Oleh: KH Muhammad al Khaththath
Sekjen Forum Umat Islam (FUI)
(Arrahmah.com) – Tuntutan pembubaran Densus merebak dimana-mana dan diserukan berbagai kalangan. Ini terutama setelah kedatangan Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin ke Mabes Polri (28/2) dengan membawa video kekejaman Densus kepada 18 umat Islam di Poso. Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane dalam rilisnya (Sabtu 2/3) juga menyarankan agar Densus 88 dibubarkan dan personilnya yang terlibat penyiksaan diadili sebagai pelaku tindak pidana penyiksaan. Bahkan saran Neta sudah disampaikan di depan para kasat Brimob se Indonesia di Watukosek Jawa Timur Februari lalu. Kabarnya Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin juga mendukung usulan pimpinan Ormas Islam untuk pembubaran Densus 88 tersebut.
Permintaan-permintaan Pembubaran Densus 88
Dalam acara “Diskusi Pemberantasan Terorisme tanpa Teror dan Pelanggaran HAM” yang diselenggarakan PP Muhammadiyah di Markas PP Muhammadiyyah Jl Menteng Raya Kamis 11 April lalu menggambarkan tuntutan pembubaran itu secara lebih signifikan. Sebab diskusi tersebut menghadirkan berbagai kalangan baik sebagai pembicara di depan maupun peserta diskusi. Tampak hadir antara lain sebagai pembicara KH. Adnan Arsal tokoh ulama dari Poso, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar, Ketua PBNU dan juga Ketua MUI KH. Slamet Efendi Yusuf, komisioner Komnas HAM Siane Indriyani. Adapun di barisan peserta hadir Sekjen FUI KH M al Khaththat, Ketua BKSPP yang juga Ketua MUI KH Cholil Ridwan , Sekjen MIUMI Ustadz Bachtiar Nasir, dan wakil Amir Majelis Mujahidin Ustadz Abu Jibril, Ketua PP Syarikat Islam Ustadz Mufti, Pegiat CIIA Haris Abu Ulya dan beberapa kawannya dari aktivis HTI .
Kehadiran para tokoh itu membuat Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar cukup kewalahan menghadapi berbagai pertanyaan dan pernyataan tuntutan baik dari pembicara lain maupun dari peserta diskusi. Prof Dr. Din Samduddin dalam pengantar pembukaannya mengatakan bahwa tidak ada akar terorisme dalam Islam. Prof. Din mengutip firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Al Maidah 32. Kesalahan fatal dari War on Terrorism (WOT) yang dilakukan oleh George W Bush yang didukung oleh Blair dan PM Australia adalah melakukan atribusi, mengaitkan dengan Islam, dan stigmatisasi. Prof. Din mengkritik cara pembantaian terorisme seperti yang dilakukan di Poso. Din mengingatkan kasus pembantaian umat di Pesantren Muhammadiyyah Wali Songo oleh ribuan kaum Kristen yang merupakan cikal bakal kasus poso.
Ketua PBNU dan juga Ketua MUI KH Slamet Efendi Yusuf mengatakan bahwa pembentukan Densus 88 Anti Teror dibentuk berdasarkan peristiwa bom bali. KH Slamet mengatakan bahwa nama Densus 88 itu dari jumlah orang Australia yang meninggal dalam kasus bom Bali. Dan apalagi sebagimana pengakuan Polri bahwa Densus 88 mendapatkan pelatihan anti teror dari AS dan Australia. Slamet menilai bahwa ada masalah dalam pemberantasan terorisme. Gejalanya terlihat dalam motif dan sasaran yang dulu adalah sasaran Barat seperti kasus Bom Bali, Mariot, dan Kedubes Australia, tapi sekarang sasarannya adalah aparat seperti kasus Poso dan Solo. Oleh karena itu, Slamet mengusulkan agar keberadaan densus 88 ini dievaluasi kembali, apakah masih diperlukan ataukah tidak.
