Oleh : Abu Zahro (Aktivis Islamic Revivalis di Indonesia)
(Arrahmah.com) – Suriah ke depan bukan saja sebuah harapan atau impian tetapi menggeliat jadi inspirasi dan motivasi kebangkitan di berbagai belahan dunia Islam. Dari berbagai negeri Islam mengalir dukungan terhadap kaum muslimin Suriah untuk berjihad menumbangkan Rezim Boneka Barat -Bashar Asaad-. Baik dukungan materiil maupun moral seperti aksi solidaritas. Lebih dari itu, potret pergolakan Suriah telah menjadi amunisi penyadaran umat tentang pentingnya posisi Suriah (baca: wilayah Syam) dalam peta kebangkitan Islam. Suriah bisa menjadi simpul kesatuan dan kebangkitan Islam sedunia. Jihad di Suriah sendiri sudah berubah nuansa menjadi Jihad Global.
Meski harus diakui bahwa jihad menggulingkan rezim laknatulloh Bashar Asaad tidaklah mudah, bukan berarti tidak mungkin. Namun tingkat kesulitan perlawanan itu semakin menambah dinamika jihad di Suriah. Allah SWT menguji kelayakan As Syam sebagai tempat turunnya Nashrullah. Saudara muslim Suriah telah memberikan pelajaran mahal, menjadi cermin bagi kaum muslimin sedunia bagaimana perjuangan jihad dan dakwah dengan segala pengorbanan harta dan jiwa. Sebuah pengorbanan yang jarang dilakukan di medan perjuangan dakwah di Indonesia kecuali saudara-saudara kita yang dianiaya, didzalimi, ditembak dan dibunuh karena dugaan teroris. Atau para pejuang dan aktifis Islam yang dipenjara dan dianiaya karena membela Dienul Haq –Al Islam – dan bicara terang-terangan tidak bosa-basi dan “abu-abu” dihadapan penguasa thogut yang lalim.
Revolusi Suriah telah melahirkan beragam respon muslim Indonesia. Paling tidak terdapat 3 (tiga) respon antara lain :
Pertama, Oleh sebagian pihak Revolusi Suriah menjadi momentum penyadaran umat tentang esensi penting dan wajibnya perjuangan penegakkan syariah dan khilafah. Namun masih “terseok” untuk menempatkan Revolusi Suriah, menjadi inspirasi dan motivasi menggerakkan umat secara nyata untuk merealisasikan “Social and Politic Movement Engineering” (Rekayasa Gerakan Sosial-Politik). Dengan dampak tumbangnya rezim dan sistem thogut –demokrasi- di Indonesia.
Kedua, Revolusi Suriah melahirkan empati dalam dimensi persaudaraan muslim seakidah. Muslim Indonesia adalah saudara muslim dunia termasuk muslim Suriah. Jika saudaranya di Suriah dibunuh, dianiaya, dan dibantai wajib hukumnya saudara lainnya termasuk di Indonesia untuk membela, melawan dan membunuh terhadap yang membunuhnya meski harus berkorban nyawa. Apalagi membunuh para Kafir Muharibban Fi’lan yang berhutang nyawa banyak karena menumpahkan darah kaum muslimin sedunia. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullullah SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi : “Sesungguhnya hilangnya dunia dan seisinya benar-benar lebih ringan bagi Allah ketimbang terbunuhnya seorang muslim”. Respon dukungan yang kedua ini dalam bentuk riil yakni memberikan obat-obatan yang diperlukan, harta yang dibutuhkan untuk akomodasi jihad, advokasi opini media terhadap perjuangan jihad di tengah perang opini media yang menyesatkan oleh media sekuler. Bahkan yang memungkinkan juga terlibat ambil bagian dalam jihad Suriah sebagaimana mujahidin Chechnya, Belanda, Saudi Arabia dan berbagai negeri-negeri muslim lainnya.
