TURKI (Arrahmah.com) – Foto balita Suriah mengenakan T-shirt merah dan celana pendek yang terdampar tak bernyawa dalam keadaan tertelungkup di sebuah pantai di Turki telah menjadi berita utama di seluruh dunia pada Rabu (2/9/2015), tak lama setelah diposting di Twitter.
Daily Sabah melansir bahwa gambar menyayat hati yang begitu mengundang air mata dan kemarahan umat Islam di seluruh dunia ini segera beredar luas dan di re-tweet sebanyak ribuan kali hanya dalam waktu beberapa jam.
Balita malang berusia tiga tahun itu bernama Aylan Kurdi. Aylan berada di salah satu dari dua kapal yang bertolak dari Badroum menuju pulau Kos Yunani. Kedua kapal itu tenggelam tak lama setelah meninggalkan pantai Turki. Kemudian sebanyak dua belas mayat ditemukan di laut. Aylan tenggelam di Laut Mediterania bersama kakaknya, Ghalib yang berusia lima tahun, serta sang ibu, Rihan. Sementara ayahnya, Abdullah, selamat.
Abdullah menceritakan detik-detik mengerikan ketika kapal yang ditumpangi keluarganya tenggelam saat berupaya mencapai Eropa. “Saya mencoba untuk menyelamatkan anak-anak saya,” ungkap Abdullah. “Saya memegang mereka berdua saat perahu terbalik, tapi gelombang tinggi pertama membunuh anak sulung saya, Ghalib, dan kemudian satu ombak lagi merenggut anak bungsu saya,” katanya terisak dalam duka yang sangat dalam.
Abdullah membawa istri dan anak-anaknya untuk mencapai Eropa untuk melarikan diri dari perang brutal Suriah, di mana PBB mengatakan bahwa setidaknya sebanyak 230.000 orang telah tewas. Lebih dari 6,5 juta orang dari populasi yang berjumlah 22 juta juga telah mengungsi akibat konflik ini. Sementara ribuan orang telah tewas saat mencoba mencapai Eropa tahun ini.
Foto-foto keluarga Aylan muncul di halaman depan surat kabar di seluruh dunia, menyoroti skala krisis kemanusiaan yang diciptakan oleh perang Suriah, yang telah memaksa lebih dari 4 juta orang melarikan diri ke luar negeri, terutama ke Turki, Libanon dan Yordania.
Menanggapi kejadian ini, seorang jurnalis independen asal Amerika, Bilal Abdul Kareem, memiliki pandangan yang berbeda terhadap langkah yang diambil ayah Aylan dan para pria Suriah lain yang seperti dirinya. Jurnalis senior yang kini tengah meliput di Suriah ini pada Jum’at (4/9) menyampaikan pendapatnya melalui sebuah artikel berjudul “Mengapa aku tak menangisi ayah bocah ini“. Berikut terjemahannya, yang dipublikasikan Muqawamah Media pada Ahad (6/9).
Mengapa Aku Tak Menangisi Ayah Anak Ini
Kematian balita malang Aylan Kurdi adalah tragedi yang dirasakan oleh setiap orang yang masih memiliki hati di dadanya. Hati saya juga sangat bersimpati untuk ibu si anak dan adiknya yang selamat saat mencoba menyeberangi laut dari Turki ke wilayah Yunani di Aegean, kepulauan Kos. Namun hati saya tidak bisa bersimpati untuk sang suami dan para lelaki yang seperti dia. Mengapa begitu sulit bagi saya untuk memberikan simpati pada orang ini? Setelah semua yang terjadi, ia telah mengorbankan dua anaknya dan itu adalah tragedi yang menghancurkan hidupnya pastinya. Dia telah berusaha melarikan diri dari perang sengit yang berkecamuk di negara asalnya, Suriah. Dia, bersama dengan ribuan orang lain, berusaha untuk membawa anak-anak mereka ke tempat-tempat yang lebih aman dan hal ini dapat dimengerti. Namun setelah para wanita dan anak-anak telah mencapai keselamatan itu, selayaknya para laki-laki ini haruslah kembali ke Suriah. Namun (itu tidak pernah terjadi) setelah mereka mencapai Eropa.