KH. Adnan Arsal membenarkan video pembantaian dan penyiksaan umat Islam oleh Densus 88. Dan KH Adnan menggugat kenapa warga Poso dicap teroris dan Poso dituduh sebagai dalang teroris. Padahal kasus-kasus Poso adalah kasus balas dendam warga muslim yang hak-hak dan kehormatan mereka diinjak-injak oleh kaum Nasrani. Bahkan mereka sudah membunuh ribuan umat Islam, termasuk pembantaian Pesantren Walisongo yang berjumlah sekitar 200 orang. KH. Adnan Arsal memastikan kebenaran vcd tentang pembantaian tersebut. KH Adnan menerangkan, kenapa ada empat polisi ditembak, polisi tidak mencari para penembak tersebut, tapi justru mengambil belasan masyarakat lalu menyiksa mereka. Boy Rafli membenarkan keterangan KH Adnan Arsal dan mengatakan bahwa polisi yang menyiksa 18 warga masyarakat muslim Poso sudah ditindak, yakni dengan mempidanakan lima orang dan sisanya terkena hukuman indisipliner.
Komisioner Komnas HAM Siane Indriyani menyampaikan hasil ivestigasinya kepada masyarakat Poso tentang bagaimana cara pemberantasan terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 di Poso dan Makassar. Siane menemukan banyak sekali pelanggaran HAM. Siane menerangkan bagaimana penembakan Kholid yang dilakukan dalam jarak dekat, posisi duduk ditembak dari atas, di masjid. Siane menjelaskan bahwa Komnas HAM sudah mengirim surat kepada Kapolri agar mengevaluasi pekerjaan Densus. Situasi di Poso ini dimana korban penembakan gantian antara rakyat yang diduga teroris dengan aparat keamanan. Keluhan polisi terhadap Densus adalah tidak pernah koordinasi dengan kepolisian daerah. Padahal polisi daerah sehari-hari tinggal di daerahnya dan sangat rawan menjadi sasaran balas dendam. Sebenarnya ada ivestigasi menyeluruh tentang Pelanggaran HAM oleh Densus 88 yang dilakukan Tim Investigasi Komnas HAM periode sebelumnya namun sayangnya tidak diplenokan.
KH Muhammad al Khaththath menyampaikan bahwa biang adanya kejahatan Densus adalah terjadinya Bom Bali 12 Oktober 2002, padahal seminggu sebelum peristiwa tersebut ada briefing kepada para pimpinan ormas keagamaan dan OKP tentang terorisme di ruang aula utama Mabes Polri yang dipimpin oleh yang sekarang menjadi Presiden dimana menyebut bahwa gembong-gembong teroris adalah Hambali, Imam Samudera, dan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Sekjen FUI juga menyetujui pernyataan KH. Slamet Efendi Yusuf agar keberadaan Densus 88 dievaluasi dan kalau perlu dibubarkan. Namun Sekjen FUI meminta sebelum dibubarkan diusut terlebih dahulu, termasuk Gories Mere yang malang melintang di wilayah Polda Sumut yang membuat tersinggung Kapolda Sumut Oegroseno dan juga membuat tersinggung dan Lanud Medan pada tahun 2010 lalu. Dalam hal ini Sekjen FUI mengajukan usulan agar anggota Densus yang membunuh sembarangan, termasuk membunuh Mr X di Cawang, dikenakan hukum qishash sesuai syariat, atau kalau tidak Densus harus memberikan ganti rugi (diyat) 2,4 milyar per kepala (lihat QS. Al Baqarah 178-179). Jadi perlu ada semacam rekonsiliasi antara rakyat yang dituduh teroris dengan Densus yang keberadaannya dipertahankan dengan operasi teroris. Dan terkait briefing di atas Sekjen FUI mengusulkan agar Komnas HAM memanggil pimpinan pertemuan, yakni yang sekarang jadi presiden, untuk dimintai keterangannya.
