Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
(Arrahmah.com) – Setelah kasus pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa pada acara Maulid Nabi Saw. di Mesjid Istiqlal tahun 1436 H (2015) publik Indonesia disibukkan dengan istilah baru, yaitu ‘Islam Nusantara.’ Tidak jelas benar siapa yang memulai menggunakan istilah ini. Akan tetapi istilah ini menjadi semakin populer ketika NU mengusung istilah ini untuk tema Muktamarnya yang ke-33 bulan Agustus 2015 ini” “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia.” (www.nu.or.id). Tentu saja, istilah ini butuh penjelasan dari sumbernya paling otentik.
Setidaknya, kita menemukan sambutan Said Aqil Siradj tentang istilah ini dalam acara Istighotsah menyambut Ramadhan dan Pembukaan Munas Alim Ulama NU, Ahad (14/6/2015) di Mesjid Istiqlal Jakarta. Ia katakan,“Islam Nusantara adalah Islam dengan cara pendekatan budaya, tidak menggunakan doktrin yang kaku dan keras. Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya. Berbeda dengan Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.” Ia katakan bahwa yang paling berkepentingan menjaga Islam Nusantara ini adalah NU. Dalam sambutannya, Jokowi kemudian mendukung istilah ini. Ia setuju bahwa Islam di Indonesia adalah Islam Nusantara dalam pengertian sebagaimana disampaikan oleh Said Agid Siradj, Ketum PBNU. (www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150614_indonesia_ islam-nusantara).
Sejauh menyangkut dan membawa nama NU, di NU sendiri sesungguhnya tidak semua setuju dengan istilah ini. Tokoh-tokoh NU dari Jawa Timur, dari Pesantren Sidogiri misalnya tidak setuju dengan istilah ini. Mereka sebut bahwa Islam tidak perlu pake embel-embel; Islam saja. Begitu juga mantan Ketum PBNU Hasyim Muzadi. Ia menyarankan bahwa istilah yang mestinya dipake bukan ‘Islam Nusantara’, tapi Islam Rahmatan Lil-Alamin karena itu ada di dalam Al-Quran. Kalau ditelusuri, penulis yakin bahwa di NU pasti terdapat beragam pandangan tentang istilah ini.
Azyumardi Azra berusaha menjelaskan istilah ini secara lebih bernuansa akademis. Ia malah tidak menyinggung-nyinggung soal toleransi, budaya, sopan santun, dan semisalnya tetapi menelisik doktrinnya. Ia menyimpulkan bahwa yang disebut ‘Islam Nusantara’ adalah Islam di wilayah Melayu (Asia Tenggara). Karakter doktrinalnya adalah berpaham Asy’ariyah dari segi Kalam (teologi), berfikih mazhab Syafi’i sekalipun menerima mazhab yang lainnya, dan menerima tasawuf model Imam Ghazali. Ia lalu mengkontraskannya dengan ‘Islam Arab’ yang berpaham teologi Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) dan berfikih mazhab Imam Ahmad bin Hambal yang katanya sangat rigid dan keras. Islam jenis ini menolak tasawuf karena dianggap banyak bid’ahnya. (www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/06/17/nq3f9n-islam-nusantara-1).
Penjelasan Azra ini malah mengalihkan pembicaraan awal dari Said Agil Siradj tentang istilah ini. Tentu saja, walaupun diberi penjelasan semacam ini oleh Azra, istilah ini masih belum benar-benar clear. Tulisan ini ingin mencoba menyumbang pemikiran tentang silang sengkarut istilah ini dan bagaimana seharusnya kita sebagai Muslim meyikapi masalah ini. Terlebih sudah muncul dugaan, seperti yang dilontarkan Habib Rizieq Shihab, bahwa istilah ini adalah istilah orang-orang liberal yang ingin merusak Islam. (lihat http://voa-islam.com/news/indonesiana/2015/06/17/37668/inilah-pandangan-habib-riziq-tentang-konsep-islam-nusantara/).
