(Arrahmah.id) – Pada sebuah upacara resmi yang diadakan oleh pemerintah Cina di Beijing pada 30 Januari, antrean diplomat asing berbaris untuk menyerahkan surat kepercayaan mereka kepada Presiden Xi Jinping. Di antara 309 diplomat tersebut, ada seorang peserta yang tidak terduga.
Setelah lebih dari dua tahun bernegosiasi, Cina mengakui Bilal Karimi, mantan juru bicara Imarah Islam Afghanistan (IIA), sebagai utusan resmi ke Beijing, menjadikan pemerintahan Xi sebagai yang pertama di dunia yang melakukan hal itu sejak kelompok tersebut merebut kekuasaan di Afghanistan pada 2021, lansir Al Jazeera (14/2/2024).
Cina telah membuat terobosan ke Afghanistan melalui investasi dan proyek-proyek sejak Amerika Serikat menarik pasukannya dari negara itu pada 2021, yang memicu runtuhnya pemerintah Afghanistan yang didukung Barat dan membuka jalan bagi Imarah Islam untuk kembali berkuasa.
Namun, ketika berita tentang penerimaan resmi Beijing terhadap Imarah Islam Afghanistan pada 30 Januari menyebar, Kementerian Luar Negeri Cina dengan cepat mengeluarkan pernyataan, mengklarifikasi bahwa penerimaan surat kepercayaan diplomatik tidak menandakan pengakuan resmi Beijing terhadap penguasa Afghanistan saat ini.
Itu sudah terlambat.
Pada saat itu, langkah Beijing telah mengamankan kemenangan diplomatik besar bagi Imarah Islam Afghanistan yang telah berjuang untuk mendapatkan pengakuan global untuk pemerintahannya, kata para analis. Sejak mengambil alih kekuasaan, kelompok ini tetap terisolasi di dunia internasional. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh Barat terhadap Imarah Islam pada gilirannya berdampak buruk pada perekonomian Afghanistan.
Tapi mengapa Cina mengakui Karimi sebagai utusan Imarah Islam Afghanistan untuk Beijing, dan apa artinya bagi negara tersebut?
Kepentingan mendalam Cina di Afghanistan
Pada saat para penguasa Imarah Islam Afghanistan diperlakukan sebagai orang buangan oleh sebagian besar dunia, Cina telah meningkatkan keterlibatannya dengan mereka.
Pada 2023, beberapa perusahaan Cina menandatangani beberapa kesepakatan bisnis dengan IIA. Yang paling menonjol di antara mereka adalah kontrak ekstraksi minyak senilai jutaan dolar selama 25 tahun dengan perkiraan nilai investasi sebesar 150 juta dolar pada tahun pertama, dan hingga 540 juta dolar selama tiga tahun ke depan.
Ada sejarah dalam hubungan tersebut, kata Jiayi Zhou, peneliti di Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
“Taliban [IIA] bukanlah entitas yang tidak dikenal oleh pemerintah Cina, yang menjangkau mereka ketika mereka masih menjadi pemerintah paria pada akhir 1990-an dan terus mempertahankan hubungan kerja sama dengan Taliban sebagai kelompok pemberontak,” katanya kepada Al Jazeera.
Hubungan pragmatis Beijing yang telah berlangsung selama beberapa dekade dengan Taliban, kata Zhou, adalah “konsekuensi alami” dari sejumlah faktor, terutama keamanan.
“Sebagai tetangga langsung Afghanistan, keamanan Cina sendiri bergantung pada Taliban. Tidak mungkin mengasingkan atau memusuhi mereka, dan tentu saja tidak tertarik untuk melakukan hal tersebut karena alasan nilai,” katanya.
Dan Beijing tidak sendirian dalam mencari hubungan pragmatis seperti itu dengan IIA.
“Sebagian besar negara tetangga Afghanistan memiliki posisi yang sama dengan Cina: bahwa Taliban perlu dilibatkan, bukannya diisolasi,” katanya.
“Penerimaan Cina terhadap duta besar Taliban sangat mengindikasikan Cina yang telah merasa nyaman menjadi penggerak pertama dalam ranah kebijakan luar negeri.”
‘Realisme dan peluang’
Banyak negara regional telah mengambil sikap kritis terhadap Taliban ketika mereka berkuasa di Afghanistan selama tahun 1900-an. Akan tetapi, “realisme dan peluang” telah mengambil alih sebagai pendorong utama dalam geopolitik sejak pengambilalihan kekuasaan pada 2021, demikian ungkap Gautam Mukhopadhaya, peneliti tamu senior di Pusat Penelitian Kebijakan yang berbasis di New Delhi dan mantan duta besar India untuk Kabul, kepada Al Jazeera.
“Realisme dalam arti bahwa untuk saat ini, sepertinya Taliban adalah satu-satunya pemain di kota ini,” katanya. “Terlepas dari tidak populernya Taliban dan tindakan represifnya, perlawanan [terhadap mereka], baik sipil maupun militer, hampir hancur. Hari ini, AS telah menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki kepentingan geopolitik yang memaksa, atau keinginan untuk memberikan sumber daya ke Afghanistan.”
Sementara Cina adalah negara pertama yang mengakui duta besar Imarah Islam Afghanistan, beberapa negara lain termasuk Rusia, Iran, Turki dan India telah melakukan upaya untuk terlibat dengan IIA, tidak hanya dalam proyek-proyek kemanusiaan tetapi juga dengan membuka kembali misi diplomatik mereka di Kabul.
Sebuah laporan International Crisis Group (ICG) yang dirilis bulan lalu, yang meneliti hubungan IIA dengan negara-negara tetangganya, mengamati pola-pola keterlibatan yang serupa. “Mereka yakin bahwa cara terbaik untuk mengamankan kepentingan negara mereka dan memoderasi perilaku Taliban dalam jangka panjang adalah musyawarah yang sabar dengan Kabul, bukan pengucilan,” kata laporan itu.
“Dunia tidak akan berhenti dan menunggu sentimen Barat bergeser mendukung Taliban. Kami berada di sini di garis depan,” kata seorang diplomat regional yang dikutip dalam laporan ICG.
IIA yang berhati-hati
Hubungan yang lebih dalam dengan Cina dapat “menimbulkan biaya” bagi IIA, Bahiss memperingatkan, dalam bentuk “jatuh ke dalam cengkeraman Cina yang telah ditemukan oleh negara-negara lain yang membuat mereka kecewa.
“Namun untuk saat ini, kedua belah pihak tampaknya bersedia untuk memainkan permainan itu.”
Analis ICG, bagaimanapun, mengatakan bahwa IIA, meskipun haus akan pengakuan, mungkin masih berhati-hati tentang seberapa jauh mereka akan terlibat dengan Beijing.
“Taliban masih berusaha untuk menjaga hubungan mereka dengan Cina agak terkendali karena mereka tampaknya sadar bahwa semakin mereka condong ke arah Beijing, semakin banyak kekuatan regional seperti Rusia dan India akan ragu-ragu untuk memperluas hubungan dengan Kabul, sehingga mendorong dilema ketiadaan pelanggan asing yang sangat ingin dihindari oleh Taliban,” katanya.
“Cina, untuk alasan yang jelas, telah muncul sebagai pendorong utama penjangkauan dan keterlibatan kawasan ini dengan Taliban,” tambah Bahiss.
“Semua ini, bagaimanapun, tampaknya telah menciptakan spiral di mana semakin terisolasi Taliban, semakin mereka berpaling ke Cina untuk menggantikan bobot diplomatik yang sebelumnya disediakan oleh AS.” (haninmazaya/arrahmah.id)