Sekjen MIUMI Ustadz Bachtiar Nasir yang menyampaikan kekecewaan beliau karena tidak hadirnya Kepala BNPT Ansyad Mbai mengatakan bahwa tidak setuju Densus dibubarkan sebelum diusut tuntas kejahatan-kejahatannya. Ustadz Bachtiar Nasir mendesak dibentuknya tim forensik independen yang melibatkan ormas-ormas Islam untuk melakukan otopsi ulang terhadap korban penembakan Densus 88 agar didapatkan akurasi kebenaran sehingga diketahui ada atau tidaknya menegaskan pelanggaran HAM dilakukan korps berlambang Burung Hantu tersebut.
Wakil Amir Majelis Mujahidin Ustadz Abu Jibril yang juga menyatakan kekecewaannya kenapa Ansyaad tidak berani hadir juga menegaskan perlunya pengusutan pelanggaran HAM oleh Densus 88 dan sekaligus pembubarannya.
Karopenmas Mabes Polri Brigjen pol Boy Rafli Amar menyampaikan informasi bahwa korban tindak pidana terorisme 303 yang meninggal, anggota Polri yang ditembak 38, yang terduga terorisme yang sudah menjalani proses hukum 800 orang.
Boy mengatakan polri ingin tidak ada terorisme. Terorisme menjadi ancaman global. Ada keterkaitan di dalam dengan di luar. Kami tidak senang stigma bahwa teroris adalah dari kelompok Islam. Namun perlu difahami bahwa terorisme adalah nomenklatur dalam UU Terorisme. Boy menegaskan bahwa sebagai petinggi Polri dia hadir dalam diskusi permintaan pembubaran densus untuk menyerap aspirasi masyarakat. Namun dia mengatakan bahwa keberadaan Densus adalah dalam konteks melindungi warga negara. Namun bila ada penyimpangan di lapangan akan diproses seuai aturan. Sebagai contoh, pelanggaran oleh anggota polri yang disampaikan Ustadz Adnan Arsal diproses.Polisi yang menganiaya masyarakat 5 orang dipidana dan 13 orang diproses sesuai kode etik kepolisian. Selanjutnya Boy menyarankan perlunya dibuat kajian akar masalah sehingga tidak perlu ada terorisme.
Di luar ruang diskusi di atas masyarakat menuntut pembubaran Densus 88 yang selama ini memang terasa menyakiti rakyat, khususnya kaum muslimin. Sehingga sering Densus yang kepanjangannya adalah Detasemen khusus diplesetkan menjadi Detasemen Yesus. Plesetan ini tentu bukan tanpa alasan. Sebab selama ini Densus pilih bulu. Bulu Islam dicabut, bulu Kristen dibiarkan. Contoh kasus RMS dan OPM. Walau gerombolan RMS jelas-jelas melakukan tindakan terorisme dengan menembaki umat Islam dan mengeluarkan tembakan dan pembakaran pemukiman di Ambon toh dibiarkan. Bahkan film latihan perang mereka sudah disampaikan delegasi FUI ke pihak Kemenhan, tapi tidak ada tindakan apa-apa. Demikian juga gerombolan OPM yang tindakan terorismenya sudah sangat meluas, menelan korban aparat dan rakyat, bahkan terakhir mengancam akan menembak mati Kapolda Irjen Pol Tito Karnavian yang pernah menjadi Komandan Densus 88, tapi tidak ada reaksi apa-apa dari Densus (www.Suara-Islam.com). Maka sebenarnya Densus ini dibuat untuk apa. Pernah Densus memeriksa OPM, lalu ditegur Australia. Jadi Densus ini milik siapa? Jadi wajar kalau rakyat Indonesia tidak perlu Densus, masyarakat malah terteror dengan adanya Densus.
Dalam aksi longmarch di Solo Ahad (31/3/2013) JAT Solo dan Elemen Muslim Surakarta mendukung himbauan dari Majelis Ulama Islam (MUI) Pusat kepada Kapolri agar Kinerja Densus 88 dievaluasi dan jika perlu dibubarkan. Aksi Longmarch JAT dan Elemen Muslim Surakarta ini juga merupakan upaya mendukung temuan dan rekomendasi dari Komnas HAM sebagaimana, temuan Komnas HAM atas Video Kekerasan dalam Penanganan Terorisme di Poso Sulawesi Tengah.
