Oleh: Ustadz Irfan S Awwas.
(Arrahmah.com) – Mengapa aktifitas terorisme di Indonesia seakan beranak pinak, bahkan bermetamorfose menjadi petualang teroris yang sulit diberantas? Benarkah, kesalahan terjemah Al-Qur’an versi Departemen Agama RI, berkontribusi besar menyemai bibit terorisme? Atau ideologi teroris lahir akibat ketidak adilan ekonomi, dan kebiadaban Densus 88 yang gemar mempertontonkan mayat terduga teroris yang diseret dijalanan tanpa prikemanusiaan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas terdengar ironi, terutama bila dikaitkan dengan peristiwa Bom Jum’at di Masjid Az-Dzikra, Kompleks Mapolresta Cirebon, 15 April 2011 lalu. Tragedi bom Jum’at, terjadi sekitar pukul 12.17 WIB disaat khatib menyelesaikan khutbah Jum’at. Saat khatib turun mimbar, pelaku maju ke shaf kedua berjejer dengan Kapolresta Cirebon, AKBP Herukoco. Dan saat takbiratul ihram, bom di tubuh pelaku meledak hingga menewaskan pelaku dan melukai puluhan jamaah shalat Jum’at, termasuk Kapolresta Cirebon.
Dalam keterangan kepolisian berdasarkan tes DNA, ciri-ciri tubuh dan kesaksian keluarga, pelaku bom bernama Muhammad Syarif, seorang yang memiliki semangat keagamaan yang tinggi, tapi lemah pengetahuan agama.
Adalah mustahil, tanpa pemicu ideologi kemarahan, seorang Muslim nekad melakukan tindakan kamikaze, meledakkan bom di depan mihrab masjid di saat hendak menunaikan shalat Jum’at. Sebab, Al-Qur’an melarang merusak tempat ibadah, sekalipun tempat ibadah non Islam, sebagaimana firman Allah: “….Sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (Qs. 22: 40).
Lalu, bagaimana meluruskan terorisme berbasis agama, tanpa deradikalisasi yang mendiskreditkan syari’at Islam? Tulisan di bawah ini, mencoba mengurai benang kusut ideologi teroris berbasis agama, berdasarkan telaah serius terhadap terjemah harfiyah ‘Al-Qur’an dan Terjemahnya’ yang diterbitkan Departemen Agama RI. Dalam kaitan ini, akan diuraikan kesalahan terjemah ayat Qur’an, bukan kesalahan tafsir, oleh tim penerjemah Depag RI, menggunakan metode komparasi dengan terjamah tafsiriyah.
Ideologi Teroris
Jika Muhammad Syarif dan mereka yang sepaham dengannya, melakukan tindakan kamikaze, meledakkan bom untuk membunuh sasaran yang diklaim sebagai musuh, dan merasa mendapat pembenaran dari kitab suci Al-Qur’an. Bukan karena Al-Qur’an memerintahkan demikian, melainkan karena terjemahan yang salah terhadap ayat Qur’an, lalu siapa yang bertanggungjawab? Pemerintah, Majelis Ulama, tokoh-tokoh Islam, adalah yang paling bertanggungjawab, karena membiarkan terjemah Qur’an yang salah beredar bebas, tanpa koreksi.
Tidak diragukan lagi, mayoritas umat Islam bangsa Indonesia memahami Al-Qur’an melalui terjemahan. Dan terjemah Al-Qur’an yang paling otoritatif secara kenegaraan adalah Qur’an Terjemah yang dipublikasikan oleh Departemen Agama. Hampir semua terjemah Qur’an di Indonesia merujuk pada Al-Qur’an dan Terjemahnya versi Depag.
Namun, setelah melakukan penelitian dan kajian seksama terhadap Al Qur’an dan Terjemahnya versi Depag RI, yang dilakukan Amir Majelis Mujahidin Muhammad Thalib, ditemukan banyak kekeliruan dan penyimpangan yang sangat fatal dan berbahaya; baik ditinjau dari segi makna lafadh secara harfiyah, makna lafadh dalam susunan kalimat, makna majazy atau haqiqi, juga tinjauan tanasubul ayah, asbabun nuzul, balaghah, penjelasan ayat dengan ayat, penjelasan hadits, penjelasan sahabat, sejarah dan tata bahasa Arab.
Alih-alih meluruskan pemahaman kaum Muslimin Indonesia, justru terjemah Qur’an ini mengandung kesalahan yang dapat menimbulkan salah faham terhadap kitab suci umat Islam; seolah-olah Al-Qur’an melegalkan terorisme dan menebarkan kebencian pada pihak lain.
Dan inilah yang kerap diisukan oleh aparat intelijen dan agitator liberal untuk meneriakkan ketakutan, perasaan terancam sebagai cermin dari sikap paranoid terhadap tuntutan penegakan syari’at Islam. Seakan terorisme yang berkembang di Indonesia secara simplistik dianggap buah dari pemahaman radikalisme Islam. Dari simplikasi tersebut muncul kategorisasi Islam moderat versus Islam radikal, sikap eksklusif vs inklusif, ideologi nasional vs transnasional dsbnya.
