Seorang Ayah bersumpah akan bergabung dengan para pejuang Taliban. Ia mendukung setelah melihat perilaku milisi Islam dan kejahatan tentara Inggris
Tanggal 22 Maret 2007. Saat itu, Maklum Zamarae bersama rombongan anak dan istrinya pulang ke rumah setelah mengunjungi kerabatnya yang berada di pusat kota Kabul .
Saat itu Zamarae bersama istri dan 3 laki-laki beserta 4 anak perempuannya, melewati jalan yang berada di dekat bandara. Tiba-tiba sebuah tembakan nyasar mengenai tubuh anaknya. Di situlah nyawa anaknya yang paling besar, Zarilai terenggut.
Ketika itu, ia kemudian mengadukan peristiwanya kepada markas ISAF (International Security Assistence Force), unit militer bentukan NATO yang membawahi militer Inggris. Sayangnya, bukan keadilan yang didapat. Justru sebuah kebohongan dan kepongahan milisi asing itu.
ISAF dalam jumpa pers di keesokan harinya kepada pers mengatakan, bahwa kendaraan militer saat itu mogok, hingga terpaksa harus berhenti. Di saat para tentara Inggris itu berjaga-jaga di sekitar kendaraan, tiba-tiba sebuah kendaraan van milik sipil mendekat. Walau sudah ada peringatan lisan yang diberikan, akan tetapi pengemudi mobil sipil itu tetap tidak mau berhenti, bahkan menambah kecepatan. Sehingga para tentara melepaskan tembakan. Alasannya, untuk membela diri. Hasilnya, seorang anak yang berada di dalam mobil terkena tembakan dan meninggal di tempat itu juga walau para tentara berusaha memberi pertolongan.
Tak sekedar itu, pihak Inggris juga enggan meminta maaf atas kematian anaknya dan menawarkan uang senilai 2500 dolar sebagai ganti rugi.
Menurut Zamarae, pernyataan pihak tentara Inggris itu sangat berbeda dengan kenyataan. Ia mengatakan, setelah mobilnya memasuki jalan tempat peristiwa itu terjadi, ISAF memberi isyarat untuk menghentikan mobilnya di tepi jalan. Tanpa memberi peringatan, para tentara melakukan penembakan. Dan dia langsung menghentikan mobil setelah tembakan pertama. Setelah terjadi tembakan kedua ia mulai menjauh dari para tentara itu, padahal mestinya mereka menghentikan tembakan setelah tembakan pertama. Akan tetapi, mereka melepaskan dua tembakan lagi ke mobil, dan tembakan yang terakhir itulah yang mengenai anaknya yang bernama Zarilai yang duduk di sampingnya.
“Saya melihat anak saya bersimbah darah dan ia juga tidak menjerit, ia tewas seketika,” ujarnya. Lalu ia menggendong anaknya dan keluar dari mobil dan berjalan menuju sekelompok tentara itu, dan saat itu ia meminta agar mereka membunuhnya sekalian dengan cara yang sama. Tapi mereka menodongkan senjata, tanpa menembakkannya.
Bergabung dengan Taliban
Semenjak peristiwa itu, Zamarae memutuskan bergabung dengan milisi Islam dan berjanji akan menumpas pasukan asing itu setelah dia mengetahui sendiri akhlaq dan perilaku pejuang Taliban.
Di tengah ketidakadilan yang ia peroleh, Zamarae, mengerti betul, ia begitu kecewa betapa bohongnya tentara asing mengenai kasus anaknya.
Di sisi lain, seperti biasa, di Afghanistan, jika ada seseorang meninggal, maka para penduduk setempat biasa berdatangan ke rumahnya. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan ikut berduka cita.
Di saat kepedihan dan kekecewaan perilaku tentara asing, tiba-tiba beberapa pejuang Taliban juga turut hadir. Disamping menyampaikan rasa duka, mereka juga memberinya santunan. Dan itu dilakukan Taliban setiap bulan.
Sebagai penduduk biasa, Zamarae tidak menentang masuknya tentara Barat dan asing ke negerinya. Akan tetapi, semenjak peristiwa itu, ia menjadi berbeda. Ia, kini bertekad untuk mendukung perjuangan Taliban.
Zamarae tak sekedar memberikan dukungan kepada Taliban, ia juga bertekad memerangi kakuatan asing yang ada di negaranya. Malah, ia juga menawarkan anaknya yang masih berumur 7 dan 10 tahun untuk mengikuti latihan sebagai pelaku istisyhadi. “Itulah alasannya, mengapa aku harus bergabung dengan Taliban.” [dari Harian Al Bayan, dirangkum oleh Thoriq/www.hidayatullah.com]