SRINAGAR (Arrahmah.com) – Sudah 44 hari mantan petugas polisi khusus, Sayeema Akhter (30), dipenjara polisi India dengan dakwaan terorisme karena menolak pasukan militer yang masuk untuk menggeledahnya rumah.
Tuduhan terorisme bermula ketika malam pertama bulan Ramadhan (14/4/2021), Sayeema dan kedua orang tua yaitu ibunya yang sedang sakit kanker, Jawahira Bano, dan bapaknya, Ghulam Nabi Rah, sedang bersiap untuk melaksanakan ibadah sahur pertama.
Saat itu rumah Sayeema dipukul-pukul keras dan diteriaki aparat setempat. Sayeema hanya membuka jendela dan mencoba agar tentara tidak masuk rumah mereka karena ibunya sedang sakit dan sedang mencoba melakukan sahur.
Namun tentara pendudukan India tidak menerima alasan Sayeema karena saat itu mereka sedang mencari anggota kelompok pembebasan Kashmir yang diklaim ada di sekitar kota.
Dilansir Article-14.com (30/5), menurut ibunya Sayeema, pengepungan itu merupakan kelima kalinya dalam lebih dari enam bulan. MIliter terus mencurigai Sayeema terlibat terorisme karena memeiliki sejarah pernah dipinang oleh seorang anggota kelompok pembebasan Kashmir.
Tanpa mempedulikan kesehatan pemilik rumah, 10 sampai 15 tentara masuk ke rumah Sayeema dengan sepatu mereka. Kejadian itu membuat pingsan Bano yang sedang menjalani kemoterapi.
Sayeema marah atas hal itu dan berteriak. “Ketika tidak ada militan di dalam, lalu mengapa kalian datang ke rumah kami lagi dan lagi,” terdengar Akhter berkata.
“Kashmir hamara hai … aap kahan se aate ho .. ham darne walon mai se nahi hai (Kashmir adalah milik kami … dari mana asalmu … kami tidak termasuk orang yang takut),” teriak Sayeema.
“Putri saya baru saja membersihkan seluruh rumah pada hari sebelumnya. Dia sangat marah ketika mereka mulai main-main, ” kata Bano, ibunya Sayeema. “Saat aku pingsan, dia mengira aku sudah mati, mungkin itulah yang membuatnya marah.”
Akibatnya, saat ini Sayeema dikirim ke penjara pusat Srinagar, 70 km dari Frisal.
Di Kashmir, penerapan UAPA seringkali tidak proporsional tetapi juga sewenang-wenang, kata Habeel Iqbal, seorang pengacara dari Kashmir selatan.
“Menuduh seorang adalah teroris menjadi seperti kebiasaan di Kashmir,” kata Iqbal, menambahkan bahwa hukum sudah tidak berlaku berlaku di sana.
Berdasarkan undang-undang ini, polisi dapat menangkap selama enam bulan — tanpa pengadilan atau jaminan — siapa pun yang mereka anggap mampu melakukan kejahatan di masa depan.
Bersamaan dengan Public Safety Act (PSA) 1978, sebuah undang-undang yang mengizinkan penahanan hingga dua tahun tanpa pengadilan bagi mereka, UAPA telah digunakan untuk menekan dan menakut-nakuti sejumlah warga Kashmir, termasuk jurnalis, pelajar dan lainnya. (hanoum/arrahmah.com)