Secara prinsipil, terdapat ratusan terjemah ayat Qur’an, berkaitan dengan aqidah, ekonomi, hubungan sosial antar pemeluk agama, dan jihad, yang berpotensi memicu radikalisasi teroris. Sinyal berbahaya ini dapat dikemukakan beberapa ayat yang diterjemahkan secara salah, antara lain:
Pertama, “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah)….” (Qs. 2:191)
Kata waqtuluhum, yang diterjemahkan bunuhlah, dalam bahasa Indonesia berkonotasi individual, bukan antar umat Islam dengan golongan kafir. Jelas, terjemah harfiah semacam ini sangat membahayakan hubungan sosial antar umat beragama. Seolah-olah setiap orang Islam boleh membunuh orang kafir yang memusuhi Islam di mana saja dan kapan saja dijumpai.
Kalimat “bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka” dapat dipahami bahwa membunuh musuh di luar medan perang dibolehkan. Jika pemahaman ini diterjemahkan dalam bentuk tindakan, maka sangat berbahaya bagi ketenteraman dan keselamatan kehidupan masyarakat, karena pembunuhan terhadap musuh di luar medan perang sudah pasti menciptakan anarkhisme dan teror. Dan ini bertentangan dengan syari’at Islam. Oleh karena itu terjemahan yang benar, secara tafsiriyah adalah:
“Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian di mana pun kalian temui mereka di medan perang dan dalam masa perang. Usirlah musuh-musuh kalian dari negeri tempat kalian dahulu diusir…”
Kedua, pada tarjamah harfiyah Depag: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan.” (Qs. 9:5).
Kesalahan yang sama juga ditemukan pada terjemah Qs. 9:29. Apabila orang yang tidak memahami ajaran Islam, mengamalkan ayat ini sesuai terjemah Qur’an Depag, niscaya dapat mengancam hubungan sosial Muslim dengan Non muslim. Karena, setelah lewat bulan-bulan haram, yaitu bulan Sya’ban, Dzulqa’idah, Dzuhijjah dan Muharram, setiap orang dapat berbuat sesuka hatinya untuk membunuh siapa saja yang dianggap musuh Islam dari golongan musyrik, baik di Makkah maupun di luar Makkah.
Padahal, perintah dalam ayat ini adalah untuk memerangi kaum musyrik di kota Makkah yang mengganggu dan memerangi Rasulullah Saw. dan para sahabat. Jadi, bukan perintah membunuh, tetapi memerangi. Membunuh dapat dilakukan oleh perorangan tanpa perlu ada komando dan pengumuman kepada musuh. Sedangkan perang wajib terlebih dahulu diumumkan kepada musuh dan dilakukan di bawah komando khalifah atau kepala negara.
Maka terjemah tafsiriyahnya adalah: “Wahai kaum mukmin, apabila bulan-bulan haram telah berlalu, maka perangilah kaum musyrik Makkah yang tidak mempunyai perjanjian damai dengan kalian di mana saja kalian temui mereka di tanah Haram. Perangilah mereka, kepunglah mereka, kuasailah mereka, dan awasilah mereka dari segenap penjuru di tanah Haram. Jika kaum musyrik Makkah itu bertobat, lalu melakukan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya.
Ketiga, tarjamah Harfiyah Depag: « Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”. (Qs. 29:6)
Kata jihad secara umum berkonotasi ofensif, menyerang pihak lain. Padahal ayat ini turun pada fase Makkah, bersifat defensif, belum diperintahkan menyerang pihak lain yang memusuhi Islam. Karena itu, kata jihad dalam ayat ini harus dibatasi pengertiannya secara khusus, yaitu berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsu.
Bila kata jihad pada ayat ini dipahami sebagai tindakan ofensif, menyalahi fakta sejarah Nabi saw. di Makkah, dan bisa menimbulkan sikap agresif kepada kalangan Nonmuslim dalam masyarakat.
Maka tarjamah tafsiriyahnya: “Siapa saja yang berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri. Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan amal kebaikan semua manusia.”
Adalah penting disadari, bahwa maraknya berbagai aliran sesat yang mengatasnamakan agama, berupa radikalisme, termasuk liberalisme, dan tekstualisme, dikhawatirkan sebagai dampak negatif dari penerjemahan Al Qur’an yang salah ini.
Maka, kewajiban pemerintahlah mengoreksi dan meluruskan terjemah Al-Qur’an ini, dan menghentikan peredaran Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan Depag; supaya mereka yang anti Qur’an tidak mempersepsikan ayat-ayat di atas sebagai pemicu terorisme. Dan bagi generasi Muslim militan, tidak memosisikan ayat tadi sebagai pemebenaran atas tindakan teror yang marak di negeri ini. Wallahu a’lam bis shawab!
Jogjakarta, 17 April 2011
Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Markaz Pusat Majelis Mujahidin
Jl. Karanglo No. 94, Kotagede, Jogjakarta
Telp/ Hp. 0274-451665/ 08122761569