Istilah Rancu versi Said Agil Siradj dan Jokowi
Dari paparan singkat di atas, sebetulnya sudah tergambar bahwa istilah ini tidak memiliki konsep yang padu dan kokoh. Istilah ini cenderung dipaksakan untuk kepentingan-kepentingan politis tertentu, sekalipun Azra berusaha untuk mengembalikannya ke ranah akademik. Akan tetapi, usahanya ini pun kelihatannya hanya akan sia-sia saja. Apa yang diinginkan orang lain berbeda dengan yang dikehendakinya. Ada beberapa argumen yang dapat diungkap untuk menunjukkan bahwa konsep ini sesungguhnya rancu, tidak memiliki makna yang jelas.
Pertama, apabila yang dimaksud ‘Islam Nusantara’ adalah seperti yang disampaikan oleh Said Agil Siradj, yaitu Islam yang menjadikan “budaya” sebagai landasan dalam beragama, bukan menghilangkannya, maka pernyataan ini sesungguhnya tidak berisi sama sekali. Budaya ini sejatinya adalah sesuatu yang sifatnya dinamis, tidak statis. Apa yang dimaksud “merangkul budaya” dalam definisi Said Agil Siradj? Apakah yang dimaksud adalah baca Al-Quran dengan lagu Dandanggula? Sholat mengenakan sarung, bukan gamis? Memakai kopiah, bukan serban? Atau bagaimana? Ketika Islam datang ke suatu tempat yang dibawa adalah ajaran. Ajaran Islam itu tidak mewujud pada budaya, tapi pada teks ilahiah yang abadi, yaitu Al-Quran danSunnah. Pembawanya mungkin berbudaya tertentu seperti “Arab”, karena dia berasal dari Arab. Sebagai makhluk berbudaya, dia akan bertindak sesuai dengan kebiasaan budayanya. Pertama, ia mengenakan gamis, berbicara bahasa Arab, makan nasi mindi dan kabsyah, dan sebagainya. Itu pasti dilihat oleh orang-orang yang didatanginya. Jika yang didatanginya tidak merasa terdapat masalah, biasanya kultur itu bisa berkembang atau bahkan berakulturasi dengan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Contohnya dapat terlihat pada ‘nasi Arab’ yang menjadi makanan khas Betawi, Nasi Kebuli. Peristiwa seperti ini adalah wajar dalam setiap hubungan antar-budaya.
Pertanyaan berikutnya, apakah pertukaran budaya seperti ini tidak terjadi dalam ‘Islam Nusantara’ sebagaimana yang dimaksud oleh Said Agil Siradj? Sebagai contoh dapat dilihat pada, nama “Said Agil Siradj”. Nama “Agil” sebetulnya tertulis “Aqil”. hanya lidah orang Arab (Saudi atau Yamani) sering mengganti bunyi qhafmenjadi ghin. Nama itu adalah nama yang asing (Arab). Nama ini pun bahkan berbahasa Arab, dan bukan khas nusantara.
Contoh lain terdapat pada Nama Nadhlatul Ulama yang berbahasa Arab. Bahasa Arab dipilih daripada, misalnya, “Kebangkitan Kiai” atau yang semisalnya. Pilihannya justru malah “Nahdhatul-Ulama” yang aslinya adalah bahasa Arab; bahasa asing. Begitupun kultur seni di NU dalam budaya Shalawatan. Shalawat-shalawatyang dikenal di NU seperti Shalawat Nariyah, Shalawat Munfarijah, Shalawat Badar, dan lain-lain tidak menggunakan bahasa lokal yang dimengerti oleh masyarakat. Shalawatan ini pun diiringi musik. Peilihannya bukan kacapi-suling atau Sasando, tetapi justru Rebana, yang bukan dikenal sebagai alat musik asli daerah Melayu atau Nusantara. Rebana adalah musik padang pasir khas Arab. Begitu pula nama-nama ulama atau kiai-kiai atau para santrinya. Alih-alih kita menemukan nama-nama kiyai seperti Kiai “Suratno”, Kiai “Suparmin”, Kiai “Paijo”, Kiai “Parto” atau semisalnya, Nama para kiai hampir semuanya berbahasa Arab sangat indah dan baik. Mislanya K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Abdurrahman Wahid, K.H. Musthofa Bishri, dan sebagainya. Semua contoh-contoh diatas, terkait dengan Arab, dan amat sulit dibayangkan NU melepaskan identitasnya dari ‘Arabisasi’ yang sudah melekat selama ini menjadi karakter dan kultur NU.