Jika kita merenungkan lebih dalam, sesungguhnya ayah si balita malang ini sebagaimana begitu banyak orang Suriah lainnya sebenarnya mereka telah meninggalkan ribuan bayi Suriah yang malang (bukan hanya Aylan Kurdi) untuk lari dari Bashar Asad dan sekutunya. Anak-anak Suriah yang kurang beruntung lainnya bahkan tidak memiliki dana untuk mencoba perjalanan ke Eropa, perbekalan yang mereka miliki mungkin akan habis sebelum mereka bahkan menyeberangi perbatasan Turki. Apakah hidup anak malang ini lebih berharga dari mereka yang akan mati hari ini dan besok dengan cara dibom barel oleh Asad? Saya pikir ini adalah kejahatan yang ayahnya dan tak terhitung orang Suriah lainnya seperti dia lakukan, mereka sedang merengek seperti bayi kecil untuk pergi ke Eropa, rela meninggalkan negaranya dan bangsanya yang tak berdaya untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari kebengisan Bashar Asad.
Perang Suriah tidak akan berakhir dengan mengumpulkan jutaan tanda tangan pada petisi online untuk menuntut Bashar mundur. Dan perang ini juga tidak akan berakhir hanya dengan menyuplai pasokan makanan dan air terus menerus ke kamp-kamp pengungsi. Perang ini hanya akan berakhir ketika Asad dipaksa jatuh dari kekuasaannya. Itu hanya akan terjadi ketika masyarakat tertindas ini bangkit dan berkata: “Sudah cukup semua ini!” dan mengambil aksi nyata. Sesungguhnya era untuk berdemonstrasi dan memohon ke telinga tuli PBB telah berakhir bagi bangsa Suriah.
Saya telah berkeliling di Idlib dan Aleppo dan melihat begitu banyak anak-anak tak berdaya, orang tua, dan lain-lain yang telah ditinggalkan oleh “para pria” Suriah yang berjalan dengan kecepatan tertinggi menuju Eropa. Benar ISIS adalah wabah untuk revolusi bangsa Suriah, tetapi juga ada begitu banyak orang lain yang telah berbondong-bondong datang ke Suriah dari berbagai negara yang berbeda dan mereka bukan bagian dari ISIS, mereka datang untuk mengisi kekosongan dan membantu kaum yang tertindas. Namun banyak dari mereka telah diberi label teroris oleh negara-negara asal mereka karena mengangkat senjata melawan rezim Suriah dan akan dipenjara jika suatu saat nanti mereka kembali ke negara mereka. Siapa yang lebih kecewa pada negara asalnya; ayah anak ini yang lari meninggalkan bangsanya sendiri, atau orang asing yang menumpahkan darahnya untuk melawan Bashar Asad jatuh dari kekuasaannya? Mana dari dua kelompok manusia ini yang seharusnya layak mendapatkan simpati dunia dan mana yang layak dicemooh?
Ada banyak kecaman dari berbagai penjuru dunia untuk beberapa negara Eropa yang telah gagal untuk membuka pintu mereka kepada para pencari suaka ini. Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban mengatakan pada hari Kamis: “Kami tidak ingin, dan saya pikir kami memiliki hak untuk memutuskan bahwa kami tidak ingin ada jumlah besar orang Muslim di negara kami. Kami tidak suka konsekuensi dari memiliki sejumlah besar komunitas Muslim seperti yang kami lihat di negara-negara lain, dan saya tidak melihat adanya alasan bagi orang lain untuk memaksa kami untuk menciptakan cara-cara hidup bersama di Hungaria dengan cara yang tidak ingin kami lihat. Itu adalah pengalaman sejarah bagi kami.” Komentar rendah Viktor Orban ini tetap tidak mengusik keheningan negara-negara Teluk yang kaya minyak. Viktor Orban tidak memiliki afiliasi kepada para migran ini, baik secara teritorial atau agama. Saya kira fakta bahwa para pengungsi adalah bagian dari ras umat manusia juga tidak akan mengubah pendiriannya.
