Oleh: Sholihin
(Pembina Pesantren Media, Bogor)
(Arrahmah.com) – Abis shalat Subuh berjamaah yang dilanjut dengan kajian Riyadhus Shalihin, bapak-bapak komplek yang udah pada pensiun atau yang aktivitasnya mulai siang atau sore hari ngumpul bareng. Tapi nggak sambil ngopi, karena ini bulan Ramadhan.
“Ini gimana sih, ngumumin malem-malem. Emang nggak ada waktu lain? Nggak sesuai jadwal. Nggak bener, ini. Untuk urusan penting kayak gini, seperti kucing-kucingan. Curi-curi. Takut ketahuan curangnya?” Haji Tohir dongkol banget.
“Bener Pak Haji! Itu gimana sih KPU seperti takut ketahuan. Pake acara dadakan ngumumin. Bayangin, itu ampir jam dua pagi!” Haji Misnan ikut nimbrung.
Pak Agus, tapi karena beliau itu penjual durian yang sukses. Bos durian, lah. Jadi, sering dipanggil Gus Durian, ikut berkomentar, “Memang sih, itu baru pengumuman hasil rekapitulasi jumlah suara yang dihitung. Tetapi penetapan pasangan capres cawapres terpilih baru akan dilakukan tiga hari kemudian jika tak ada sengketa. Cuma, ya udah ketahuan sih. Pasti hasilnya begitu. Udah settingan kayak hasil Quick Count.”
Selain Haji Tohir, Haji Misnan, dan Gus Durian, masih ada lima orang lainnya yang ngumpul pagi itu. Pak RT Sidik, Haji Hanafi, Bang Badrun, Mas Paijo, dan Bang Faisal. Asik ngobrolin seputar keputusan KPU semalam.
Memang sih, aneh-aneh aja, ngumumin diam-diam, malem-malem. Bikin curiga? Pastilah. Itu sebabnya, bapak-bapak dan mas-mas yang ngumpul pagi itu juga heran.
“Mestinya bukan kita doang sih yang mempermasalahkan. Ini melukai hati seluruh rakyat Indonesia,” Haji Hanafi buka suara.
Bang Badrun yang sehari-hari kerja di pasar bilang, “Kalo orang yang kerjaannya kayak saya sih, gimana ya. Serba salah sih. Siapa pun yang jadi presiden ya udahlah. Nurut bae.”
“Nggak gitu juga kali Bang Badrun. Kita kudu punya sikap. Sikap kita mestinya membela kebenaran. Kalau jurdil sejak awal, saya kira masyarakat tahu apa yang harus diperbuat,” Mas Paijo ikut bicara. Gara-gara tinggal di lingkungan Betawi, logat daerah asalnya udah luntur.
Pak RT Sidik dan Bang Faisal masih menyimak saja. Belum memberikan pendapat atau opininya. Setelah didesak Haji Misnan, baru deh Pak RT Sidik angkat bicara.
“Kita hargailah, hasil keputusan KPU. Gimana pun juga itu lembaga yang sudah diberikan wewenang dalam pemilihan umum ini,” Pak RT Sidik menjelaskan.
“Tapi kan KPU juga dari awal sering salah input. Ane sih, sebagai warga biasa, aneh aja. Apalagi kata orang-orang pinter di berita dijelasin ada kecurangan. Jadi ane udah pesimis dah dengan hasil ini, Pak RT!” Haji Misnan, yang montir mobil itu mengungkapkan kekecewaannya.
Bang Faisal, pembina Remaja Masjid Daarun Niaam memang paling muda di antara bapak-bapak yang hadir itu. Dia kan masih mahasiswa tingkat akhir. Jadi lebih banyak diam. Mungkin nggak enak aja kalo tiba-tiba ikut nimbrung. Tapi setelah Haji Tohir minta pendapatnya, barulah Bang Faisal ikut berkomentar.
“Mohon maaf sebelumnya ya bapak-bapak. Sebenarnya saya tidak terbiasa ngobrol bebas begini dengan bapak-bapak. Khawatir salah. Kalo kultum atau ngisi kajian anak-anak sih, insya Allah saya nggak terlalu beban,” Bang Faisal malu-malu. Masih ewuh pakewuh.
“Nggak apa-apa, Faisal. Sampaikan saja,” Haji Hanafi mendukung. Beliau termasuk yang setuju kalo anak muda harus lebih banyak tampil di pentas dakwah menyelamatkan umat dari kebodohan dan kurang adab.
“Menurut Bang Faisal, apa nih pendapatnya terkait penetapan KPU menjelang sahur tadi?” Gus Durian menatap sambil tersenyum.
“Hmm.. kalo saya sih melihatnya memang ini sudah nggak beres sejak lama, bapak-bapak. Saat kedua paslon mendaftar, seperti sudah ada settingan akan memenangkan salah satu paslon. Ibarat dalam sepakbola, ada skandal pengaturan skor, gitu,” Bang Faisal memberanikan diri menyampaikan pendapatnya.
“Pengatur skor gimana?” Pak RT Sidik langsung nyamber.
“Ini politik sih, Pak RT. Jadi segala sesuatunya rumit kalo harus dijelaskan semuanya. Tapi sebenarnya secara realita bisa dinilai atau diprediksi,” Bang Faisal melanjutkan.
“Berarti Nak Faisal melihat bahwa pilpres kali ini sudah diprediksi akan ada kecurangan?” Haji Misnan memburu Bang Faisal dengan pertanyaan.
“Tepatnya begitu, Pak Haji. Sebab, timnya Pak Jokowi ini membawa misi yang nyaris mustahil bisa sukses jika tanpa kecurangan,” Bang Faisal nggak melanjutkan karena keburu dipotong Pak RT Sidik.
