman () Allah melarang orang beriman untuk berlemah lembut terhadap orang kafir, atau menjadikan mereka sebagai teman dekat, bukannya orang beriman, kecuali ketika orang kafir dalam kondisi kuat, maka boleh memperlihatkan sikap lemah lembut pada mereka, dengan tetap menyelisihi agama mereka, inilah yang dimaksud dalam firman Allah : ()
Kedua ayat di atas menjelaskan hukum asal, lalu menambahkan perkecualian, maka menunjukkan hukum perbuatan itu adalah mubah, bukanlah sebuah perintah dan ajaran agama yang diwajibkan, seperti jelas dimaksud dalam ayat di atas
Inilah taqiyah dalam Islam.
Taqiyah menurut syi’ah
Menurut syi’ah, taqiyyah adalah agama itu sendiri, terdapat banyak riwayat yang konon bersumber dari ahlul bait, di antaranya:
Ja’far As Shadiq mengatakan: taqiyah adalah 9 dari 10 bagian agama.
Ja’far juga mengatakan: tidak ada agama bagi yang tidak bertaqiyyah,
Begitu juga riwayat dari Abu Ja’far, yang mengatakan: Taqiyyah adalah agamaku dan agama kakek-kakekku. Riwayat-riwayat ini tercantum dalam kita Al kafir, Bab Taqiyyah, jilid 2 hal 217. Tidak mungkin ahlul bait mengucapkan demikian.
Ulama syi’ah telah sepakat menekankan ajaran ini, bahkan menganggapnya sebuah rukun yang harus dikerjakan, seperti halnya shalat.
Ibnu Babawaih Al Qummi, salah seorang ulama besar syi’ah, mengatakan: kami meyakini bahwa taqiyah adalah wajib, siapa yang meninggalkannya sama seperti meninggalkan shalat. [Al I’tiqadat hal 114]
Begitulah, taqiyah yang berarti menipu dijadikan sebagai ajaran agama yang dapat mendekatkan diri pada Allah, bahkan menipu ini menjadi 90% dari agama, ini artinya orang yang selalu berbohong dan menipu dalam ucapan dan perbuatannya setiap hari maka telah melakukan 90% ajaran agama.
Celakanya lagi, menipu seperti ini bukan hanya ajaran dari seorang imam saja, bahkan telah menjadi agama seluruh keluarga Nabi, termasuk di dalamnya Nabi sendiri, seperti tercantum dalam riwayat mereka, akan lain persoalannya jika para imam tidak mengaitkan ajaran itu dengan ajran Nabi, dan menganggap ajaran agama mereka bukan agama yang dibawa oleh Nabi, inilah yang kita pahami dari ucapan imam syi’ah: [dan agama kakek kakek saya].
Apakah ad orang berakal yang dapat menerima hal ini dan menganggap taqiyah atau menipu adalah ajaran Allah yang diturunkan untuk memperbaiki akhlak dan menanamkan nilai kejujuran, sikap terus terang dan memperlakukan manusia dengan jujur, dalam perilaku manusia agar kehidupan menjadi tenteram dan berkembang dalam kerangka amanat, kejujuran dan terus terang?
Anggap saja kita percaya dengan riwayat di atas, apa konsekuensinya?
Meyakini hal di atas memiliki beberapa konsekuensi :
1. berarti agama yang diturunkan oleh Allah adalah agama taqiyah atau menipu
menipu adalah perbuatan tercela yang dibeni oleh seluruh agama dan masyarakat di dunia ini, bahkan pada jaman jahiliyah sekalipun, yang mana pada jaman jahiliyah seseorang merasa gengsi untuk menipu, apalagi menjadikan menipu dalam rangka untuk mencari pahala, apakah masuk akal Allah menurunkan ajaran agama yang mana 90% dari ajaran itu adalah menipu?
2. jika memang taqiyah adalah ajaran agama, orang yang tidak bertaqiyah tidak beragama alias kafir, juga taqiyah adalah ajaran selurhu ahlulbait, dan taqiyah adalah 9 dari 10 ajaran agama, bagaimana kita bisa percaya bahwa Nabi telah menyampaikan seluruh ajaran agama, bisa jadi Nabi menyembunyikan sebagian ajaran agama karena bertaqiyah, karnea taqiyah adalah ajaran agama Nabi, seperti tercantum dalam riwayat syi’ah, astaghfirullah, tidak mungkin Nabi dan ahlul bait meyakini seperti itu.
3. jika memang taqiyah adalah ajaran agama apa yang menjamin segala sabda Nabi bukan merupakan taqiyah? Padahal yang benar adalah berlawanan dari yang disabdakan oleh Nabi?
4. jika memang taqiyah adalah ajaran agama, siapa yang menjamin bahwa para imam tidak bertaqiyah?
5. jika memang taqiyah adalah ajaran agama, lalu apa gunanya imam? Karena tujuan dari adanya imam adalah untuk menyampaikan kebenaran kepada umat manusia, tetapi jika imam malah menyembunyikan kebenaran dan meremehkan agama untuk keselamatan pribadinya lalu apa gunanya dia menjadi imam?