Kedudukan Said Agil Siradj sebagai Ketua PBNU, dan melontarkan wacana mengenai ‘Islam Nusantara’ akan membuat masyarakat akan bingung bagaimana wujud hidup “Islam Nusantara” yang diutarakannya. Jika yang dimaksud wacana itu adalah NU, maka seharusnya tidak perlu ada sentimen terhadap ‘Islam Arab’ yang juga tidak jelas definisinya. Said Agil menyebut Islam Arab “suka berkonflik”. Pernyataan ini jelas aneh. Seharusnya ditunjukkan data statistik yang valid; berapa banyak warga Arab yang berkonflik setiap hari dan berapa banyak yang damai sehari-harinya. Jika “Islam Arab” itu ‘senang’ berkonflik, seharusnya orang Arab tidak bisa hidup normal. Dan pertanyaan yang sama dapat dilakukan juga kepada ‘Islam Nusantara’. Apa benar ‘Islam Nusantara’ tidak pernah berkonflik atau minimal tidak senang berkonflik? Kita tentu ingat insiden beberapa waktu silam, ketika, seorang tokoh yang di panggil ‘Gus’, diturunkan dari panggung saat berceramah. Sebabnya, ‘Gus’ tersebut memaki golongan lain yang tidak suka Maulid disebut “Wahabi”, biang “teroris” dan semisalnya. Apakah ini yang dimaksud dengan anti-kekerasan? Bukankah yang semacam ini adalah benih-benih timbulnya kekerasan? Istilah “Islam Nusantara sendiri, secara tidak langsung berpotensi memecah belah umat dan menimbulkan konflik.
Saya sangat berbaik sangka bahwa sebagian besar kiai NU masih berpikiran jernih dan kritis terhadap wacana ‘Islam Nusantara’. Hal ini dapat kita lihat, misalnya pada pendapat K.H. Ali Mustofa Ya’qub yang juga pengurus PBNU dan pernah juga menjadi sekretaris pribadi Gus Dur. Kiai yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal ini bisa mendudukkan masalah secara jernih (http://jejakislam.net/?p=935).
Kedua, jika kriteria Islam Nusantara, merujuk pada pendapat Presiden Joko Widodo, yaitu terkait sopan santun, maka ini lebih rancu. Apakah sopan dan santun ini hanya milik orang-orang di wilayah Nusantara? Jelas ini adalah pemaksaan istilah. Sopan santun adalah universal, meskipun terkadang ekspresi motorik sedikit beda-beda. Seandainya ‘Islam Nusantara’ hanya diberi sifat sopan santun, maka definisi ini juga harus diberikan kepada siapa saja Muslim yang berlaku sopan santun, meskipun tidak berada di belahan Nusantara. Jika orang Arab berlaku sopan santun, maka ia diharus disematkan pada definisi ini. Begitu pula Muslim Turki, India, Pakistan, Bangladesh, Amerika, dan sebagainya. Akan tetapi, tentu saja tidak akan ada yang sepakat bahwa wilayah-wilayah itu disebut “Nusantara”. Selain itu, sopan santun itu memang menjadi bagian dari ajaran Islam itu sendiri. Jika ada Muslim yang mengamalkan ajaran Islam dengan benar, maka di manapun dia berada pasti akan bersikap sopan santun.
Inkonsistensi katagori akademis versi Azyumardi Azra
Seperti sudah disebutkan di atas, selain pengertian-pengertian yang penuh tendensi politis dan pendeskriditan kepada kelompok tertentu, yang dalam hal ini tertuduhnya adalah “Wahabi”, istilah Islam Nusantara ini coba didekati secara sedikit akademik oleh Azyumadi Azra. Ia menyebut bahwa yang dimaksud ‘Islam Nusantara’ secara umum adalah “Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fikih Syafi’i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam Global.” (www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/06/17/nq3f9n-islam-nusantara-1).