JAT dan Elemen Muslim Surakarta meminta kepada Kapolri untuk menindaklanjuti Hasil Penyidikan Komnas HAM tentang dugaan pelanggaran Densus 88 terhadap :
- Undang Undang Dasar 1945 pasal 28 I ayat 1
- Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM
- Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi UU No 12 tahun 2005
Fakta-fakta Pelanggaran HAM oleh Densus 88
Sebagaimana dilaporkan Arrahmah.com, JAT Solo dan Elemen Muslim Surakarta dalam pernyataan mereka pada aksi di atas menemukan 11 fakta tentang Densus 88 bahwa:
- Densus 88 disponsori dan dilatih Negara Barat untuk kepentingan Amerika dan Australia dalam memerangi Aktivis Muslim dan Gerakan Islam di Indonesia.
- Target operasi Densus 88 sebagian besar adalah Ulama dan Aktivis Muslim.
- Densus 88 mengabaikan asas praduga tak bersalah, Densus 88 sering menembak mati seseorang yang statusnya baru terduga tanpa ada adanya putusan pengadilan. Korban yang ditembak mati Densus 88 meninggal dengan luka tembak yang mengenaskan.
- Densus 88 sering menembak mati seseorang yang sama sekali tidak terkait dengan kasus terorisme.
- Densus 88 juga sering salah tangkap seseorang yang akhirnya dipulangkan tanpa ada permintaan maaf, rehabilitasi maupun kompensasi
- Sebagian besar tersangka teroris tidak diberikan haknya dalam memilih pengacara oleh Densus 88
- Dalam kurun waktu 7×24 jam sering terjadi penganiayaan dan tekanan secara fisik dan psikis terhadap tersangka teroris oleh Densus 88 yang mengakibatkan luka ringan, luka berat, luka permanen dan menyebabkan trauma korban.
- Densus 88 sering melakukan aksi arogansi terhadap keluarga terorisme terlebih kepada anak–anak.
- Densus 88 sering memperlambat pemulangan jenazah yang statusnya baru terduga terorisme. Sehingga pemakaman jenazah yang semestinya menurut hukum agama Islam disegerakan menjadi tertunda.
- Densus 88 diskriminatif, kasus penembakan di Papua yang mengakibatkan meninggalnya anggota TNI/Polri justru tidak bertindak.
- Oknum Densus yang merusak, membunuh, memenyiksa dan menganiaya terduga teroris belum pernah diadili di pengadilan umum
Pegiat ICAF (Indonesian Crime Analyst Forum) Mustofa B. Nahrawardaya dalam tulisannya bertajuk “Kekejaman Densus Bukan Desas-desus” mengatakan bahwa pemberantasan terorisme ala Densus ini sudah sangat keterlaluan, seperti yang dilakukan oleh Densus dalam simulasi pemberantasan terorisme di Surabaya tahun 2009. Astaghfirullahal Azhiim, simulasi pemberantasan terorisme itu dilakukan di Masjid dan aparat Densus yang melakukan simulasi tidak mencopot sepatu mereka. Jelas ini provokasi yang mengingatkan kita kepada masuknya seorang anggota ABRI (sekarang TNI) tanpa melepas sepatu di sebuah masjid di Tanjung Priok Jakarta yang menyulut meletusnya kasus Priok tahun 1985.
Bulan Januari lalu dalam forum Temu Pembaca Suara Islam di Masjid Baiturrahman Jakarta berkali-kali Ibu Hajjah Fatma, ibunda almarhum Anas Wiryanto, salah satu korban penembakan Densus 88 di Dompu Nusa Tenggara Barat menjerit di depan para hadirin “Bubarkan Densus 88 pak! Mereka sudah zalim, telah membunuh anak saya yang tidak bersalah.!”
