Sambil duduk di atas permadani yang terhampar di atas rumput di luar wisma tamu Timargarah, saya berbicara dengan beberapa anggota Tehrik-Nifaz-e-Shariah Mohammadi (TNSM), namun pikiran saya tetap sibuk mempersiapkan wawancara dengan pemimpin mereka yang sudah lama saya tunggu-tunggu.
Saya hampir melewatkan seorang laki-laki tua dengan jenggut putih yang panjang dan memakai sehelai turban hitam dan Shalwar Kameez coklat, yang mendekati saya dan beberapa orang lain yang sedang duduk di taman.
Saya hanya memandang dia selintas saja sebelum melanjutkan percakapan dengan anggota TNSM.
Dan benar-benar kejutan buat saya dia tidak lain adalah Sufi Mohammad, pemimpin TNSM dan laki-laki yang paling dihormati di Swat dan di seluruh Provinsi Batas Baratlaut (NWFP).
“Apakah anda pernah menemui Sufi Sahib?” tanya Maulana Alam, wakil Sufi Mohammad.
“Tidak,” saya menjawab.
“Temuilah dia. Dia adalah Sufi sahib,” dia menambahkan sembari ersenyum lebar.
Saya sontak melompat untuk menyambut Sufi, sedangkan semua anggota
TNSM lainnya masih duduk dengan tenang di atas permadani.
Karena Maulana Alam mengenalkan saya dalam bahasa Pashto, saya mencoba untuk memelu Sufi Mohammad untuk memperlihatkan rasa hormat saya dalam tradisi Pushtun, cara yang sama yang saya dapatkan dari para anggota majelis Shuranya.
Tapi dia tetap menjaga jaraknya dan hanya meraih tangan saya. Saya benar-benar gugup.
“Sufi Sahib tidak memeluk siapapun,” kata Maulana Alam yang selalu tersenyum. Pada saat yang sama Sufi tetap tidak memperhatikan saya yang gugup, ia pun tidak senyum sama sekali.
“Ia hanya menjabat tangan karena, baginya, inilah Masnun (sesuai syariat) untuk menyapa,” papar Alam.
Sufi Mohammad (76) menemukan TNSM pada 1992 setelah ia memisahkan diri dari Jamaat-e-Islami.
Ia ditangkap dan kemudian dikenai hukuman penjara tujuh tahun atas tuduhan melanggar hukum perbatasan.
Penahanannya menyebabkan tubuh TNSM terbagi menjadi dua, faksi militan yang dipimpin oleh menantunya Maulana Fazlullah dan faksi non-kekerasan yang dipimpin oleh Alam hingga ia dibebaskan tahun 2008.
Sufi duduk di atas rumput setelah menyapa anggota-anggotanya, tidak ada satupun dari mereka yang mencoba memberikan tempat di atas permadani untuk pemimpinnya itu.
“Ia telah melarang keras kami untuk melakukan itu semua ketika ia datang,” Maulana Alam menjelaskan dengan seksama.
“Ia akan sangat marah kalau kami melakukannya.”
Duduk di samping orang bersuara lembut seperti Maulana Alam, membuat saya merasakan banyak hal.
Ketika saya mempersiapkan diri untuk bertanyam adzan dzuhur berkumandang.
Sufi mengatakan sesuatu dalam bahasa Pashto pada Alam. Lalu, Alam memberi tahu saya bahwa Sufi Sahib mau pergi dan siap-siap untuk shalat.
“Apakah anda sudah wudhu?” tanya Sufi pada saya dalam bahasa Pashto yang sangat sulit saya mengerti.
“Ya,” jawab saya.
“Ayo!”
Kami pergi ke pojok lain di halaman dimana permadani yang cukup panjang sudah terbentang di atasnya.
Lagi-lagi, saya dibuat kagum atas kesederhanaannya.
Sufi tidak mengimami shalat dan malah meminta salah seorang pemuda.
Selesai shalat, kami kembali ke tempat kami sebelumnya.