Definisi ini memang terkesan lebih “dingin” dan akademik. Selain karena yang penulisnya adalah seorang akademisi populer di Indonesia, juga karena sepanjang tulisannya ia mencoba membangun argumennya tentang konsep Islam Nusantara ini dengan mengaitkannya pada kajian-kajian mengenai kajian sejarah dan kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Ia bahkan membatasi “Nusantara” dengan “Asia Tenggara”, bukan hanya Indonesia. Karyanya Jaringan Ulama timur tengah dan kepulauan nusantara abad XVII dan XVIII juga menjadi semacam garansi lain terhadap definisinya tentang ‘Islam Nusantara’ di atas. Definsisi disebutnya dengan sangat optimis menjadi harapan lahirnya peradaban Islam global. Ia menyebut ini, sambil menolak paham Islam lain yang ia sebut sebagai ‘Islam Arab’ yang dipengaruhi oleh teologi ‘Wahabi’, fikih Hambali, dan menolak tasawuf. Terhadap persoalan ini setidaknya ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan kepada Azra.
Pertama, soal keberpihakannya pada Islam yang ia sebut ber-kalam Asy’ari, fikih Syafi’i, dan tasawuf Al-Ghazali itu adalah haknya sebagai umat Islam, yang juga punya hak yang sama untuk menyetujui Islam versi mana saja sesuai dengan pemahamannya. Hanya saja, Azra melupakan satu hal penting dalam sejarah Nusantara, terutama sejarah Indonesia, yaitu tentang proses terbentuknya bangsa ini. Apakah betul sejarah Islam di negeri ini hanya dibentuk oleh ‘Islam Nusantara’ seperti yang didefinisikannya? Apakah sama sekali tidak ada kebaikan, wasathiyyah (sikap moderat) dari model Islam lain yang ada di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini rupanya luput dari analisisnya. Hal ini dapat kita uji satu per satu.
Islam yang disebutnya ‘Islam Arab’ (Wahabi-Hambali) sesungguhnya sama sekali bukan hal baru di Indonesia. Jika kita menarik hal ini pada sosok Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup pada akhir abad ke-18 (1703-1792), maka paling tidak berdekatan dengan tahun itu pemikirannya bisa saja sudah sampai ke Indonesia. Dan memang sejak abad ke-19 pun pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab ini sudah bisa dilacak jejaknya di Indonesia. Tokoh yang paling penting mendapat pengaruh ini adalah Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) dari Sumatera Barat. Secara resmi pemerintah Indonesia menganugerahkannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nmr 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Dipengaruhinya Imam Bonjol oleh ajaran Muhammad bin Abdul Wahab ini, paling tidak bisa dilacak dalam buku RO Parlidungan yang kontroversial berjudul Tuanku Rao; Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833 (1964 dan 2006). Buku ini sendiri sangat tendensius dan mendapat kritik dari Buya Hamka dalam bukunya Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1973). Namun melalui buku itu terdapat informasi menarik tentang kecenderungan mazhab yang dianut oleh Imam Bonjol, yaitu mazhab Imam Ahmad bin Hambal dengan referensi teologis dari Muhammad ibn Abdul Wahab. Apapun motif di balik pemberian gelar pahlawan kepada Tuanku Imam Bonjol, hal ini telah menunjukkan bahwa mazhab Hambali dan teologi ‘Wahabi’ adalah merupakan bagian dari sejarah pembentukan wilayah Nusantara ini.
