Oleh Tia Damayanti, M.Pd.
“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman..”
Sepenggal lagu yang familiar di telinga kita ini nampaknya pas untuk menggambarkan betapa Indonesia adalah negeri kaya raya akan sumberdaya alam yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Terletak di garis khatulistiwa, negeri subur dengan keindahan dan keeksotisan yang tiada bandingnya.
Bumi pertiwi dengan beragam keunikannya dan begitu banyak harta karun yang terpendam. Semua tersedia dan telah Allah ciptakan dengan sempurna. Namun, faktanya tidak sedikit rakyat yang hidup dalam kemiskinan, ibarat tikus mati di lumbung padi. Sungguh miris!
Problematika Kemiskinan dan Upaya yang telah Dilakukan Pemerintah
Republika.co.id pada 28 Januari 2023 melansir, bahwa Dinas Sosial (Dinsos) menyatakan 3.961 jiwa warga Kabupaten Bekasi, Jawa Barat masuk kategori penduduk miskin ekstrem berdasarkan hasil pencocokan data lapangan yang dilakukan Dinsos setempat.
Selain itu, Kumparan.com pada 30 Januari 2023 juga melansir bahwa Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengungkapkan sangat sulit untuk mencapai target kemiskinan ekstrem nol persen dan miskin 7 persen di 2024. Mengingat, angka kemiskinan ekstrem di bulan Maret 2022 masih mencapai 2,04 persen dan penduduk miskin pada bulan September 2022 sebesar 9,57 persen.
Permasalahan kemiskinan masih menjadi trending topik di tahun 2023 ini, karena hingga kini belum bisa diselesaikan. Bahkan dari tahun ke tahun kemiskinan terus meningkat. Peneliti Lembaga Riset Institute for Demographic And Poverity Studies (IDEAS) bidang ekonomi makro, Askar Muhammad memprediksi, tingkat kemiskinan di negeri ini akan mengalami peningkatan di tahun 2022 menjadi 10,81% atau setara dengan 29,3 juta penduduk.
Menurut Askar, peningkatan angka kemiskinan ini dipicu oleh lemahnya anggaran perlindungan sosial. Menurutnya pada tahun 2020 penggunaan anggaran PEN Perlimdos mencapai Rp 216,6 triliun. Namun, pada APBN 2021 alokasi turun menjadi Rp124,57 triliun, bahkan pada RAPBN 2022 hanya direncanakan sebesar Rp153,7 triliun (Kompas.com, 09/12/2022).
Pemerintah sendiri telah berupaya untuk mengatasi masalah kemiskinan dengan memberikan bantuan sosial, bantuan modal kerja, dan berbagai bantuan lainnya. Namun berbagai upaya ini nampaknya belum dapat menghilangkan kemiskinan, hanya mampu menurunkan persentase angka kemiskinan semata.
Sebuah kenyaataan yang pahit. Lalu kenapa semua ini bisa terjadi? Bagaimana seharusnya pengelolaan SDA yang begitu melimpah di negeri ini?
Akar Masalah Kemiskinan
Kemiskinan dari dulu hingga kini menjadi problem klasik yang tiada akhirnya. Kemiskinan telah membuat masyarakat sengsara, kebutuhan pokok dan mendasar manusia tidak dapat terpenuhi. Tanah yang luar biasa subur, tanaman apapun bisa tumbuh subur, tapi rakyatnya justru mengalami kemiskinan. Sungguh ironis!
Pengelolaan kekayaan negara yang salah menjadi sebab terjadinya problem ini. Dalam undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 dinyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sayang, masyarakat Indonesia tak pernah mencicipi SDA yang melimpah ini.
Freeport di Papua misalnya, sejak 21 Desember 2019, dengan perjuangan yang panjang, akhirnya pemerintah Indonesia berhasil mengakuisisi saham PT Freeport Indonesia sebesar 52,1 persen. Perjanjian tersebut ditandatangani dengan pelunasan transaksi sebesar US$3,85 miliar atau sebesar Rp55,8 triliun. Namun nyatanya, rakyat di Papua khususnya masih jauh dari sejahtera.
