Arrahmah.com FeatureNews – Terry Holdbrooks selalu berdiri dan menyaksikan para tahanan dan aktivitas mereka di Guantanamo. Ternyata semua yang ia perhatikan membuat ia tertarik dan mengambil keyakinan yang dimiliki oleh tahanannya itu.
Tentara spesialis Terry Holdbrooks selama enam bulan sering berbicara dengan tahanan bernomor 590, orang Maroko yang dikenal dengan sebutan “Jendral”, yang kemudian mengubah hidupnya.
Bermula pada awal 2004. Saat itu, ia selalu melewatkan harinya dengan menunaikan kewajibannya; menginterogasi tahanan, bolak-balik memeriksa setiap sel dan memastikan tahanannya tercatat.
Namun, setiap kali gelap datang, ia mulai merasa bosan. “Satu-satunya yang bisa anda lakukan adalah mengepel lantai,” katanya. Oleh sebab itu, Holdbrooks mulai menghabiskan sebagian malamnya dengan duduk bersila dan berbicara dengan tahanan lewat lubang pintu sel mereka.
Holdbrooks jadi memiliki hubungan yang cukup dekat dengan “Jenderal” yang memiliki nama Ahmed Errachidi. Percakapan yang sering mereka lakukan lepas malam menyebabkan Holdbrooks skeptis terhadap Guantanamo dan memaksanya berpikir lebih keras mengenai hidupnya sendiri, aku Holdbrooks. Kemudian, ia memesan buku-buku Arab dan Islam dan mendiskusikannya dengan Errachidi. Lalu, pada awal 2004, ia mengucapkan syahadat, sebuah pernyataan sakral yang menandakan seseorang masuk Islam. Ia menyelipkan pena dan kertas melalui lubang pintu penjara dan meminta Erachidi menuliskan syahadat, kemudian mengucapkannya dengan lantang di Kamp Delta Guantanamo. Sejak hari itu, jadilah ia seorang muslim.
Guantanamo pernah mencatat sejarahnya yang mencengangkan lewat perlakuan sangat kasar terhadap tahanannya. Holdbrooks, yang meninggalkan dunia militer tahun 2005, membaginya. Dalam wawancara beberapa minggu yang lalu, dia dan mantan penjaga lainnya bercerita kepada NEWSWEEK tentang perlakuan sadis terhadap para tahanan yang dilakukan oleh tentara, dokter dan interogator yang merasa ingin balas dendam untuk insiden 9/11 di Amerika. Tetapi ketika kabut rahasia Guantanamo perlahan tersingkap, pemandangan lain mulai muncul, termasuk interaksi yang mengherankan antara penjaga dan tahanan yang tiba-tiba membahas politik, agama dan musik.
Kegelisahannya memuncak dan pertanyaannya bertambah banyak. Termasuk tentang penahanan Errachidi. Tahanan Maroko itu bekerja sebagai seorang juru masak di Inggris selama hampir 18 tahun dan sangat fasih berbahasa Inggris. Erachidi bercerita pada Holdbrooks mengenai kepergiannya ke Pakistan dengan ongkos dari perusahaannya menjelang akhir September 2001 untuk menebus operasi bedah anak laki-lakinya. Ketika Errachidi melintasi Afganistan, ia diangkut paksa oleh Aliansi Utara dan dijual kepada tentara Amerika seharga 5.000 dolar. Dan sampailah Errachidi di Guantanamo dengan tuduhan mendatangi tempat latihan al Qaeda. Dan tahun 2007, investigasi yang dilakukan surat kabar London Times menguatkan pembelaannya dan ia pun bebas.
Di penjara, Errachidi merupakan seorang agitator. “Karena fasih berbahasa Inggris, saya selalu berhadapan dengan para tentara,” tulisnya dalam NEWSWEEK melalui e-mail. Errachidi mengatakan seorang kolonel Amerika di Guantánamo memberinya nama panggilannya, dan memperingatkannya bahwa “jenderal” akan disakiti jika para tahanan tidak mau bekerja sama. Dia mengatakan pembangkangannya harus ia bayar selama 23 hari penyiksaan, tidak tidur, tinggal dalam ruangan sempit bersuhu sangat dingin dan terikat. “Saya selalu yakin tentara sedang melakukan pelanggaran dan saya tidak mau bungkam,” tambah Errachidi. Tawanan Maroko itu melewatkan empat dari lima tahunnya di Guantanamo di blok hukuman, di mana tahanan dilarang menyentuh kertas dan tasbih serta akses ke halaman rekreasi dan perpustakaan.
Errachidi mengatakan dia tidak mengingat dengan rinci bagaimana malam-malam Holdbrooks berubah. Selama bertahun-tahun, ia berdiskusi seputar agama dengan para penjaga: “Saya berbicara dengan mereka tentang Bapak Natal dan Ishak dan Ibrahim [Isaac dan Abraham] serta pengorbanan mereka. Mengenai Yesus.”
Holdbrooks ingin mengumumkan dirinya telah memeluk Islam, namun Errachidi memperingatkannya bahwa memeluk agama merupakan hal yang serius, namun di Guantánamo, urusan bisa menjadi berantakan. Kemudian Holdbrooks hanya mengatakan kepada dua orang kawan sekamarnya tentang pindahnya dia kepada agama Islam, tidak dengan yang lainnya.
Namun ternyata keislamannya diketahui oleh penjaga lainnya. Mereka mendengar tahanan yang memanggil Holdbrooks dengan nama Mustafa, dan melihat Holdbrooks belajar bahasa Arab secara terbuka. Suatu malam pemimpin regunya membawa Holdbrooks ke halaman, di mana lima orang penjaga sedang menunggu. “Mereka mulai mencemooh saya, memanggil saya pengkhianat, dan tidak berpihak,” kata Holdbrooks. Hingga suatu titik pemimpin regu dan dua orang temannya bergantian memukulnya.
Ketika kembali ke Phoenix, Holdbrooks kembali minum, untuk melarikan diri dari kemarahannya. Dan baru-baru ini, Holdbrooks kembali berhubungan dengan Errachidi, yang sudah menderita sejak meninggalkan pusat penahanan. Errachidi memberi tahu NEWSWEEK dia tidak mendapat menikmati kebebasannya, “saya harus belajar bagaimana berjalan tanpa belenggu dan tidur malam hari dengan lampu.”
Holdbrooks, usianya sekarang 25 tahun, mengatakan ia sudah berhenti minum minuman keras sejak tiga bulan yang lalu dan mulai sering mendatangi dan shalat berjamaah Tempe Islamic Center, mesjid dekat Universitas Phoenix, di mana dia bekerja sebagai konselor. Bekas luka di kepalanya sekarang tersembunyi di bawah peci khas yang dipakai oleh orang Muslim biasanya. Ketika imam di Tempe memperkenalkan Holdbrooks kepada jamaah dan menerangkan bahwa ia berubah di Guantánamo, berpuluh-puluh orang berebut untuk menyalaminya, untuk menjabat tangannya.
Semoga Allah membimbing dan menguatkan keimanannya. Allahumma aamiin. (Althaf/arrahmah/rvthb)