Keterlibatan mazhab Hambali-‘Wahabi’ ini dalam sejarah Indonesia akan semakin terlihat jika selanjutnya kita menuju ke awal abad ke-20. Sejak zaman Imam Bonjol itu, tentu saja pemikiran-pemikiran mazhab Hambali-‘Wahabi’ ini terus berkembang di Indonesia seiring perkembangannya di seluruh dunia Islam, yang merangsang tumbuhnya gerakan pembaharuan Islam di Mesir (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha), India (Wahiduddin Khan), dan sebagainya. Pengaruhnya ke Indonesia umumnya melalui Mesir, yaitu melalui tulisan-tulisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manâr dan Al-Urwatul-Wutsqâ. Tulisan-tulisan tersebut sangat berpengaruh pada gerakan Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Al-Irsyad. Pertemuan Muhammadiyah dengan tokoh-tokoh murid Imam Bonjol dari Sumatera Barat yang kemudian bergabung dengan Muhammadiyah seperi Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) semakin mendekatkan Muhammadiyah kepada pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Sementara Al-Irsyad malah mendapatkan pengaruh langsung dari wilayah Hijaz dan Nejd karena Ahmad Soorkati sang pendiri adalah seorang terpelajar yang menimba ilmu dari kawasan tersebut.
Tentu saja tidak semua orang setuju dengan pemikiran-pemikiran yang sering disebut “pembaharu” ini, baik karena alasan yang sentimental maupun karena alasan yang sangat akademik dan ilmiah. Itu adalah hak setiap orang. Akan tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa pemikiran ini sudah merupakan bagian dari sejarah bangsa ini melalui para pengusungnya. Tidak ada yang bisa menyangkal keterlibatan positif Muhammadiyah, Persatuan Islam, maupun Al-Irsyad dalam kemerdekaan Indonesia. Mereka bersama-sama dengan para ulama lain dari kalangan pesantren atau yang terkadang disebut tradisionalis; berjuang, berkorban, dan sungguh-sungguh membidani lahirnya Indonesia. Sejarah tidak bisa menghapus itu; terlepas dari setuju atau tidak terhadap paham keagamaan yang mereka anut.
Bisa saja keberadaan mereka hanya sekedar ‘menumpang’ ada di Nusantara ini tanpa memberikan kontribusi penting apa-apa terhadap sejarah komunitas Muslim di wilayah kepulauan ini. Akan tetapi sejarah berbicara sebaliknya. Semenjak kedatangan mereka ke kawasan ini banyak jejak sejarah yang ditinggalkan. Hal ini terlihat dari kontribusi pada Kemerdekaan RI. Belum lagi bila kita menghitung kontribusi mereka dalam membangun sumber daya manusia Indonesia melalui lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah yang disebar ke seluruh pelosok Nusantara. Bahkan dapat dikatakan, gerakan pembaharu yang bercorak ‘Wahabi’ ini termasuk gerakan yang sejak awal menjaga umat dari serangan sekularisasi dan Kristenisasi yang dilancarkan oleh Belanda. Mereka sangat gigih menjadi benteng akidah umat ini. Di Indonesia kini, Muhammadiyah-lahpemilik universitas paling banyak, bahkan dibandingkan dengan milik pemerintah. Oleh sebab itu, jika dikatakan tidak memiliki kontribusi dalam sejarah Indonesia, jelas tidak sesuai dengan kenyataannya. Maka merujuk pada hal ini, seharusnya definsi’Islam Nusantara’ pun harus memasukkan unsur ‘Hambali-Wahabi’ sebagai bagian dari Islam yang diterima masyarakat Nusantara.
Mendefinisikan ‘Islam Nusantara’ hanya menunjuk dari kecenderungan mazhab dari sebagian kaum Muslim di Indonesia, justru hanya akan menimbulkan diskriminasi dan sikap tendensius baru yang malah memicu disintegrasi, bukan harmoni. Mungkin saja katagori yang dibuat Azra sifatnya semata-mata akademik, hendak menunjukkan corak pemikiran dan kultural Islam yang lebih dahulu datang ke kawasan ini. Akan tetapi penamaan ‘Nusantara’ sangat politis, apalagi kemudian kawasan ini telah bermetamorfosis menjadi negara-negara (Indonesia, Malaysia, Brunei, dan lainnya) yang tentu saja politis. Oleh sebab itu, istilah ini menjadi sangat mudah dipolitisir seperti dalam kasus Said Agil Siradj dan Jokowi di atas. Amat terlihat istilah “Islam Nusantara” versi di atas bermuatan sangat politis bertujuan untuk mengangkat kelompok tertentu dan menjatuhkan yang lain. Jadi, sebaiknya Azra merevisi kembali istilah yang digunakannya itu. Ia dapat menggunakan istilah lain yang juga lebih popular, seperti ‘tradisionalis’ atau semisalnya yang tidak terlalu bertendensi politis.