“Kok Faisal bisa tahu persoalan begituan? Pasti banyak ngikutin di medsos ya? Jangan semua diterima. Bisa jadi itu hoax,” Pak RT Sidik seperti melakukan pembelaan terhadap paslon tertentu dan penyangkalan.
“Sebenarnya di medsos tidak semuanya salah, Pak RT. Ada yang baiknya. Saya sendiri insya Allah bisa memilah dan memilih. Jika memang salah atau kabar bohong, tak mungkinlah saya percayai atau saya share. Dicerna dulu baik-baik. Cuma masalahnya, ada banyak di antara pengguna medsos memang tipe die hard, cinta buta, membela mati-matian meski yang dibela jelas melakukan kesalahan dan kecurangan. Ini kan aneh,” Bang Faisal sedikit ngegas.
“Tapi kan kedua paslon berpotensi melakukan kecurangan,” serbu Pak RT Sidik.
“Ya, mungkin saja. Tetapi secara fakta bisa kita lihat secara obyektif. Melihat persoalan ini tidak seperti melihat warna hitam dan putih. Ada unsur lain, yakni cara pandang. Sebab, cara pandang inilah yang akan mempengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan. Selain itu sebenarnya rakyat banyak yang nggak suka dengan Pak Jokowi. Lihat hasilnya selama 4 tahun lebih. BBM dinaikkan harganya secara diam-diam–tengah malam pula, kebijakan impor yang merugikan petani, program cetak sawah sekian juta hektar di Papua yang gagal total itu. Janji banyak yang tak ditepati. Rakyat sudah muak. Lihat saja di masa kampanye, yang rame itu kampanyenya 02. Jadi jika sekarang perolehan suaranya mengalahkan 02, ya aneh aja, sih, ” Bang Faisal menjelaskan lagi.
Obrolan didominasi Bang Faisal dan Pak RT Sidik. Bapak-bapak lainnya lebih memilih menyimak. Diskusi terus berlanjut hingga menjelang waktu shalat Dhuha tiba. Masing-masing tetap pada pendapatnya. Diskusi nampaknya akan menemui jalan buntu. Obrolan jadi buang-buang energi saja. Sampai akhirnya Bang Faisal menyampaikan sebuah perumpamaan.
“Petugas kebersihan yang sehari-hari mengangkut sampah di jalanan menggunakan mobil truk, saya yakin ia merasa jijik, mual, dan nggak selera makan. Itu pada awalnya. Sensitivitasnya masih jalan normal. Tetapi setelah sekian lama dijalani. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbilang tahun, sudah hilang kepekaannya. Coba kita lihat, di antara mereka bahkan ada yang asyik saja membersihkan sampah dan memuatnya ke truk sambil merokok. Teman lainnya duduk di pinggir tumpukan sampah sambil sarapan dan ngopi. Tak ada lagi rasa mual, jijik, bau. Hilang kepekaannya,” Bang Faisal semangat. Bapak-bapak dan mas-mas manggut-manggut. Semoga berpikir dan mengerti.
“Eh, maaf nih sebelumnya. Jadinya saya seperti menceramahi bapak-bapak dan mas-mas, nih,” Bang Faisal agak nggak enak ati.
“Nggak kenapa-kenapa, Sal. Udah terusin. Ane demen, nih!” Haji Tohir memberikan dukungan, diamini bapak-bapak lainnya. Pak RT Sidik jadi kikuk.
“Terima kasih sebelumnya. Jadi perumpamaan tadi bisa kita padankan dengan kondisi sekarang. Orang atau kelompok yang terbiasa berbuat zalim, curang, dan bohong pasti awalnya–apalagi kalo dia muslim–mestinya risih, nggak enak. Tapi karena kondisi memunginkan untuk terus seperti itu, akhirnya dia berdamai dengan pikiran dan hatinya. Mulai membenarkan sesuatu yang salah. Tidak peka lagi. Malah kemudian saking lamanya berada di lingkungan seperti itu, jadinya pekak. Tuli. Tidak mau menerima nasihat. Bahkan nyantai saja membela kesalahan. Ini bahayanya. Lebih bahaya lagi, para pendukungnya juga pekak. Susah dinasihati walau sudah jelas kesalahannya,” lanjut Bang Faisal.
Akhirnya obrolan benar-benar berhenti. Bergejolak berbagai perasaan dan pikiran di antara mereka. Berusaha mencerna apa yang disampaikan Bang Faisal.
“Jadi, menurut ente, pilpres kali ini curang, Sal?” Haji Tohir bertanya untuk terakhir kalinya. Bang Faisal hanya menjawab, “Ya, bukti sudah banyak.”
Bang Faisal kemudian menjelaskan bahwa pelaksanaan pemilu kali ini, selain kecurangan yang masif, juga banyak peristiwa janggal yang kemudian membuat orang menghubung-hubungkan dengan kondisi yang ada, yakni demi mencapai kekuasaan.
Secara fakta memang demikian. Bukti sudah banyak. Salah input data, kotak suara dan surat suaranya dibakar sejumlah orang di beberapa daerah, jumlah DPT yang misterius, petugas KPPS yang meninggal secara tak wajar sudah ratusan orang, pengumuman penghitungan jumlah suara akhir juga dilakukan mendadak tak sesuai jadwal, di malam hari, pula.
Jika pun disebut menang, menang karena curang. Apa hebatnya?
Diskusi selesai, salam-salaman dan mereka kemudian melaksanakan shalat Dhuha.
(ameera/arrahmah.com)