(Arrahmah.com) – Kala manusia galau menghadapi situasi modern yang kian rusak dan merusak, baik ditinjau dari segi moral, politik, ekonomi, budaya, dan keamanan. Sesungguhnya manusia sangat membutuhkan ajaran agama yang dapat menunjukkan jalan hidup (way of life) yang dapat menyelamatkan hidupnya di dunia dan akhirat.
Akan tetapi, semakin manusia membutuhkan aturan agama, justru manusia semakin menjauhi agama. Sehingga peran orang-orang yang taat beragama untuk memperbaiki kondisi negara dan masyarakat kian termarjinalkan. Akibatnya, orang-orang yang tidak beragama dan tidak peduli terhadap ajaran agama mendominasi kehidupan sosial masyarakat. Lihatlah, manusia tidak takut melakukan kemaksiatan dan kemungkaran atas nama demokrasi dan HAM. Sebaliknya, mereka takut melakukan kebaikan dan menegakkan keadilan atas nama syariat agama. Karena kebanyakan orang beragama dan taat menjalankan ajaran agama khawatir dituduh sektarian, ekstremis, intoleran dan stigma negatif lainnya.
Mendiskreditkan penyeru agama
Kondisi dilematis ini memang sengaja diciptakan oleh orang-orang kafir. Perhatikanlah firman Allah ini: ” Nuh berkata: “Janganlah kalian menyembah kecuali hanya kepada Allah. Sesungguhnya aku khawatir kalian akan mendapatkan adzab pada hari yang sangat pedih.” (QS Huud (11) : 26)
Para pemuka golongan kafir di antara kaumnya berkata: “Wahai Nuh, kami menilai kamu hanyalah seorang manusia seperti kami juga, dan kami menganggap orang-orang yang mengikuti kamu adalah orang hina lagi bodoh. Kami menilai kalian tidak memiliki kelebihan apa pun dibandingkan dengan kami, bahkan kami memandang kalian adalah orang yang berdusta.” (QS Huud (11) : 27)
Skenario tokoh-tokoh kuffar dalam mendesikreditkan ajaran agama, yaitu dengan melemparkan tuduhan negatif pada penyeru agama Allah, para Nabi, Da’i, Ustadz, Kyai, Tuan Guru. Tujuannya, menjauhkan manusia dari agama dengan cara merusak citra, merendahkan kehormatan para penyeru agama.
Ayat di atas menjelaskan betapa sistematisnya upaya tokoh kuffar menghina Nabi Nuh yang mengajak bertauhid. Dalam pandangan orang kafir, apa hebatnya Nuh, tidak punya prestasi ilmiah, tidak juga keunggulan intelektual maupun finansial, selain bekal nekat, dan ambisi untuk kepentingan pribadi. Tetapi Nuh membantah kecurigaan itu dengan tegas, jelas, dan lugas, tanpa basa-basi.
“Wahai kaumku, aku tidak meminta upah kepada kalian untuk dakwahku ini. Sungguh pahala bagiku menjadi tanggungan Allah. Aku tidaklah akan mengusir orang-orang yang beriman bersamaku. Sesungguhnya mereka kelak akan menemui Tuhan mereka. Sebaliknya, aku melihat kalian sebagai kaum yang tidak mempedulikan salah atau benar. (QS Huud (11) : 29)
Inilah yang harus dibuktikan oleh para Da’i dan muballigh di zaman sekarang, bahwa tuduhan orang kafir tidak benar dan tanpa dasar; sebagaimana ditunjukan Nabi Nuh.
Akan tetapi seruan kebenaran akan tidak berpengaruh ketika misalnya, terbukti banyak tokoh agama yang menjual agama untuk mendapatkan harta, tahta, dan wanita. Misalnya, Islam mengharamkan korupsi, zina, ternyata tokoh agama banyak yang selingkuh dan jadi koruptor. Banyak tokoh agama yang lemah kepedulian sosialnya, tidak peduli dengan kondisi masyarakat dan negara. Sehingga skenario menjauhkan manusia dari agama semakin efektif, dengan cara mendiskreditkan para penyeru agama. Masyarakat menjadi bosan terhadap petuah dan nasehat agama, karena muak menyaksikan prilaku tokoh-tokoh agama, yang tidak bisa menjadi contoh dan tauladan dalam kebaikan.
Di kalangan para Nabi skenario licik kaum kuffar gagal, karena para nabi mempertahankan kredibilitasnya sehingga tidak bisa digiring dan dijerumuskan mengikuti gendang yang ditabuh lawan. Propapaganda hitam orang kafir gagal total. Intimidasi, gratifikasi, iming-iming jabatan, popularitas tidak mampu merobah paradigma dan orientasi perjuangannya. Nabi Nuh tidak bisa disogok atau disuap.
