KUPANG (Arrahmah.com) – HIV/AIDS mengancam hidup kaum ibu di Nusa Tenggara Timur, betapa tidak, hingga November lalu dari 646 kasus HIV/AIDS di daerah itu 12 persennya diantaranya yang terinveksi adalah ibu-ibu.
Kabar buruk ini hadir ketika kaum ibu di seluruh nusantara tengah siap menyambut hari jadinya pada 22 Desember mendatang.
“Jumlah ini merupakan akumulasi kasus yang terungkap ke permukaan setelah menjalani pemeriksaan di dokter. Masih ada lagi pengidap HIV/AIDS yang menutup-nutupi penyakitnya sampai akhirnya meninggal,” kata Sekretaris
Eksekutif Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) NTT Husein Pancratius di Kupang.
Menurut catatan KPAD NTT, pengidap HIV/AIDS di NTT hingga November 2009 sebanyak 646 kasus. “Dari jumlah tersebut, 12 persen pengidap di antaranya adalah ibu rumah tangga,” ujar Pancratius.
Kasus HIV/AIDS paling tinggi di NTT adalah Kabupaten Belu (189 kasus), menyusul Kota Kupang 184 kasus dan Kabupaten Sikka di Pulau Flores mencatat 112 kasus.
Dari seluruh kasus yang ditemukan, 353 kasus di antaranya adalah pengidap HIV, sedang 293 kasus lainnya adalah pengidap AIDS. Mereka yang terinveksi sekitar tiga persen adalah anak remaja (0-15 tahun), 11 persen orang dewasa (15-24 tahun), 80 persen usia produktif antara 25-49 tahun, dan enam persen sisanya menyerang usia non produktif di atas 50 tahun.
Jika diurai lagi, penyakit mematikan itu lebih banyak menyerang eks TKI (tenaga kerja Indonesia) yang bekerja di luar negeri mencapai 15 persen, pekerja seks komersial 14 persen, pekerja swasta 10 persen, PNS/guru dan petani masing-masing lima persen, pelajar/mahasiswa 2-3 persen.
Mencermati data tersebut, kasus HIV/AIDS di NTT ternyata 86 persen di antaranya menyerang orang-orang yang bukan berprofesi sebagai pekerja seks komersial (12 persen di antaranya adalah ibu rumah tangga).
“Ibu rumah tangga yang semula tergolong kelompok berisiko rendah, ternyata 12 persen di antaranya pengidap HIV/AIDS. Ini baru data yang terungkap ke permukaan. Bagaimana dengan mereka yang menyembunyikan atau menutup-nutupi kasusnya,” katanya dalam nada tanya.
Menurut KPAD NTT, dari jumlah kasus tersebut, sudah tercatat 195 orang di antaranya meninggal akibat terserang virus HIV/AIDS.
Faktor penyebab terjadinya kasus HIV/AIDS di NTT, karena desakan ekonomi, pendidikan, psikologis dan faktor sosial masyarakat lainnya yang mendorong orang melakukan hubungan seks secara bebas tanpa kendali.
“Gonta ganti pasangan dalam melakukan hubungan seks, merupakan bentuk penularan yang paling tinggi termasuk para ibu rumah tangga yang bisa jadi ditularkan oleh suaminya ataupun sebaliknya,” katanya.
Bentuk penularan HIV/AIDS ini tidak hanya melalui hubungan seks, tetapi juga melalui pengguna narkoba, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Napza) serta jarum suntik dari petugas kesehatan yang berada di pedalaman karena hanya mengandalkan satu jenis jarum suntik untuk beberapa pasien.
“Untuk NTT penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik jumlahnya mencapai lima persen sehingga perlu diwaspadai dan dicegah sejak dini,” kata Pancratius yang juga mantan Kadis Sosial NTT, Direktur RSUD Prof WZ Johannes Kupang, dan Asisten IV Setda NTT.
KPAD NTT bertekad melakukan gerakan sehati sesuara untuk melawan epidemi HIV/AIDS di provinsi kepulauan ini sejak 1 Desember lalu yang bertepatan dengan momentum peringatan Hari AIDS se-Dunia.
Pencanangan gerakan yang dilakukan oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya itu, difokuskan pada sembilan agenda prioritas untuk memperjuangkan hak-hak pengidap HIV/AIDS.
Agenda lainnya, terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat guna mencegah infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS yang dititikberatkan pada aspek pembinaan, instropeksi dan komunikasi serta melakukan survei dan pemantauan secara terus-menerus terhadap penyeberan HIV/AIDS, melakukan penelitian dan riset tentang perilaku sunat tradisional di Timor yang disebut sifon.
Gerakan pencegahan juga datang dari berbagai LSM peduli HIV/AIDS di antaranya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah NTT, di manda dalam tahun ini mencanangkan gerakan sehat bagi 8.140 remaja di NTT untuk mendorong otoritas sekolah melaksanakan program kelas sehat bagi remaja.
“Tujuan gerakan ini, selain mendorong otoritas sekolah, juga sebagai wahana pembelajaran kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja di sekolah secara programatik, berkelanjutan dan berbasis sekolah,” kata Direktur Pelaksana Harian PKBI NTT Markus Alibrandi.
Menurut dia, gerakan ini ditindaklanjuti dengan perjalanan keliling ke sekolah-sekolah di 20 kabupaten/kota se-NTT oleh Ketua DPD PKBI NTT Lucia Adinda Lebu Raya yang juga istri Gubernur NTT Frans Lebu Raya sejak Mei hingga Oktober 2009.
“Sejak Mei hingga Oktober 2009, sekitar 90 persen dari total 8.140 remaja di sekolah-sekolah tersebut telah dikunjungi dan melakukan dialog terbuka dari hati ke hati soal seksualitas, kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS,” kata Alibrandi.
Dalam hubungan dengan itu, Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengajak semua komponen masyarakat NTT agar menjadi pelopor pencegahan kasus HIV/AIDS yang hingga kini telah mencapai 646 kasus dan telah mengakibatkan 195 pengidap di antaranya meninggal dunia.
Salah satu indikator yang menunjukkan NTT telah menjadi salah satu daerah sumber penularan HIV/AIDS, menurut Gubernur Lebu Raya, dapat dilihat dari jumlah kasus dan tingkat sebaran kasus dan dampak dari kasus tersebut.
Upaya yang dilakukan pemerintahannya antara lain mengembangkan upaya promosi kesehatan, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, memperbaiki dan mengembangkan kualitas manajemen sistem kesehatan dan mengembangkan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin, serta memenuhi jumlah kebutuhan tenaga kesehatan pada puskesmas dan rumah sakit.
Meskipun demikian, Ketua Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia NTT Maxi Mitan menilai, para penderita HIV/AIDS masih diperlakukan diskriminatif, baik oleh individu maupun kebijakan.
“Permasalahan di sekeliling orang terinfeksi HIV di Indonesia adalah stigma dan diskriminasi, baik yang dilakukan oleh individu maupun kebijakan yang tidak berpihak,” katanya.
Ia berpendapat upaya-upaya penanggulangan yang dilakukan berbagai komponen belum banyak mengakomodir suara orang terinfeksi HIV, sehingga epidemi ini terus meluas ke seluruh Indonesia.
“Bahkan, para penderita HIV/AIDS masih sulit mengakses layanan kesehatan yang berpihak pada Hak Asasi Manusi (HAM) orang terinfeksi. Marginalisasi yang sistemik terhadap orang terinfeksi HIV telah membawa dampak yang merugikan bagi orang terinfeksi HIV di dalam segala aspek kehidupannya,” kata Mitan. (viva/arrahmah.com)