Ibu Hajah Fatmah pun menegaskan bahwa keliru besar pemberitaan media massa yang menyebut anaknya teroris apalagi mayatnya akan ditolak oleh penduduk Dompu, kampung halaman almarhum Anas. Ibu Fatma yang sudah berhari-hari di Jakarta berusaha untuk memulangkan jenazah anaknya menegaskan bahwa Anas sangat baik kepada lingkungan dan dicintai masyarakat di kampung halamannya.
Ibu Hajah Fatma datang bersama tiga keluarga korban penembakan ngawur Densus 88 lainnya untuk mengadukan nasib mereka yang dizalimi Densus 88. Jenazah anaknya pun tidak mereka kembalikan ke tempat mereka mengambil. Padahal anaknya yang tak berdosa itu dibunuh dan dibawa ke Jakarta. Petugas menolak mengembalikan jenazah tersebut dengan alasan tidak ada biayanya. Benar-benar tidak bertanggung jawab! Setelah mendapatkan tekanan dari MUI dan komnas HAM akhirnya pihak Densus memenuhi tuntutan Hj Fatma dan keluar para korban pelanggaran HAM oleh densus lainnya.
Mantan Komisioner HAM Dr. Saharudin Daming yang pernah ditugasi memimpin Tim Investigasi Komnas HAM untuk pelanggaran HAM oleh Densus 88 mengatakan bahwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan personil Densus bisa menjadikan kepala Densus diseret ke Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Courts) di Den Haag sebagaimana para penjahat perang Serbia yang melakukan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusian dalam perang di Bosnia Herzegovina (1992-1995).
Dalam wawancara eksklusif dengan Tabloid Suara Islam edisi 154 (22 Maret – 5 April 2013), menjawab pertanyaan apakah selama ini Densus telah melakukan pelanggaran HAM berat ? Daming menegaskan: Sangat jelas, Densus telah melakukan pelanggaran HAM berat. Ciri cirinya telah diatur dalam Pasal 8 dan 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yakni genosida dan kejahatan kemanusian. Semua unsur itu dengan sistimatis telah terpenuhi oleh Densus. Densus melakukan hukuman mati tanpa peradilan (extra judicial killing) dan memberlakukan korban dengan cara tidak manusiawi. Jadi kelakuan personil Densus itu jelas memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM berat. Hanya orang bodoh saja yang tidak mengakuinya sebagai pelanggaran HAM berat.
Contoh Densus 88 menguhukum mati tanpa peradilan ini antara lain terjadi pada penembakan MR X di Cawang oleh Densus tahun 2010. Setelah dua bulan mayat Mr X tidak ada yang menjemput, akhirnya dikubur di TPU Pondok Ranggon tanpa identitas. Padahal waktu ditembak Mr X tidak sedang melakukan aktivitas terorisme. Dan kalau sudah diintai lama tentunya data intelijennya sudah jelas identitas MR X siapa. Inilah keanehan operasi Densus yang merupakan kezaliman yang nyata.
Bagaimana Densus 88 Bisa Dibubarkan ?
Seruan pembubaran Densus 88 ini pernah dilakukan Forum Umat Islam (FUI) sekitar bulan Juni tahun 2010 lalu setelah kasus penembakan Mr X di Cawang. FUI telah bergerak melaporkan pelanggaran Densus 88 ke Mabes Polri, Kompolnas, Komisi III DPR, Komnas HAM, bahkan gugatan class action ke PN Jaksel, namun tidak ada tanggapan serius. Dalam Surat Terbuka kepada Komisi III Sekjen FUI menyebut bahwa kasus terorisme itu sarat rekayasa .
Mudah-mudahan seruan Pak Din dengan baju MUI dan Ormas Islam kali ini ditanggapi serius. Apalagi akhir-akhir ini Densus memang tampak lebih ngawur seperti kasus pelanggaran Densus yang menghilangkan nyawa pedagang kue di Makasar dan Dompu atas nama pemberantasan terorisme maupun penangkapan aktivis Masjid Baitul Karim Tanah Abang saat membagi daging korban pada Idul Adha lalu. Alhamdulillah, atas kerjasama FUI, TPM, Pushami, media massa Islam, dan MUI aktivis masjid tersebut dibebaskan dan jenazah tukang kue dipulangkan ke kampung halaman.