Ketika saya bersiap-siap untuk menanyainya, Sufi Mohammad membisikkan sesuatu pada Alam.
Alam menjelaskan bahwa Sufi menginginkan dirinya jadi jembatan antara Sufi yang berbahasa Pashto dengan saya yang berbahasa Urdu dan saya tidak bermasalah dengan hal itu.
Pertanyaan pertama saya adalah, tentu saja, mengenai syariat yang mereka tegakkan di Swat.
“Syariat Muhammad, tidak kurang dan tidak lebih,” ujarnya.
“Kita tidak akan pernah melaksanakan sebuah hukum secara sembarangan. Segala sesuatu harus dilakukan sesuai dengan pengadilan Qazi,” ia menambahkan.
“Tapi tidak akan dilakukan tanpa bukti yang memadai. Jika kurang bukti, maka hal itu hanya jadi tuduhan semata.”
Perjanjian damai yang difasilitasi Sufi antara pemerintah dengan para mujahidin Taliban lokal membolehkan ditegakkannya Nizam-e-Adal, sistem hukum berdasarkan syariat.
Di bawah sistem baru ini, terdapat mahkamah Qazi di Swat, Dir, Chitral, Kohistan, dan distrik lainnya di NWFP.
Mahkamah paling lambat menyelesaikan kasus sipil selama enam bulan dan perkara kriminal selama empat bulan.
“Narapidana akan mempunyai hak untuk menantang pendapat mahkamah Qazi di Dar-ul-Qad’ah ,dimana keputusannya akan merupakan keputusan final,” kata pemimpin TNSM.
“Pejabat pemerintah dan polisi akan bertindak menurut perintah mahkamah Qazi. Bukan anggota Taliban atau TNSM yang akan melakukan itu. Ini bukan urusan mereka.”
Pemimpin TNSM itu mengatakan bahwa pihaknya akan melanjutkan penguatan Nidzam-e-Adal di divisi Malakand, dimana Swat termasuk dari tujuh distrik yang dibawahinya.
“Jika sistem ini berhasil untuk memberikan keadilan dan perdamaian bagi umat, lalu maka hal ini akan menjadi model aturan di seluruh negara.”
“Lalu kami tidak akan harus berjuang keras karena secara otomatis akan membujuk orang di seluruh negeri untuk mengadopsinya,” paparnya.
“Kami ingin sistem pengadilan syariat terbukti berhasil dan produktif bagi orang kebanyakan.”
“Jika kami berhasil, lalu secara otomatis orang daerah lain akan menuntut hal yang sama. Dan itu akan menjadi kemenangan yang nyata bagi kami.”
Saya bertanya pada Suffi Mohammad apakah para mujahidin lokal Taliban akan bersedia meletakkan senjata mereka jika Nizam-E-Adal sepenuhnya dilaksanakan.
“Yang tidak mau menurutinya akan dikeluarkan dari Taliban,” katanya.
“Mereka bisa menyimpan senjata-senjata itu di rumah mereka, seperti saya dan anda mempunyai senjata di rumah. Tapi mereka tidak boleh membawanya, atau memajangnya, atau menggunakannya untuk menentang perintah pemerintah.”
Suffi memberi tahu bahwa Maulana Fazlullah, bukan dirinya, yang menjadi pemimpin lokal Taliban.
“Ia adalah pemimpin mereka. Mereka tidak bisa berkata tidak di hadapannya.”
Empat puluh lima menit berlalu, waktunya saya pergi.
“Anda tidak bisa pergi,” kata Maulana Alam.
“Anda adalah tamu kami. Sufi Sahib telah memerintahkan kami untuk tidak membiarkan anda pergi sebelum anda makan siang bersama kami.”
Sehingga kami pun beranjak menuju sebuah bangunan dimana makan siang disediakan. Semua anggota majelis shura TNSM telah duduk berkeliling di sana, kecuali Sufi.
(Tulisan ini diambil dari catatan perjalanan Aamir Latif, salah seorang koresponden IOL di Lembah Swat)