Oleh : Dra. Irianti Aminatun
(Arrahmah.com) – Krisis multidimensi yang terjadi di Papua tak kunjung menemukan solusi. Ada banyak pihak yang berkepentingan terhadap Papua menyebabkan konflik yang terjadi di sana tak kunjung berakhir. Kesalahan tata kelola, kemiskinan, keinginan untuk merdeka, campur tangan asing, satu sama lain saling berkelindan yang menyebabkan persoalan semakin rumit. Diperlukan konsep yang benar untuk menyelesaikan masalah Papua ini agar konflik segera berakhir, dan rakyat hidup damai dan sejahtera.
Papua di Mata Benny Wenda
“Kami siap untuk mengambil alih wilayah kami, dan kami tidak akan lagi tunduk pada aturan militer ilegal Jakarta. Mulai hari ini, 1 Desember 2020, kami mulai menerapkan konstitusi kami sendiri dan mengklaim kembali tanah kedaulatan kami”.
Itulah pernyataan Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda di lamannya saat mengumumkan pembentukan “Pemerintah Sementara West Papua.”
Menurut Wenda, Pemerintah Sementara ini memiliki konstitusi, hukum, dan pemerintahan sendiri sekarang. Maka saatnya negara Indonesia angkat kaki, karena kehadiran negara Indonesia di Papua Barat adalah ilegal.
Pemerintahan Sementara sendiri dibentuk untuk mencapai referendum dan Papua Barat Merdeka. Mereka memimpikan Republik Papua Barat di masa depan akan menjadi “negara hijau” pertama di dunia.
Papua, wilayah kaya tapi penduduknya miskin
Di bumi Cenderawasih tersimpan cadangan sebesar 106,2 juta ton emas. Memang sudah awam diketahui, cadangan emas di tambang atas tanah Grasberg diperkirakan akan habis pada 2021. Namun para ahli menyebutkan cadangan emas masih melimpah di bawah tanah di lokasi penambangan milik Freeport Indonesia. Diperkirakan cadangan emas di sana baru akan habis sampai 2060 nanti. Sektor pertambangan Papua mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% perekonomian Papua. Papua juga kaya dengan flora dan fauna, serta kekayaan tambang lainnya.
Ironinya, kekayaan yang melimpah tersebut tak lantas membuat rakyat Papua yang telah bergabung dengan NKRI sejak 1963 itu sejahtera. Kemiskinan tetap mendera. Tak bisa dipungkiri, Papua telah lama menjadi daerah termiskin di Indonesia. Prosentase kemiskinannya mencapai 26,55 persen, disusul Papua Barat 21,51 persen.
Demikian pula Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-nya. IPM Nasional 2019 mencapai 71,92 sedangkan propinsi Papua hanya 60,84. Untuk tingkat kota/kabupaten, IPM nya di duga hanya 30,75 (MuslimahNews.com 3/12/2020).
Kesalahan tata Kelola
Tugas utama negara adalah mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu, tapi seluruh rakyat.
Faktanya, sudah tujuh rezim berganti, persoalan Papua tak beranjak dari masalah ekonomi yang berlanjut pada masalah politik dan keamanan. Pilihan pada sistem ekonomi kapitalis untuk mengelola kekayaan alam di Papua, terbukti tak mampu mensejahterakan masyarakat.
Dalam pengelolaan barang tambang misalnya, besarnya potensi tambang di Papua, ditambah aturan aturan yang menguntungkan, Indonesia dengan mudah menarik investor asing untuk menanamkan modalnya. Tahun 1967 PT Freeport Indonesia memulai dengan Kontrak Karya generai l (KK l) untuk konsesi selama 30 tahun. Selama itu PT Freeport Indonesia boleh mengimpor semua peralatannya. Dengan kata lain tidak wajib menggunakan produksi dalam negeri. Dan pemerintah Indonsia hampir tak mendapatkan kompensasi apapun.
Setelah kondisi politik dan perekonomian Indonesia mulai stabil, Pemerintah Indonesia – dalam rangka menarik investor asing – memberikan insentif bebas pajak dan royalti yang tidak terlalu besar. Maka tercatat 16 perusahaan asing ikut dalam Kontrak Karya ll.
Berikutnya pada Kontrak Karya lll Pemerintah Indonesia mulai menerapkan pajak ekspor US$ 0,025 – 0,7 per metrik ton bijih tembaga, pajak penghasilan 35% dan harus menyisihkan 10% saham bagi mitra lokal. Selama periode 1977 – 1985 ada sekitar 13 perusahaan mendapatkan Kontrak Karya lll.
Pada Kontrak Karya lV Pemerintah mulai mengendurkan persyaratan kembali, diantaranya tidak harus menyisihkan saham ke mitra lokal. Pada Kontrak Karya IV ini ada 95 perusahaan telah masuk (SWA Sembada, Juni-Juli, 1997).
Pada 1988, secara tak terduga Freeport Indonesia menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72 juta tons. Kemudian mereka mengajukan pembaruah Kontrak Karya selama 30 tahun dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. Freepot Indonesia mendapat Kontrak Karya V bersama 6 perusahaan tambang lainnya.
Meski demikian royalti yang diberikan Freeport Indonesia kepada pemerintah tidak berubah. Hanya 1 – 3,5%, sehingga penerimaan pemerintah dari pajak, royalti dan deviden Freeport Indonesia hanya US$ 479 juta (SWA Sembada 1997). Jumlah itu tentu sangat kecil dibanding dengan pendapatan yang diperoleh Freeport Indonesia sekitar US$ 1,5 milyar (tahun 1996), yang dipotong 1 % untuk dana pembangunan masyarakat Irian.