Sayang sekali apabila kategeori akademis berdasarkan riset panjang dari ratusan ilmuwan kemudian hanya dimanfaatkan sesaat oleh para pemain politik. Istilah yang semestinya bisa memperkaya pengetahuan tentang khazanah sejarah Islam di Indonesia ini, tiba-tiba dipandang sangat sinis, karena digunakan oleh para politisi untuk memperkeruh suasana. Seolah-olah yang baik dan bagus hanya model pemikiran Islam yang dianut para pengusungnya. Sementara kelompok lain dianggap berislam dengan model pemikiran yang buruk dan cenderung membahayakan. Tetapi saya tidak yakin bahwa Azra pun tidak berpikir politis dengan katagori akademis yang dilontarkannya.
Kedua, soal sikap wasathiyyah masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh pandangan teologis, fikih, dan sufisme yang bukan Hambali-‘Wahabi’ di Indonesia ini masih perlu diuji kembali. Persoalannya karaktermazhab seperti itu tidak hanya dianut oleh masyarakat Indonesia, melainkan juga ada di belahan dunia yang lain. Para ulama Indonesia bukan pelopor pendekatan-pendekatan keberagamaan itu. Semuanya berasal dari luar, bukan produk lokal. Oleh sebab itu, mengaitkan watak Muslim Indonesia yang toleran dan tidak senang pada kekerasan—klaim ini juga perlu diuji kembali di lapangan—semata-mata dengan anutan mazhab tertentu, menjadi tidak relevan. Jika pegangan mazhab yang menjadi penyebabnya, seharusnya, Muslim di negara lain pun yang berpegang pada mazhab yang sama harus diakui kebaikannya, bukan malah dicela dan direndahkan. Perhatikan petikan bagaimana Azra lebih memuji ekspresi Islam model Indonesia dibandingkan Brunei dan Malaysia yang dikooptasi oleh Negara. Padahal menurutnya kedua negara ini sama-sama ‘Islam Nusantara’ seperti dalam definisinya. (Lihat selengkapnya dalamwww.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/06/25/nqgl54-islam-nusantara-islam-indonesia-2).
Dari pemaparan Azra pada artikel keduanya di Republika ini, terjadi lompatan pemikiran zig-zag dalam analisisnya. Di satu sisi, ia menyebut toleran dan demokratisnya Muslim Indonesia karena mazhab yang dianutnya, tetapi saat menyebut Malaysia dan Brunai, ia berdalih di dalam ‘Islam Nusantara’ itu sendiri terdapat variasi pemikiran. Azra sekali lagi melupakan hal sangat mendasar dalam sejarah Indonesia. Sebelum menjadi negara Republik, wilayah-wilayah di Indonesia ini juga sama seperti wilayah di Malaysia dan Brunei, yaitu berbentuk kerajaan. Jika mau sedikit membuka cakrawala, Azra akan bertemu dengan kenyataan bahwa gelombang pembaharuan Islam di Indonesia lebih kencang dibandingkan dengan Malaysia dan Brunai. Gagasan-gagasan pembaharuan inilah yang telah memungkinkan Indonesia mengambil model kenegaraan sistem Republik, yang oleh Azra dipandang lebih baik dibandingkan Malaysia dan Brunei. Kontribusi kalangantradisionalis dalam mewujudkan Indonesia seperti sekarang ini, memang tidak sedikit, tetapi gagasan awal tentang Indonesia tidak ditemukan dalam karya-karya mereka. Baru setelah kalangan pembaharu yang terpengaruh Hambali-‘Wahabi’ seperti KH Ahmad Dahlan, H. Agus Salim, Mohammad Natsir, dan lainnya, dari kalangan pembaharu mencoba memberikan alternatif pemikiran tentang Indonesia dari dominasi pemikiran aktivis sekuler yang didukung Belanda. Para tokoh kalangan tradisionalis yang bermazhab Syafi’i-Asy’ari juga turut memperkuatnya dengan pemikiran khas mereka yang berakar pada fikih-fikih siyasah klasik.