Namun untuk memaksimalkan seruan pembubaran Densus itu perlu dilakukan langkah-langkah terpadu sebagai berikut:
Pertama, Ekspose Laporan investigasi Komnas HAM
Perlu ada gerakan massif menuntut Komnas HAM membuka sidang pleno untuk membahas secara terbuka hasil laporan investigasi Komnas HAM periode lalu terhadap pelanggaran HAM oleh Densus 88, dengan disaksikan oleh masyarakat, khususnya para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM oleh Densus 88 dan para pemerhati pelanggaran HAM oleh Densus 88. Dalam hal ini Komnas HAM harus jujur, terbuka, dan obyektif untuk menegakkan keadilan dan menjamin HAM masyakat, khususnya para korban pelanggaran HAM oleh Densus 88. Dr. Saharuddin Daming yang menjadi ketua Tim Investigasi HAM untk pelanggaran HAM oleh Densus 88 perlu dipanggil kembali untuk mempresentasikan hasil kerja timnya. Dalam hal ini para pimpinan Majelis Ulama dan Ormas-ormas Islam, terutama yang selama ini aktif melakukan advokasi terhadap hak-hak umat Islam yang dilanggar Densus 88 harus diundang dan diberikan waktu untuk memberikan pendapat dan saran.
Kedua, Silaturrahmi ulama dan pimpinan ormas Islam kepada Kapolri
Langkah kedua setelah menyaksikan paparan hasil Tim Investigasi Komnas HAM terhadap pelanggaran HAM oleh Densus 88, para ulama dan tokoh umat Islam perlu melakukan silaturrahmi lagi ke Kapolri. Jumlahnya perlu diperbesar, tidak hanya SOLI, tapi juga seluruh pimpinan Ormas yang biasa aktiv di FUI dan para pengacara yang tergabung dalam TPM maupun Pushami yang memang selama bertahun-tahun melakukan advokasi baik litigasi maupun non litigasi kepada korban-korban pemberantasan terorisme. Dengan konsolidasi para ulama, tokoh umat, dan aktivis pegiat HAM Islam, serta pengacara muslim insyaallah ini akan menjadi tekanan publik yang kuat kepada Kapolri untuk mengevaluasi kinerja Densus 88 dan perlunya pembentukan Tim Investigasi Gabungan Propam Mabes Polri, Tim Komnas HAM, dan Tim Ulama dan Pimpinan Umat Islam untuk mengusut seluruh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus 88. Dalam hal ini, para ulama dan pimpinan umat perlu memberikan mediasi bahwa solusi pembayaran ganti rugi (diyat) sesuai kententuan syariat Islam (diyat 1 nyawa adalah 100 ekor unta atau 1000 dinar emas atau sekitar 2,4 milyar rupiah) sebagai alternatif pelaksanaan hukum qishash maupun pengadilan HAM.
Ketiga, Delegasi ke Komisi III DPR-RI
Bilamana langkah kedua di atas belum diterima dan belum ditindak lanjuti oleh Kapolri, maka para ulama dan pimpinan berbagai ormas dan lembaga Islam dengan didampingi TPM dan Pushami perlu mengambil langkah ketiga yakni menemui Komisi III untuk menuntut agar Kapolri segera mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM oleh Densus 88 dan selanjutnya membubarkan Densus 88 karena dirasa sudah tidak perlu. Dalam hal ini para ulama perlu minta keseriusan Komisi III DPR menangani pelanggaran HAM oleh Densus 88. Sebab sejak permintaan FUI agar Komsis III menangani kasus pelanggaran HAM oleh Densus 88 sejak kasus dibunuhnya Mr X di Cawang hingga hari ini, Densus sudah sangat banyak makan korban.