Penguasaan perusahaan swasta atas sumber daya alam pun sungguh mengerikan. Pertambangan yang dikuasai BUMN sangatlah kecil. Untuk batubara hanya 10 sampai 12 persen, dengan produksi hanya 4 persen. Sedangkan emas dan tembaga, masih kosong atau kecil. Kemudian nikel hanya 11 persen saja, bauksit kecil juga, kalau timah agak besar. Persoalannya timah harganya kecil,” ujar Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, disela-sela diskusi Holding Pertambangan, di kantor Kementerian BUMN, Jumat (24/11).
Sejak dibuka pintu liberalisasi dan privatisasi SDA dan BUMN (masa Orde baru), para investor dan pengusaha asing berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk memperebutkan harta kekayaan negeri ini. Hasil kekayaan alam yang melimpah masuk ke dalam kantong-kantong oligarki, sehingga negara tidak memiliki dana untuk mengurus rakyatnya. Malahan penguasa memenuhi keuangannya dengan memalak rakyat melalui pajak. Rakyat pun menjadi susah mencari pekerjaan. Banyak yang menganggur karena lapangan pekerjaan bagi mereka tidak ada, banyak diisi oleh pekerjaan asing.
Selain itu, layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan dikomersialisasi dan diperjualbelikan kepada rakyat. Mereka harus membayar ketika ingin menikmati layanan ini. Begitu juga dengan kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan yang seharusnya murah dan terjangkau bagi masyarakat, justru dimonopoli oleh swasta. Mereka yang memiliki kelebihan harta saja lah yang mampu membelinya, sedangkan yang miskin hanya bisa gigit jari.
Semua ini terjadi ketika sistem kapitalisme mengatur negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, ide kebebasan begitu dielukan, salah satunya adalah kebebasan kepemilikan. Kebebasan tersebut telah menyebabkan penguasa memberikan kebebasan kepada swasta dan asing untuk mengelola sumber daya alam yang ada. Hal inilah yang mengakibatkan terciptanya kemiskinan masal, bahkan ekstrim, di tengah masyarakat.
Tentu, kondisi ini harus segera diberikan solusi tuntas. Jika ternyata sistem saat ini tidak berhasil mengatasi kemiskinan, maka sudah saatnya kita menoleh pada sistem alternatif yang lain, yaitu sistem Islam yang berasal dari Sang Khalik.
Islam Mengatasi Kemiskinan
Islam sebagai agama yang syaamilan wa kaamilan (sempurna dan menyeluruh) mengatur seluruh problematika kehidupan, tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam adalah sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam mengentaskan kemiskinan.
Islam memandang masalah kemiskinan berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan akan terwujud apabila kebutuhan asasi rakyat terpenuhi. Oleh karena itu, negara dalam Islam akan memenuhi kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Negara akan mengelola sumber daya alam (SDA) melimpah yang dimiliki secara mandiri, tidak bergantung pada pihak manapun, sehingga negara akan memiliki keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara gratis. Islam melarang pengelolaan SDA dalam jumlah melimpah kepada siapa pun, baik perorangan, perusahaan apalagi asing. SDA yang melimpah/tidak terbatas ini merupakan kepemilikan umum bagi seluruh rakyat.
Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Selain itu, negara akan membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya, sehingga memudahan bagi kepala keluarga (laki-laki) dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bidang pertanian dikelola dengan fokus, agar produksi pertanian dan pangan meningkat. Berbagai penelitian ilmiah dilakukan untuk memastikan, bahwa seluruh proses pengadaan tidak terhalang. Jaminan ketersediaan dan distribusi pangan merata untuk seluruh rakyatnya. Harga komoditas di pasar mengikuti mekanisme pasar, penawaran dan permintaan komoditas dikendalikan oleh negara.
Inilah mekanisme Islam dalam mengatasi kemiskinan. Penerapan Islam yang kafah (menyeluruh) niscaya mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Karenanya dalam sistem Islam, kesejahteraan bukanlah fatamorgana, melainkan bisa terwujud nyata.
Telah tercatat dalam sejarah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tidak dapat ditemukan warga miskin di setiap sudut kota. Hal itu terbukti dengan tidak adanya rakyat yang mengambil dana zakat yang diperuntukkan untuk warga miskin.
Sudah saatnya negeri ini meninggalkan sistem kapitalisme yang telah nyata tidak mampu memberi kesejahteraan bagi masyarakat dan beralih kepada aturan Islam yang sempurna, yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Penerapannya meniscayakan untuk menepis ironi permasalahan kemiskinan di negeri berlimpah sumber daya alam.
Wallahua’lam bishshowaab.