Ekspresi Islam di Indonesia yang dibanggakan oleh Azra ini sesungguhnya adalah hasil simbiosis mutualisme antara kelompok bermazhab Hambali-‘Wahabi’ dengan Syafi’i-Asy’ari sejak keduanya bertemu di negeri ini hampir dua abad silam. Terlebih bila Azra mecermati sejarah Indonesia setelah kemerdekaan. Kedua kelompok ini sama-sama dominan dalam memelihara dan menyebarkan dakwah Islam. Pesantren-pesantren Syafi’i-Asy’ari tetap kokoh dalam melindungi umat dari usaha-usaha de-Islamisasi dari berbagai penjuru. Jumlah pesantren ini juga terus bertambah seiring dengan kaderisasi yang terus berjalan. Tapi jangan dilupakan bahwa komunitas kelas menengah Muslim perkotaan banyak mendapatkan pencerahan dakwah Islam dari pada da’i Wahabi-‘Hambali’ dengan afiliasi organisasi masing-masing. Semaraknya dakwah di kampus-kampus sekuler yang sebelumnya sangat anti-Islam juga hasil karya kelompok ini. Bila kenyataan ini dinafikan, maka Azra sebagai seorang sejarawan telah mengkhianati ilmunya sendiri. Islamisasi pasca-Indonesia merdeka yang banyak digagas oleh kelompok Wahabi-‘Hambali’ ini ini dapat rujuk dalam buku M.C. Riclefs Mengislamkan Jawa (2014).
Jika melirik kasus Malysia dan Brunei, justru seharusnya Azra mencabut klaimnya tentang pengaruh Syafi’i-Asy’ari dalam memunculkan sikap toleran dan moderatnya kaum Muslim Indonesia. Di Malysia dan Brunai perkembangan paham Wahabi-‘Hambali’ malah dikebiri. Kalaupun ada, jumlahnya tidak signifikan dan tidak sampai berani mendirikan ormas-ormas besar seperti di Indonesia. Mereka bergerak di bawah tanah dan cenderung sembunyi-sembunyi. Ulama mereka tidak mendapatkan izin untuk berceramah secara terbuka. Sebagian buku-buku mereka juga dilarang beredar. Sikap seperti ini saya yakin tidak pernah disetujui Azra sebagai sikap wasathiyyah. Bukankah dengan melihat kenyataan ini, justru logika sederhana akan mengatakan bahwa wasathiyah-nya Muslim Indonesia karena hasil pertemuan harmonis antara kaum Muslim bermazhab Syafi’i Asy’ari dengan yang bermazhab ‘Wahabi’-Hambali?
Islam Nusantara; Ada apa?
Setelah menelisik konsep-konsep ‘Islam Nusantara’ di atas, satu hal yang sudah pasti bisa disimpulkan, yaitu bahwa konsep ‘Islam Nusantara’ ini sesungguhnya konsep yang belum jelas. Tidak ada definisi yang disepakati bersama. Masing-masing orang dapat menyebut istilah ‘Islam Nusantara’ dengan definisinya masing-masing. Sekalipun dikatakan istilah ini bukan baru, namun tetap saja tidak ada definisi yang jelas. Juga sekalipun ada istilah yang—konon—dianggap akademik, namun istilah itu tidak disepakati juga oleh pengguna yang lain. Alhasil, istilah ini adalah istilah yang semestinya tidak perlu digunakan, apalagi secara massif di ruang publik.