Keempat, perlu mengingatkan MUI yang hendak menguji UU no 15 tahun 2003 tentang Teorisme di MK
Langkah keempat yang bisa merupakan kelanjutan ketiga langgkah di atas adalah melakukan uji materiil UU No 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme di MK. Dalam audiensi FUI dan keluarga korban penculikan Densus 88 yakni Nanto aktivis Masjid Yang diculik saat bagi-bagi daging korban pada hari raya Idul Adha lalu dengan Komisi Hukum dan HAM MUI, Ketua MUI yang membidangi komisi tersebut mengatakan bahwa MUI akan melakukan upaya uji materiil/judicial review ke MK. Ini perlu diingatkan dan disupport oleh para ulama dan pimpinan ormas dan lembaga Islam agar bisa segera diwujudkan. Sebab langkah Densus yang dikatakan Boy Rafli adalah untuk melindungi masyarakat nyatanya justru menteror masyarakat. Ini seperti fakta simulasi pemberantasan terorisme di Masjid tahun 2009 dimana aparat Densus yang melakukan simulasi tidak mencopot sepatu mereka simulasi pemberantasan terorisme itu dilakukan di Masjid yang diungkap Pegiat ICAF (Indonesian Crime Analyst Forum) Mustofa B. Nahrawardaya dalam tulisannya bertajuk “Kekejaman Densus bukan Desas-desus”. Semua fihak harus menjaga jangan sampai kasus Tanjung Priok tahun 1985 jangan terulang lagi.
Kelima, Aksi Massa Besar-besaran Menuntut Pembubaran Densus 88
Perlunya aksi massa dan pembentukan opini dan masyarakat untuk mengawal keempat langkah di atas. Dan bila juga belum jelas tanda-tanda pembubaran Densus 88, maka seluruh komponen umat perlu turun ke jalan menuntut Kapolri segera membubarkan Densus 88 dan mengusust untas seluruh personil dan dan pengambil kebijakan terkait pelanggaran HAM yang mereka lakukan. Kita harus mendorong Kapolri untuk berani legowo seperti pimpinan TNI AD yang mengakui bahwa anggota TNI AD yang melakukan serangan ke lapas Cebonbgan Yogyakarta dan mengeksekusi empat preman yang membunuh anggota Kopassus Heru Santoso. Kita harus menuntut Kapolri agar bisa diterapkan hukum Qishash kepada mereka yang sembarangan menyiksa dan membunuh rakyat. Atau alternatifnya adalah memberikan tawaran ganti rugi atau diyat kepada para korban dan keluarga korban sebagaimana disebut di atas.
Khatimah
Semoga lima langkah di atas bisa dilaksanakan oleh para ulama, pimpinan ormas, pegiat Hukum dan HAM serta para aktivis umat Islam secara rapih. Dan semoga Allah menilai hal itu sebagai amal menolong agama Allah yang layak mendapatkan pertolongan Allah SWT. Dia SWT berfirman:
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad 7).
Kita juga mengingatkan kepada semua pihak, baik itu para ulama, pejabat dan anggota Polri, Anggota DPR, Anggota Komnas HAM, dan siapapun pemerhati umat islam dan hak-hak mereka yang dizalimi agar jangan cenderung memihak para anggota Densus 88 dan dan siapapun antek penguasa yang bertindak zalim. Allah SWT mengharamkan pemihakan itu dan mengancam para pelaku pemihakan bahwa mereka akan disentuh api neraka. Allah SWT berfirman:
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, Kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Huud 113)
Penawaran ganti rugi atau diyat sesuai syariat Allah Yang Maha Kuasa sebesar 2,4 Milyar untuk tiap nyawa yang ditembak Densus tanpa kesalahan maupun pemberian ganti rugi kepada para korban penganiayaan Densus 88 serta rehabilitasi nama mereka maupun pembebasan dan amnesti mereka yang sudah ditahan dan dipidana serta pembubaran Densus 88 adalah solusi yang insyaallah bisa diterima semua pihak. Damai lebih baik (was shulhu khair) daripada dendam kesumat antara rakyat dengan para anggota Densus 88. Wallahua’lam Hadaanallah waiyyaakum ajmain!
Jakarta, 13 April 2013
(suara-islam.com/arrahmah.com)