HANGZHOU (Arrahmah.id) – Presiden Suriah Bashar Asad telah tiba di kota Hangzhou, Tiongkok timur, memulai kunjungan pertamanya ke negara Asia tersebut sejak 2004 saat ia melakukan upaya lebih lanjut untuk mengakhiri isolasi diplomatik selama lebih dari satu dekade di tengah sanksi Barat.
Asad tiba dengan pesawat Air China di tengah kabut tebal, yang menurut media pemerintah Tiongkok “menambah suasana misteri” mengingat fakta bahwa pemimpin rezim tersebut jarang terlihat berada di luar negaranya sejak dimulainya perang saudara brutal yang menewaskan lebih dari 500.000 orang dan membuat jutaan lainnya mengungsi.
Dia dijadwalkan menghadiri upacara pembukaan Asian Games, bersama dengan sejumlah pejabat asing, sebelum memimpin delegasi untuk serangkaian pertemuan di beberapa kota di Tiongkok, termasuk pertemuan puncak dengan Presiden Xi Jinping.
Assad akan bertemu Xi pada Jumat (22/9/2023), sehari sebelum presiden Suriah menghadiri pembukaan Olimpiade tersebut, kata sumber dari delegasi Suriah, yang dijadwalkan untuk mengadakan pertemuan lain di Beijing pada Ahad (25/9) dan Senin (26/9).
Terlihat bersama Presiden Tiongkok pada pertemuan regional seharusnya menambah dorongan lebih lanjut bagi kampanye rezim Suriah untuk perlahan-lahan kembali ke panggung dunia.
Negara ini bergabung dengan Inisiatif Sabuk dan Jalan Tiongkok pada 2022 dan diterima kembali pada Mei di Liga Arab yang beranggotakan 22 negara, dalam sebuah langkah yang dipelopori oleh Arab Saudi.
Pemulihan rezim tersebut ke dalam wilayah Arab mendapat tentangan dari sekutu Teluk, Amerika Serikat, yang mengatakan bahwa rezim tersebut “tidak pantas” kembali ke Liga Arab.
Asad terakhir kali mengunjungi Tiongkok pada 2004 untuk bertemu dengan Presiden saat itu Hu Jintao. Ini merupakan kunjungan pertama kepala negara Suriah sejak hubungan diplomatik terjalin pada 1956.
Tiongkok, seperti sekutu utama Suriah, Rusia dan Iran, mempertahankan hubungan tersebut bahkan ketika negara-negara lain mengisolasi Asad atas tindakan kerasnya yang mematikan terhadap demonstrasi anti-rezim yang meletus pada 2011.
Perjalanan Asad selama berhari-hari ke Tiongkok akan menandai salah satu masa ketidakhadirannya yang terlama di Suriah sejak pemberontakan melawan pemerintahannya dimulai.
Assad menghadapi sanksi yang dijatuhkan oleh Australia, Kanada, Eropa, Swiss, dan Amerika Serikat, namun upaya untuk menerapkan sanksi multilateral gagal mendapatkan dukungan bulat di Dewan Keamanan PBB, yang mana Tiongkok dan Rusia merupakan anggotanya.
Tiongkok setidaknya delapan kali memveto usulan PBB yang mengutuk rezim Asad dan bertujuan untuk mengakhiri konflik Suriah yang telah berlangsung selama satu dekade yang telah menyedot negara-negara tetangga dan negara-negara besar.
Berbeda dengan Iran dan Rusia, Tiongkok tidak secara langsung mendukung upaya rezim Tiongkok untuk mendapatkan kembali kendali atas negara tersebut.
Penyelidik yang ditugaskan oleh PBB mengatakan pemboman Rusia dan milisi yang didukung Iran bertanggung jawab atas sebagian besar ratusan ribu kematian warga sipil sejak perang dimulai, yang telah memicu krisis pengungsi dan penyelundupan narkoba sehingga Liga Arab mendorong Asad untuk menyelesaikannya.
Aset minyak
Suriah memiliki kepentingan strategis bagi Tiongkok karena terletak di antara Irak, yang menyediakan sekitar sepersepuluh minyak Tiongkok, Turki, ujung koridor ekonomi yang membentang dari Asia hingga Eropa, dan Yordania, yang sering menjadi penengah perselisihan regional.
Meskipun Suriah adalah produsen minyak yang relatif kecil, pendapatan dari minyak sangat penting bagi rezim Asad.
Pada 2008 dan 2009, perusahaan energi Tiongkok, Sinopec Corp, Sinochem dan CNPC menginvestasikan total dana sebesar $3 miliar di Suriah, didorong oleh seruan dari Beijing untuk mengakuisisi aset minyak dan gas global.
Investasi tersebut mencakup akuisisi Tanganyika Oil oleh Sinopec senilai $2 miliar, sebuah produsen kecil heavy oil, dan pembelian Emerald Energy yang berkantor pusat di London senilai hampir $900 juta oleh Sinochem, yang sebagian besar asetnya berada di Suriah dan Kolombia.
Sinochem menghentikan operasinya di Suriah pada 2011, menurut mitranya Gulfsands Petroleum.
Sekitar 2014, CNPC, yang terlibat dalam produksi minyak di beberapa blok kecil, juga menghentikan produksinya, menyusul sanksi Uni Eropa dan penempatan AS ke Suriah untuk memerangi ISIS, kata pejabat perusahaan. (zarahamala/arrahmah.id)