Dampak ketidakjelasan makna dari istilah ‘Islam Nusantara’ ini akan mudah digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengadu domba sesama umat Islam. Aroma adu domba ini tercium cukup menyengat dalam kasus istilah ‘Islam Nusantara’ saat ini. Satu kelompok umat hendak dibenturkan dengan kelompok lain; dalam hal ini kelompok tradisionalis seperti NU, Habaib, dan lainnya hendak dibenturkan dengan modernis-‘Wahabi’ seperti Muhammadiyah, Persis, Salafi, dan sebagainya. Walaupun kita tidak menutup mata bahwa ada sedikit perbedaan metodologis di dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam yang pokok (Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.), namun kedua kelompok ini sesungguhnya sama-sama mengakarkan diri pada dua sumber itu. Ini berbeda dengan Syiah, misalnya, yang sama sekali menolak Sunnah Rasulullah Saw. bila tidak sesuai dengan doktrin Imamah yang mereka yakini. Oleh sebab itu, bila kedua kelompok ini dipertentangkan, apalagi berhasil diprovokasi untuk saling menyerang satu dengan yang lainnya, maka kekuatan utama umat Islam akan melemah. Di tengah kelemahan itu, pasti akan ada yang bermain memanfaatkannya.
Siapakah yang akan mengambil untung dari pertikaian umat Islam ini? Menunjuk secara langsung memang diperlukan bukti. Akan tetapi, bila melihat gelagat gerakan Syiah yang terus sangat bersemangat melakukan ekspansi di Indonesia, tampaknya terbuka kemungkinan kelompok ini yang akan memanfaatkan pertikaian di kalangan Sunni. Mereka berusaha untuk menanamkan pengaruh dengan strategi belah bambu: menginjak yang satu dan mengangkat yang lain. Selama ini dengan sangat serius Syiah melakukan pendekatan ke kalangan NU. Berbagai cara mereka lakukan untuk menyatakan bahwa Syiah bukan merupakan musuh dan ancaman bagi NU. Sebaliknya, mereka mengklaim, Syiah justru secara kultural sama dengan NU (meski kenyataannya tidak demikian). Di tempat yang lain, Syiah-Iranian ini mendeklarasikan permusuhannya dengan ‘Wahabi’ yang memang sangat keras menentang Syiah, baik secara ideologi maupun politik. Syiah pandai memanfaatkan ‘luka lama’ NU, yang sejak Kerajaan Saudi Arabia menguasai Hijaz tahun 1924 merasa tidak diakomodasi kepentingan keagamaan mereka oleh penguasa baru yang menjadi pendukung utama pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab. Di pihak lain, sebagian kecil kelompok pendukung Muhammad ibn Abdul Wahab sangat kasar dan serampangan dalam menyerang praktik-praktik keagamaan NU dan kalangan tradisionalislainnya. Tindakan ini menyebabkan komunikasi NU-‘Wahabi’ yang sama-sama Sunni menjadi terhambat, sementara Syiah mencoba untuk tidak mengambil posisi menyerang NU, walaupun seacara ideologi sesungguhnya di antara mereka sangat berbeda. Alhasil, dipandang sisi komunikasi, Syiah dapat memenangkan hati NU, sementara kalangan ‘Wahabi’ malah meruncing pertentangannya dengan NU.
Jika analisis ini benar, maka umat Islam patut mengevaluasi kembali gerak dan langkah mereka dalam berdakwah. Masing-masing harus menahan diri untuk tidak saling menyerang dan terlalu membesar-besarkan perbedaan furu’iyyah yang memang sangat senang dijadikan bahan pembicaraan kalangan awam. Selain itu, kedua belah pihak, baik NU maupun ‘Wahabi’ harus lebih banyak melakukan dialog dan komunikasi dalam kerangka ukhuwwah Islamiyah sehingga perkara-perkara cabang tidak mudah dimanfaatkan orang lain untuk memperkeruh kerukunan di antara umat Islam sendiri. Wallâhu A’lam bi Al-Shawwab.
*Doktor Sejarah Universitas Indonesia dan Penasehat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
(jejakislam.net/arrahmah.com)