Bandingkan dengan kondisi ulama, kiai, ustadz di zaman kita sekarang. Betapa beraninya orang kafir memfitnah agama, menggunakan fakta prilaku negatif tokoh agama. Sekarang, untuk mencari tokoh agama yang shalih dan dipercaya umat, memiliki kualifikasi “basthatan fil ilmi wal jismi” (luas ilmunya, berani, kuat fisik dan mentalnya) memang tidak mudah.
Benteng Islam
Membuat tokoh agama merasa hina, tidak pede, takut, malu menyampaikan kebenaran Islam secara terus terang, karena prilaku buruknya sendiri, merupakan taktik musuh Islam. Takut mengatakan riba haram, karena dia sendiri pemakan riba. Malu mengungkap kerusakan moral, karena dia sendiri penikmat zina, pemabuk, anak-anaknya penghisab narkoba. Para politisi Muslim malu mengusulkan UU dan aturan yang sesuai syariat Islam, karena dia sendiri bukan Muslim yang taat. Ulama takut mengungkap kekafuran syiah, karena mungkin saja dia pernah terima dana dari Iran, atau pernah disuguhi perempuan mut’ah.
Memisahkan umat Islam dengan tokoh dan ulama Islam, adalah salah satu siasat musuh Islam untuk melemahkan Islam. Jika tokoh Islam sudah dirusak citranya sebagai radikal, fundamentakis, biasanya umat menjauh, tidak mau lagi mengikuti kajian atau ceramahnya. Menghina tokoh Islam dengan tujuan memisahkannya dengan umat merupakan siasat yang dilakukan sejak masa purbakala, bukan baru.
Oleh karena itu diperlukan ulama, selain berilmu berwawasan luas, juga pemberani. Orang yang bisa menjadi benteng pembela Islam, adalah mereka yang tidak mencari kehormatan, popularitas, kekayaan dengan cara memperalat agama.
Seorang atheis saja, PM uni Soviet Leoned Breznev dalam pertemuanya dengan Presiden AS Jimmy Charter pernah mengatakan, “Demi Tuhan, tidak mungkin kita dapat menciptakan perdamaian tanpa dukungan agama.”
Tapi sekarang, orang beragama malah menjual agama kepada komunis dan zionis. Mereka jual agamanya untuk mendapatkan kekayaan dunia.
Di negeri ini sulit menemukan tokoh Islam yang berani membela keyakinannya tanpa berubah hingga dieksekusi mati, seperti dilakukan SM Kartosuwiryo. Lepas dari setuju atau tidak setuju dengan misi perjuangannya, tapi dia berani membela dan mempertahankan keyakinannya untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Kalau kita hanya mencari kesalahannya, orang yang tidak setuju Negara lslam, bahkan hidup dan perjuangannya lebih busuk. Mereka yang memperjuangkan Pancasila, dan mengaku pembela Pancasila, lihat perbuatan mereka. Nasib negeri ini semakin hancur, terpuruk, perbuatan apa yang bisa dibanggakan dari mereka dalam mengelola negeri ini?
Akan tetapi SM Kartosuwiryo, pendiriannya tidak berubah, keberaniannya tidak surut sekalipun berhadapan dengan ancaman. Tahu mengapa sebabnya, karena dia berjuang bukan mencari kekayaan dunia, bukan juga jabatan dan kekuasaan, melainkan keridhaan Allah dengan cara memperjuangkan tegaknya hukum Allah dalam kehidupan berbangsa dan negara.
Figur SM Kartosuwiryo ini, sering digunakan musuh-musuh Islam untuk mendiskreditkan tokoh Islam dan perjuangan penegakan syariat Islam. Padahal, seorang Muslim tidak akan bisa memahami pesan Al-Qur’an, jika dia tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai jiwa perjuangan hidupnya.
Umat Islam harus menyadari bahwa menghina tokoh Islam merupakan siasat musuh untuk mendistorsi peran Islam dalam memperbaiki negara ini. Maka umat Islam harus meyakini, bahwa nnasib dunia dan akhiratnya hanya bisa aman dan nyaman apabila syariat Islam di tegakkan dalam jehidupan berbangsa dan bernegars.
Serial Kajian Malam Jum’at, 25 Feb 2016, di Masjid Raya Ar Rasul, Yogjakarta.
Narsum: Al Ustadz Muhammad Thalib
Notulen: Irfan S Awwas
(*/arrahmah.com)