Ketiga, Revolusi Suriah mendorong kalangan intelektual muslim menggoreskan pena untuk membuka kedok kebengisan rezim Bashar Asaad kepada dunia. Kalangan tokoh umat melakukan aksi simpatinya dalam bentuk memberikan seruan untuk menghentikan peperangan. Sebagian kaum muslimin mengadakan do’a bersama sambil istighozah demi keselamatan muslim Suriah.
Resonansi Revolusi Suriah
Di sisi lain, tidak jauh beda bahwa Indonesia menghadapi berbagai persoalan sistemik baik bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, pertahanan-keamanan dan lain-lain akibat penerapan system thogut –demokrasi-. Di antara persoalan yang cukup penting adalah GWOT (Global War On Terrorism). Melalui proyek ini, terindikasi secara sistemik bahwa Kafir Muharibban Fi’lan melalui antek-anteknya hendak meredam dan mematikan perjuangan kaum muslimin. Kebiadaban, kekejaman, kesewenang-wenangan Densus 88 bukan tanpa alasan, langkah mereka menciptakan teror dan menyuburkan Islam phobia.
Langkah counter Ideologi Islam mereka juga lakukan dengan culas. Menyudutkan ajaran Islam, mereduksi pemahaman tentang ajaran agung -Al Jihad-misalnya. Dalam konteks inilah, spirit Suriah rasanya bisa menjadikan sikap umat dan tokohnya memiliki taji untuk hentikan kejahatan-kejahatan sistemik ini. Sekalipun kejahatan ini “legal’ berdasarkan Undang-Undang.
Maka sedikit fokus kepada perlawanan yang semestinya di wujudkan, perlu konstruksi perjuangan sistemik untuk menghadapi kejahatan sistemik. Perlawanan itu antara lain :
Pertama, perlu judicial review untuk menghapus legal of frame pemberantasan terorisme (UU Terorisme, UU Pendanaan Terorisme dan lain-lain). Diganti dengan UU Penyadaran Umat Tentang Terorisme yang berisi bagaimana memahami terorisme dan memecahkan persoalan terorisme secara benar, komprehensif dan mendasar. Dibuka ruang dialog yang jujur tanpa manipulasi, provokasi, intervensi, stereotype dan stigmatisasi terhadap Islam dan umatnya. Perjuangan ini harus dikawal oleh seluruh komponen umat. Seperti belajar dari pengalaman perjuangan judicial review UU No 22 tahun 2001 tentang Migas yang berbuah bubarnya BP Migas.
Kedua, langkah pertama diatas harus didukung oleh sinergi seluruh komponen kunci umat. Kesamaan misi, yakni tolak dan menghentikan segala bentuk kebijakan yang menikam dan merugikan umat Islam. Ego golongan harus dikalahkan dengan kepentingan besar (Islam dan umatnya). Ini penting untuk membangun sebuah kesolidan dan sinergitas.
Adapun variabel yang harus disiapkan untuk meraih sinergitas dari masing-masing elemen umat adalah:
-
Yang memahami hukum konstitusi mengawal bagaimana proses revisi undang-undang atau pembatalan undang-undang karena merugikan rakyat. Misalnya UU Terorisme dan UU Pendanaan Terorisme.
-
Yang menggunakan metode perjuangan pemikiran dan politik mengawal umat sampai sadar politik melalui edukasi dan aksi massa secara masif. Aksi massa yang terukur didukung oleh banyaknya umat yang sadar akan problem yang dihadapi dan tahu cara bagaimana problem ini bisa dipecahkan dengan perjuangan Islam.
-
Yang menekuni dan paham akan peta fakta persoalan kekejaman, kebiadaban, kedhaliman di lapangan atas proyek melawan terorisme terus melakukan investigasi, penelitian untuk menguak berbagai fakta, data dan peristiwa kebobrokan perang melawan terorisme yang menyasar para aktifis dan pejuang Islam.