Tahun 2018. Pemerintah Indonesia mengklaim berhasil menguasai PT Freeport Indonesia dengan meningkatkan kepemilikan saham perusahaan menjadi 51,2 persen. Namun klaim ini justru menjadi polemik panjang.
Direktur Eksekutif Indonesian resources Studies (IRESS), Marwan Batubara malah mengecam keberhasilan Pemerintah mencaplok Freeport. Alasannya, ada unsur kebohongan yang disampaikan kepada masyarakat. “Keberhasilannya, dikecam saya bilang. Untuk rakyat yang ngga ngerti, kan kampanye berhasil mengembalikan ke Ibu Pertiwi, padahal waktu itu masih Head of Agreement (HoA)” (JawaPos, selasa 25/12/2020).
Dari data-data di atas dapat dilihat bahwa mulai dari Kontrak Karya l sampai Kontrak Karya V telah seratus lebih perusahaan-perusahaan swasta yang telah mengeruk kekayaan bumi Papua. Alam menjadi rusak, rakyat pun tetap miskin.
Demikian pun dengan manuver Jokowi meresmikan Jembatan Holtekamp, Jayapura pada 26 November 2019 lalu yang digadang-gadang akan mendongkrak kawasan perbatasan Skouw sebagai embrio pusat pertumbuhan ekonomi, nyatanya tak menunjukkan hasil signifikan. Kesalahan tatakelola ekonomi ini memunculkan masalah ekonomi yang berlanjut pada masalah politik dan keamanan.
Asing Ikut Bermain
Yang paling punya kepentingan terhadap papua adalah Amerika, sebab di papua ada Freeport yang mengelola tambang emas terbesar di dunia. Jika Papua merdeka tentu akan lebih mudah bagi korporasi global untuk bertransaksi dengan ‘negara baru’ Papua dari pada dengan Pemerintah Indonesia yang sudah lebih mapan.
Julie Sartoni dalam blogspotnya menulis, Sejak pertengahan 2000-an, US House of Representatives, telah mengagendakan agar DPR Amerika mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT (FRAA) yang secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua, sebagai pintu masuk menuju Papua Merdeka.
Melalui FRAA ini, Amerika akan melakukan serangkaian operasi politik dan diplomasi yang target akhirnya adalah meyakinkan pihak Indonesia untuk melepaskan, atau setidaknya mengkondisikan adanya otonomi khusus bagi Papua, untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada warga papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pemerintah Republik Indonesia memberikan otonomi khusus bagi Papua melalui UU Nomor 21 Tahun 2001. Kemudian mengeluarkan Keppres nomor 20/2020 tertanggal 20 September 2020 sebagai dasar otonomi khusus (otsus) kedua untuk Papua.
Bagi Amerika Papua merdeka atau tidak tergantung dari Pemerintah Indonesia. Apabila Indonesia masih bisa memenuhi kepentingan Amerika di Papua, maka kemerdekaan Papua itu akan ditahan, sebaliknya apabila pemerintah Indonesia tidak bisa memenuhi kepentingan Amerika di Papua, maka Papua akan dimerdekakan.
Negara lain yang ikut bermain di Papua antara lain Inggris, Belanda, dan Jerman yang masing-masing memiliki kepentingan.
Mencari Solusi Tuntas bagi Papua
Papua merdeka bukanlah solusi jitu untuk menyelesaikan masalah Papua. Secara konseptual sistem Islam adalah solusi yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah Papua ini.
Khilafah Islam benar-benar akan mampu mewujudkan kesejahteraan yang menjadi impian setiap bangsa. Kekayaan yang berasal dari bumi Papua tidak akan dibiarkan dikuasai asing, bahkan untuk sekedar di eksplorasi korporasi asing.
Dalam pandangan Islam barang tambang yang jumlahnya melimpah seperti tambang emas di Gasberg adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat. Paradigma pengelolaan sumber daya alam milik umum yang berbasis swasta harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara.
Jika tambang emas di Gasberg dikelola dengan state based management , hasilnya akan lebih dari cukup untuk mensejahterakan rakyat Papua. Dengan syariat islam bahkan jika pun tanah Papua tidak kaya, mereka tetap akan mendapatkan limpahan kesejahteraan, karena kepengurusan ekonomi dalam sistem islam bersifat memusat. Harta baitul maal akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan SDM, membangun tanah Papua, dan menghilangkan kesenjangan antara Papua dengan wilayah lainnya.
Satu hal lagi, sekalipun warga Papua belum mau menjadi Muslim, itu pun tak menjadi soal, karena begitu mereka menjadi ahludz dzimmah yaitu menjadi warga negara Islam, tanah, darah, harta dan kehormatan mereka akan tetap dijaga oleh Khalifah.
Sejarah peradaban Islam mampu merawat keberagaman etnik dan agama ketika peradaban Islam menguasai hampir dua per tiga dunia. Jadi masalah perbedaan etnik Papua yang berbeda dengan mayoritas agama di Indonesia tidak akan menjadi masalah dalam sistem Islam. Tanah, darah, harta dan kehormatan mereka akan tetap dilindungi.
(*/arrahmah.com)