6. jika memang taqiyah adalah ajaran agama lalu bagaimana kita bisa membedakan bahwa imam melakukan suatu perbuatan dalam keadaan bertaqiyah atau tidak? Bagaimana kita bisa menyelesaikan perselisihan dan perbedaan pendapat yang timbul akibat perbuatan imam?
Sedangkan menurut syi’ah, salah satu fungsi dari keberadaan imam adalah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan perselisihan, tetapi imam malah dengan sengaja menimbulkan perbedaan pendapat baru, karena mengajarkan ajaran atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kebenaran –karena bertaqiyah- akhirnya membuat pengikutnya menjadi bingung dan bersilang selisih.
Imam memerlukan pengikutnya untuk menyelesaikan perbedaan.
Maka imam memerlukan pengikutnya agar mereka dapat meramalkan ucapan imam, mana yang taqiyah dan mana yang tidak, maka pengikut para imam menyusun kitab yang menerangkan bahwa ini adalah taqiyah dan ini adalah tidak, seperti At Thusi yang menyusun dua judul kitab; tahzzhib dan istibshar, yang disusun khusus untuk tujuan di atas.
Pengikut imam memiliki keberanian lebih daripada para imam, karena si pengikut berani berterus terang mengucapkan apa yang tidak berani diucapkan oleh para imam, dan para pengikut itulah yang dapat memberi manfaat pada umat daripada imam, karena merekalah yang menyelesaikan perbedaan pendapat, bukannya para imam.
At Thusi –yang juga dijuluki oleh syiah dengan syaikhut tha’ifah- menuliskan pada pengantar kitab Tahzibul Ahkam:
Kawan-kawan yang memiliki hak yang harus kami tunaikan pada mereka, mereka menyebutkan perbedaan dan kontradiksi yang ada pada hadits-hadits mazhab kami, sampai setiap hadits yang ada pasti ada hadits lain yang membantahnya, dan hal itu dijadikan sebagai bahan untuk menyerang mazhab kami, bahkan membuat musuh dapat menerangkan kebatilan mazhab kami, …..
Beberapa baris kemudian At Thusi menambahkan:
Dia menemui beberapa kelompok yang tidak memiliki pemahaman yang kuat tentang hadis dan makna-makna lafal hadits, banyak dari mereka keluar dari mazhab yang benar ini, karnea mereka tidak dapat memecahkan keraguan yang ada akibat kontradiksi itu, saya mendengar syaikh Abu Abdullah menyebutkan bahwa Abu Husein Al Harudi Al Alawi dia memeluk mazhab kebenaran –syi’ah- dan beriman pada imamah, lalu keluar dari mazhab karena tidak bisa memecahkan keraguan yang timbul akibat kontradiksi hadits yang ada pada kami, dia meninggalkan mazhab kebenaran dan memeluk mazhab lain karena tidak bisa memecahkan kontradiksi yang ada [tahzibul ahkam jilid 1 hal 2-3]
Lihatlah bagaimana syaikh thaifah mengakui bahwa setiap riwayat pasti ada riwayat yang membantahnya, yang membuat akal sebagian syi’ah bekerja kembali lalu meninggalkan mazhab syi’ah, seperti dijelaskan di atas.
Mengapa imam yang datang kemudian tidak menjelaskan taqiyah yang dilakukan oleh imam sebelumnya?
Jika seorang imam yang terdahulu mengeluarkan sebuah fatwa atau keputusan yang mengandung taqiyah mengapa imam yang datang kemudian tidak memberitahukan pada pengikut syi’ah bahwa fatwa atau ucapan ayahnya itu adalah taqiyah? Mengapa tetap ada riwayat yang kontradiktif? Padahal imam yang datang setelah imam yang terdahulu dan tidak menjelaskan taqiyah yang dilakukan oleh imam sebelumnya, hingga kemudian ulama syi’ah menyimpulkan sendiri tanpa adanya bukti otentik dari para imam, hanya menggunakan perkiraan, kita tidak tahu apakah ucapan ulama ini benar atau tidak.
Dari keterangan di atas, kita bisa amenyimpulkan bahwa ulama syi’ah lah yang sebenarnya layak disebut sebagai imam, karena dialah yang menyelesaikan perselisihan yang timbul akibat fatwa imam yang kontradiktif. Bahkan ulama syi’ah bisa disebut sebagai “imam nya para imam” karena menyelesaikan kontradiksi yang timbul dari ucapan seluruh imam syi’ah.
Para imam syi’ah yang membuat orang jadi bingung, hingga sebagian pengikut syi’ah keluar dari syi’ah karena kontradiksi dari para imam, sebenarnya mereka tidak layak disebut imam.
Kami ahlussunnah meyakini bahwa para imam syi’ah terlepas dari seluruh kebohongan yang kontradiktif di atas, tetapi kami hanya mengomentari riwayat dari kitab-kitab syi’ah.
7. mana sifat berani para imam, yang konon salah satu syarat imam adalah orang yang paling pemberani? Seperti sifat imam menurut syi’ah.
Al Mufid mengatakan: seorang imam harus bersifat paling pemberani di antara umatnya [Al Iqtishad hal 312]
Apakah imam yang menyembunyikan kebenaran bisa dianggap pemberani?
[Bersambung]