Adapun negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, UEA, Qatar, Oman, Kuwait, dan Bahrain, seharusnya mereka sadar bahwa mereka adalah saudara bagi kaum muslimin malang yang berasal dari wilayah yang dilanda perang di Suriah. Namun mereka tidak melakukan aksi nyata untuk kaum muslimin Suriah, sebagaimana mereka juga tidak melakukan apa-apa untuk kaum muslimin Rohingya yang tertindas di Burma. Izinkan saya menjelaskan pernyataan saya ini. Saya tidak sedang menyinggung bantuan berupa air, selimut, dan makanan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang tertindas. Namun, hal utama yang mereka butuhkan tidak ada dalam daftar yang disebutkan di atas. Yang paling utama yang mereka butuhkan adalah tempat yang aman untuk hidup dan negara yang bisa disebut sebagai rumah, walaupun itu untuk sementara. Apa yang menghentikan Qatar yang sangat kaya dengan gas dari membuka perbatasan mereka untuk para pengungsi ini, baik Muslim atau non-Muslim? Apa yang membuat Kuwait enggan memfasilitasi dan mengizinkan anak-anak Rohingya yang kelaparan mengambil residensi di negara mereka? Apakah Uni Emirat Arab tidak memiliki cukup dana untuk menyediakan tempat tinggal bagi orang-orang ini di sebagian tanah kosong mereka? Mereka tentu memiliki dana yang tak terhingga yang mereka habiskan dengan boros untuk populasi kecil mereka sendiri. Sementara para pekerja migran dari Pakistan dan India bisa menghabiskan keabadian bekerja di berbagai negara Teluk untuk membangun negara mereka, namun mereka tidak akan pernah ditawarkan kewarganegaraan dan akan selalu hanya satu atau dua langkah lagi “diminta meninggalkan” negara-negara kaya itu. Sebuah perselisihan sederhana antara sponsor lokal dan pekerja asing bisa menyebabkan bencana bagi keseluruhan keluarga si pekerja.
Para pemimpin Muslim seperti Raja baru Saudi Salman telah menghabiskan liburan dengan 1.000 orang rombongan ke Vallauris, Perancis, sementara dana dan perumahan sangat dibutuhkan untuk saudara-saudara muslimnya yang tertindas di belahan bumi yang lain. Saya tidak dalam posisi untuk mengatakan bahwa Raja Salman menggunakan dana negara untuk liburan musim panas yang jauh dan mahal itu, karena saya tidak punya bukti untuk itu. Mungkin liburan itu dibiayai oleh dana pribadinya sendiri. Namun, dengan asumsi bahwa liburan itu dibiayai dengan cara yang diperbolehkan, apakah ini adalah etika yang tepat dari seorang Penjaga dua Tanah Haram sementara bangsa Rohingya dan Suriah mati di laut karena mereka ditolak masuk oleh negara-negara tetanga? Saya pikir tidak.
Akhirnya saya ingin berbagi ide dengan Anda. Jika saya bisa meyakinkan para pemimpin Teluk, maka saya akan meminta mereka untuk memfasilitasi transportasi ke tanah mereka bagi perempuan Suriah, anak-anak, dan orang tua untuk jangka waktu 5 tahun saja. Perumahan harus dibayar oleh negara yang menampung mereka dan mereka harus diberlakukan layak dan sesuai. Karena sesungguhnya dana yang dihasilkan dari penjualan minyak dan gas alam adalah kekayaan milik semua umat Islam dan bukan hanya milik sebagian orang di sebuah wilayah kecil saja. Namun para pria Suriah harus dilarang tinggal di kamp-kamp pengungsi tersebut. Para pria dewasa Suriah harus dipaksa untuk kembali ke negara mereka dan berjuang menyelesaikan konflik di Suriah. Kenapa para pria ini diizinkan untuk meninggalkan Suriah dan masyarakat mereka kemudian menjadi beban masyarakat lain pada saat yang sama?
Sudah saatnya para lelaki Suriah mencium istri dan anak-anak mereka dan kembali ke tanah air mereka untuk menjatuhkan rezim jahat saat ini dari kekuasaan mereka dan memberikan rumah yang stabil dan abadi bagi keluarga mereka. Jika bukan mereka yang melakukannya, maka siapa lagi?
(banan/arrahmah.com)