JAKARTA (Arrahmah.com) – Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Ganti Rugi Korban Salah Tangkap untuk kemudian dapat diganti dengan ketentuan baru pada bulan Desember 2015.
Revisi PP 27 Tahun 1983 tersebut menargetkan korban salah tangkap untuk menerima ganti rugi sebesar Rp500 ribu hingga Rp100 juta.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan diharapkan revisi PP tersebut dapat diterbitkan pada Desember 2015.
Dia mengungkapkan, revisi PP tersebut saat ini sedang dibahas lebih lanjut oleh Mahkamah Agung dan Jaksa Agung.
Laoly menargetkan Presiden Joko Widodo menandatanganinya sebelum hari HAM sedunia pada 10 Desember.
“Sudah selesai, kita harap sebelum hari HAM sedunia sudah ditandatangani Presiden,” ucap Laoly di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (27/11/2015), lansir Kompas.
Dalam revisi PP Nomor 27 Tahun 1983, korban salah tangkap dapat menerima ganti rugi Rp 500.000 sampai Rp 100 juta. Sebelumnya, korban salah tangkap hanya mendapat ganti rugi Rp 5.000 sampai Rp 1 juta.
Nantinya, korban salah tangkap yang mengalami luka-luka akan mendapat ganti rugi Rp 25 juta sampai Rp 300 juta. Adapun korban meninggal akibat salah tangkap akan mendapat ganti rugi Rp 50 juta-Rp 600 juta.
Waktu mendapatkan ganti rugi juga dipercepat menjadi 14 hari dari sebelumnya 60 hari.
Terpisah, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Badrodin Haiti menuturkan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Ganti Rugi Korban Salah Tangkap perlu masukan dari berbagai elemen.
“Kita harus lihat pendapat-pendapat yang ada, tentu semua faktor perlu diperhatikan,” katanya di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Senin (30/11), lansir Antara.
Dia mengatakan bahwa pihaknya akan mengikuti proses revisi Peraturan Pemerintah yang saat ini sedang dibahas oleh Jaksa Agung dan Mahkamah Agung tersebut.
“Kita ikuti saja, apakah itu diterima atau tidak, kita harus perhatikan masukan-masukan itu,” katanya.
Terkait, Direktur LBH Mawar Saron, John Izaac Minotty Pattiwael, mengaku mendukung revisi PP yang diterbitkan 32 tahun lalu itu. Namun, ia mengingatkan agar revisi PP itu tidak hanya fokus pada besaran ganti rugi tapi juga penjatuhan sanksi tegas kepada aparat penegak hukum (APH) yang melakukan salah tangkap.
John berpendapat penindakan APH itu perlu dilakukan mengingat kerugian yang ditimbulkan akibat salah tangkap sangat besar. Dampaknya berkepanjangan. Misalnya, salah satu korban salah tangkap yang diadvokasi LBH Mawar Saron. Walaupun klien LBH Mawar Saron itu sudah dinyatakan bebas, yang bersangkutan masih mengalami trauma. Sampai-sampai dia tidak mau berbicara di hadapan publik untuk membeberkan apa yang dialaminya dalam perkara tersebut.
John berpendapat meskipun besaran ganti rugi terhadap korban salah tangkap dinaikkan sampai ratusan triliun, tetap tidak bisa mengganti kerugian yang dialami korban, baik citra individu dan waktu maupun kesempatan untuk berkarya dan trauma yang ditimbulkan.
“Akibat salah tangkap, klien kami terpaksa kehilangan pekerjaan dan anaknya putus sekolah,” katanya dalam diskusi yang digelar ICJR di Jakarta, Kamis (26/11), lansir Hukumonline.
Untuk mengatur soal salah tangkap John mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk regulasi yang mampu memberikan sanksi tegas kepada APH yang melakukan salah tangkap. Jika hanya fokus pada besaran ganti rugi kepada korban salah tangkap sama saja pemerintah menyiapkan anggaran untuk kelalaian atau kesalahan yang dilakukan APH. Menurutnya, itu merugikan keuangan negara.
Karena itu, kata John, rencana menaikkan ganti rugi bagi korban salah tangkap harus selaras dengan penjatuhan sanksi tegas bagi APH. Jika itu tidak dilakukan maka langkah untuk mendorong agar APH bertindak profesional semakin susah. Ia membandingkan dengan ancaman pidana 10 tahun bagi pekerja bank yang tidak menjalankan prinsip kehati-hatian dalam bekerja. Menurutnya, ketentuan serupa perlu diterapkan untuk APH sehingga mereka melaksanakan tugas dan fungsinya secara hati-hati dan profesional.
John berharap sanksi yang dijatuhkan kepada APH sifatnya jangan hanya melalui mekanisme internal seperti pengaduan ke Propam. Sebab, dari pengalamannya selama ini, proses perkara yang diajukan ke Propam tindak lanjutnya tidak jelas. Ia mengaku pernah melaporkan tindakan aparat kepolisian yang diduga melakukan penembakan kepada kliennya sehingga tewas. Sayangnya, sampai saat ini pelaporan itu belum mendapat tindaklanjut seperti yang diharapkan. (azm/arrahmah.com)