Oleh: H. Abdul Chair Ramadhan , SH, MH.
(Arrahmah.com) – Terdakwa kasus pidana penodaaan agama Basuki TP alias Ahok dan penasehat hukumnya membacakan eksepsi atau bantahan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum pada sidang perdana di PN Jakarta Utara, Selasa (13/12/2016). H. Abdul Chair Ramadhan , SH, MH dari komisi Hukum MUI memberikan beberapa catatan, berikut selengkapnya.
1. Eksepsi tidak fokus. Eksepsi lebih ke arah pembelaan (pledoi). Sangat sedikit menguraikan tentaang adanya dakwaan Penuntu Umum yang kabur (abscur libel) dll, sebagai syarat eksepsi.
2. Ahok menyatakan tidak ada niat (mens rea) dan tidak bermaksud utk menista agama. Dia maksudkan kepada lawan-lawan politiknya yang tidak bisa bersaing dalam program. Hal ini tidak sesuai, bukankah pada tanggal tersebut belum masuk waktu kampanye dan bahkan belum ditetapkan Calon oleh KPUD?
3. Dia juga nyatakan telah menanyakan tentang asbabun nuzul kepada teman-temanya tentang maksud Al Maidah : 51. Hal ini tidak dapat dibenarkan, dia tidak ada legal standing utk menjelaskan surah Al Maidah 51 karena ia tidak mengimani Al Quran dan dia bukan bersama Islam, sehingga bagaimana mungkin dia dapat mengetahui makna yang sebenarnya.
4. Penasehat hukum tidak relevan dengan menyebut video yang diunggah oleh Buni Yuni, karena sudah dilakukan uji Labfor oleh penyidik dan hasilnya sah sebagai barang bukti.
5.Penasehat hukum tidak relevan dengan mengaitkan Aksi Bela Islam terkait dengan tuntutan keadilan dalam proses penegakan hukum. Adalah sah dan dijamin UU setiap warga negara menyampaikan pendapat dan menuntut keadilan.
6. Cepatnya proses sidik dan pelimpahan ke PN tidaklah menyalahi hukum acara pidana. Tahapan penyelidikan samapai dengan gelar perkara sudah memenuhi ketentuan. Penetapan tersangka juga sudah sesuai dengan hukum acara, dengan didahului oleh adanya 2 alat bukti yang sah serta sudah dilakukan gelar perkara penyidikan seusai gelar perkara penyelidikan.
7. Penasehat hukum menyatakan bahwa harus diterapkan prinsip Ultimum Remedium. Penasehat hukum telah salah mengaitkan asas ini, terlebih lagi dikaitkan dng SKB dalam penerapan Pasal 156a huruf a KUHP. Apalagi disebut Pasal 156a adalah delik materil. Perlu diketahui prinsip Ultimum Remedium baru dikenal baru-baru ini, sebagaimana diterapkan dlm UU Lingkungan Hidup, jadi tidak ada kaitannya dng UU 1 PNPS 1965. Adapun SKB hanya dapat diterapkan utk penyalahgunaan terhadap ajaran agama yg menyimpang dari suatu aliran sesat yang menyerupai ajaran agama yang bersangkutan. Untuk penodaan tidak perlu SKB. Sifat delik pada Pasal 156a adalah delik formil jadi tidak membutuhkan adanya akibat sebgamana delik materil.
8. PH mengaitkan asas Restoratif Justice juga tidak relevan. Ini teori dari Jhon Rawls yang tidak terkait dengan delik agama, lebih tepat teori ini untuk pemidanaan terhadap tindak pidana lingkungan hidup.
9. Penasehat hukum menyatakan huruf b pada Pasal 156a KUHP harus dibuktikan karena sifat delik adalah kumulatif. Ini menunjukkan bahwa PH tdk mengerti struktur Pasal 156a dan tdk mengerti nuansa kebatinan – histories Yuridis – masuknya Pasal 156a dlm KUHP. Pasal 156a adalah alternatif, oleh karena itu ada 2 Kejahatan yang diatur yakni huruf a atau huruf b. Dalam huruf a juga berlaku alternatif perbuatan (actus reus), permusuhan atau penyalahgunaan atau penodaan.
10. Penasehat hukum menyebut tidak ada kejelasan tentang Subject Korban. Perlu dicatat bahwa Perbuatan Pidana pada Pasal 156a huruf a tidak mensyaratkan subject korban adalah manusia tetapi agama itu sendiri salah satunya Kitab Suci. Adapun Pasal 156 KUHP subjecnya sangat jelas yakni golongan penduduk yang salah satunya berdasarkan agama.
(*/arrahmah.com)