-
Yang memegang kendali opini media terus memberitakan, menyuarakan dan mengadvokasi lewat blow up opini media. Untuk membongkar fakta kebusukan dan rekayasa proyek perang melawan terorisme yang manipulatif.
-
Yang menjadi korban, saatnya bicara. Keluarga korban bicara. Saksi korban bicara. Lingkungan korban bicara. Bahwa telah terjadi intimidasi sosial yang justru meresahkan masyarakat di tengah beban ekonomi sosial yang bertambah berat.
-
Yang paham hukum pidana melakukan advokasi kepada korban dan keluarga korban kekejaman, kebiadaban, kedhaliman densus 88. Dan memahamkan keadilan adalah hak tiap individu.
-
Yang memiliki kemampuan dana saatnya memberikan sumbangan kepada perjuangan melawan segala bentuk kebijakan yang merugikan dan menikam kaum muslimin. Terutama sumbangan kepada para korban dan keluarga korban –para mujahidin- yang mukhlis.
-
Yang memiliki kemampuan pemikiran, saatnya melakukan perlawanan melalui pemikiran dalam bentuk lisan dan tulisan. Dengan terus mengawal advokasi pemikiran umat agar “sadar politik” terhadap problem umat. Dan melakukan advokasi pemikiran umat agar umat sadar mengambil Islam sebagai satu-satunya solusi kehidupan.
-
Yang memiliki kemampuan fokus pada pembenahan aqidah umat, terus melakukan perjuangan menyadarkan umat agar mau menjadikan aqidah Islam sebagai landasan perjuangan melawan setiap hal yang bertentangan dengan Islam dan memerangi kekufuran melalui jalan pemikiran, politik maupun jihad.
-
Yang berada dekat dengan pusat kekuasaan, mengingatkan penguasa bahwa biang dari carut marut persoalan sistemik yang mendera saat ini adalah karena ketundukkannya pada Kafir Muharibban Fi’lan. Banyak kebijakan penguasa hanya mengekor arahan musuh-musuh Allah SWT dan Rasul-Nya. Penguasa harus memutuskan wala’nya kepada Kafir Muharibban Fi’lan dengan mencampakkan sistem thogut arahan Kafir Muharibban Fi’lan -demokrasi- yang telah menimbulkan problem sistemik tak berkesudahan.
-
Yang memiliki kekuatan militer jadilah Ansharallah bukan Ansharut Thagut. Penjaga dan penolong agama Allah bukan menjadi penjaga, pengawal dan pembela para thagut. “Setia Hingga Akhir” lah menjadi penjaga negara dari serangan Kafir Muharibban Fi’lan. Sudah cukup banyak hikmah dari berbagai peristiwa kemunafikan integritas para penguasa dalam menjaga kesatuan Negara ini. Dengan mengorbankan dan menumpahkan darah para “Satria Negara”. Berkacalah pada kasus Timor Timur yang telah lepas dari wilayah negeri ini buah implikasi kebijakan politik arahan Asing (Kafir Muharibban Fi’lan). Lihatlah konflik Papua yang tidak berkesudahan memakan korban kalangan tentara dalam tugas bela negara.
Akhirnya, Jihad Suriah merupakan ruh untuk menyatukan misi umat Islam Indonesia memformulasikan langkah perjuangan yang sinergi dan sistemik. Bubar tidaknya Densus 88 kedepan mungkin bisa jadi salah satu tolak ukur sejauhmana komponen kunci umat Islam mampu menyerap spirit perlawanan (jihad) muslim Suriah menjadi energi besar untuk menghentikan kedzaliman anshorut thogut dan tumbangnya sistem thogut -demokrasi- di Indonesia. Jangan sampai komponen gerakan Islam di Indonesia sikapnya sibuk dengan kedzaliman orang-orang yang jauh di seberang, tapi membisu dan “buta” atas kedzaliman didepan hidungnya. “
Wallahu ‘alam bis showab.