Tak seorang pun di Pakistan, terutama di Lembah Swat, yang tidak pernah mendengar dan tidak mengetahui seberapa besar pengaruh Sufi Mohammad, pemimpin Tehrik Nifaz-e-Shari’ah Mohammadi (TNSM).
Ia mengatur perjanjian damai pada Februari antara pemerintah dengan Taliban lokal yang dipimpin oleh menantunya Maulana Fazlullah, yang berisi pengesahan implementasi Nizam-e-Adal, sistem peradilan yang berdasarkan syariat islam, di Swat dan beberapa daerah lain di provinsi Batas Baratlau (NWFP).
Masa depan perjanjian yang akhir-akhir ini semakin melemah, yang hingga saat ini diuji dengan pertempuran antara kedua belah pihak (Pakistan dan Taliban), sebagian besar tergantung pada kemampuannya untuk meminimalisir perbedaan antara keduanya.
Sehingga, wawancara dengan laki-laki bersuara lembut baik hati itu akan menjadi sesuatu yang sangat berharga dalam puncak perjalanan liputan di wilayah yang bermasalah tersebut.
Saya menuju ke desanya, Lal Qila, di distrik Dir, dimana ia sebetulnya telah diserbu sejak api pertempuran mulai dipercikkan minggu lalu.
Sewaktu kendaraan melintas Chakdarah, 40 kilometer dari Mingora, ibu kota Swat, mujahidin Taliban dan angkatan perang keamanan pemerintah terlihat saling berhadapan di seberang jalan ke Timargarah, ibu kota Dir, 80 kilometer sebelah timur Swat.
Sesudah mengemudi beberapa kilometer kemudian, dua orang mujahidin Taliban yang mengenakan turban hitam dan pakaian milisi yang dikenal dengan Shalwar Kameez memberi tanda pada kami untuk berhenti.
“Anda siapa dan mau kemana?” satu di antara mereka bertanya pada kami dengan sopan dalam bahasa Pushtu.
“Kami adalah wartawan dan akan pergi meliput pembicaraan antara pemerintah dengan Sufi Mohammad,” jawab teman saya.
“Kami tamunya,” tambah saya.
Laki-laki, yang tidak menutupi tersenyum ramah pada kami sambil mengatakan, “Oh, anda dari media.”
“Jadi anda akan meliput acara tersebut, kemudian kembali ke Islamabad dan mendeklarasikan bahwa kamilah teroris,” ia bercanda dan tawanya kemudian meledak.
Setelah mengatakan itu, dua orang mujahid itu menepi dan mempersilakan kamu melanjutkan perjalanan ke Timagarah dekat sungai Panjkora.
Akhirnya kami sampai di wisma tamu Timargarah yang dikeliling oleh pegunungan yang tinggi dan hijau serta perkebunan.
Di sana, kami disambut dengan sangat ramah oleh anggota majelis Shura TNSM Sufi Mohammad. Mereka mengenakan turban hitam, pakaian khas anggota TNSM. Mereka menyalami dan memeluk kami dengan hangat, salah satu cara mereka untuk memperlihatkan rasa hormat mereka pada para tamu.
Saya benar-benar tidak bisa menunggu untuk bertatap muka dengan Sufi Mohammad (76) yang mendirikan TNSM pada 1992 setelah berpisah dari Jamaat-e-Islami.
Sufi ditahan dan kemudian menjalani hukuman tujuh tahun dengan tuduhan melanggar hukum perbatasan.
Penahanannya mengakibatkan terbaginya TNSM menjadi dua faksi yakni faksi militan yang dipimpin oleh Maulana Fazlullah dan faksi sipil yang dipimpin oleh utusannya, Mualana Muhammad Alam hingga ia dibebaskan pada 2008.
“Beliau sedang ada dalam perjalanan dan akan segera sampai di sini, inshaAllah,” kata Maulana Alam dengan senyum lebar di mukanya setelah ia melihat mata saya berbinar karena takjub akan bertemu langsung dengan Sufi Mohammad.
“Sambil menunggu, mari duduk bersama kami,” ajak Maulana Alam dengan nada yang sangat bersahabat.
bersambung n_n ….
(Tulisan ini diambil dari catatan perjalanan Aamir Latif, salah seorang koresponden IOL di Lembah Swat)