JAKARTA (Arrahmah.com) – Penggunaan istilah kafir menjadi sorotan di masyarakat pasca pemberitaan Hasil Putusan Musyawarah Nasional (Munas) Organisasi Islam Nahidlatul Ulama pada Jumat (1/3/2019.
Merespon polemik ini, ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin turut angkat bicara.
Ia menilai, di masyarakat majemuk seperti Indonesia pemakaian istilah kafir untuk menyebut non-muslim harus dengan bijak dan hati-hati. Tapi juga tidak dengan ‘gebyah uyah’ kata kafir dihilangkan.
“Dalam konteks berbangsa memang harus dibarengi dengan sikap tasamuh (toleransi), sehingga pemakaian istilah tersebut tidak dipakai secara peyodatif (memperburuk) kepada orang lain. Tapi juga tidak mungkin kitab suci yang sudah final lalu diamandemen,” terang Din, Sabtu (2/3) seusai pengajian akbar di PKU Muhammadiyah Gamping Sleman, lansir Muhammadiyah.or.id
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-201 ini, istilah tersebut perlu dipahami secara menyeluruh, karena pemakaian istilah seperti itu bukan hanya ada di Islam tapi juga agama yang lain.
Ia menjelaskan, dalam Islam sendiri istilah kafir banyak disebut dalam Al Qur’an dan ada surat yang secara spesifik nama dan dalam kandungan surat tersebut menerangkan tentang Istilah kafir.
“Kita ini mukmin beriman, ada yang tidak beriman sesuai Islam disebut oleh Al Qur’an dengan kata kafir, musrik, juga fasik,” tegasnya.
Din berpesan, untuk tidak mengubah istilah yang ada di dalam kitab suci. Tapi harus ada kearifan dalam menggunakannya, termasuk dalam konteks saat ini. Istilah tersebut juga ada di agama selain Islam dalam menyebut orang yang berbeda dalam keimanan dengan mereka.
“Sebenarnya semua agama punya konsep teologi tentang ‘the others and the outsider’, karena semua agama itu memiliki yang disebut kriteria keyakinan,” terang Din.
Meskipun demikian, putusan dari Munas NU sifatnya hanya sebagai fatwa. Karena ini sifatnya fatwa, maka tidak wajib diikuti. Mengingat fatwa tersebut sudah tersebar secara luas, pasti akan menimbulkan polemik. Terlebih ada event politik, hal semacam ini akan dengan sangat mudah menyulut ketegangan sampai akhirnya menimbulkan ujaran kebencian kepada yang mereka anggap sebagai lawan politiknya.
“Menuju Pilpers mendatang sudah ada ujaran kebencian dengan menyematkan nama binatang kepada kelompok satu ke kelompok lainnya. Hemat saya itu tidak etis, itu sama saja mendegradasi harkat martabat kemanusiaan,” tandasnya.
Belajar dari beberapa kejadian tersebut, Din mengajak dalam berpolitik untuk berdebat dengan argumen yang substantif bukan hanya permukaan. Jika hanya permukaan, hal itu hanya akan banyak menguras energi karena pembahasan yang tidak berdampak pada kesejahteraan umat dan bangsa nantinya.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj menyampaikan rekomendasi komisi hasil rapat pleno Munas Ulama di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat. Salah satunya tidak menyebut kafir kepada orang non muslim.
(ameera/arrahmah.com)