Oleh: Tia Damayanti, M. Pd. *
(Arrahmah.com) – Hati siapa yang tak pilu, di tengah pandemi, tatkala rakyat banyak yang terdampak wabah Covid-19, dengan teganya pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Keputusan tersebut mengundang banyak reaksi keras dari masyarakat. Karena sebelumnya sudah ada Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 7P / HUM / 2020 per tanggal 31 Maret 2020 yang membatalkan kenaikan terdahulu dari iuran BPJS Kesehatan.
Terkait hal ini, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, politisi PDI Perjuangan yang notabene satu partai dengan Presiden Jokowi, kepada KOMPAS TV tanggal 14 Mei 2020 menganggap bahwa keputusan Presiden Jokowi sangatlah tidak populer.
Meski pelik, jelas keputusan menaikkan Iuran BPJS akan mendapat penolakan. Sinyalemen Ganjar tersebut senada dengan anggota DPR Aceh, Fadhil Rahmi sebagaimana dilansir Tribunnews Aceh pada 18 Mei 2020, yang secara terang terangan mengatakan kebijakan tersebut bahkan melukai hati rakyat.
Ada tiga hal yang menjadi kemelut dalam keputusan Presiden Jokowi untuk kembali menaikkan Iuran BPJS Kesehatan.
Pertama, Pemerintah dianggap licik, mengakali Putusan Mahkamah Agung.
Kedua, Pemerintah dianggap tumpul bahkan tak punya hati nurani, karena menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah Pandemi Covid-19 yang masih karut-marut penanggulangannya.
Ketiga, ada kemungkinan Pemerintah akan kembali digugat ke Mahkamah Agung (MA). Dan jika hal ini terjadi, wibawa Pemerintah jelas terdegredasi dan memalukan.
Rabu (20/5/2020), benar adanya, Pemerintah kembali digugat ke Mahkamah Agung, Penggugatnya adalah Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Kelompok penggugat yang sama, yang membuat MA membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan terdahulu. Pertarungan hukum pasti akan terjadi. Tentu banyak aspek hukum yang akan menjadi pertimbangan.
Sementara itu, Staf khusus Menteri Keuangan, Menteri Keuangan sendiri dan para Buzzer pro Pemerintah memberi keterangan dan tulisan opini sebagai justifikasi atas kebijakan menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan ini.
Namun, upaya mereka malah semakin membuat rakyat bingung dan menambah erosi kepercayaan rakyat terhadap Pemerintahan Presiden Jokowi. Ada dua hal penting yang menyebabkan Pemerintah dinilai melakukan blunder dengan kebijakan ini.
Pertama, alasan menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan sebagaimana dilansir detik.com pada 13 Mei 2020 yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi sendiri, adalah untuk memsinergikan mutu pelayanan dengan keadaan keuangan saat ini. Istilah yang dipakai memang adalah sinergi.
Namun yang tersirat dari keterangan Presiden adalah menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan. DR. Rizal Ramli, mantan menteri dan ekonom senior, pada Nopember 2019 di acara Bisnis Forum TV One, secara tegas mengemukakan. Bahwa penyebab defisit anggaran plus keuangan BPJS adalah bahwa sejak awal memang Pemerintah sama sekali tidak menyediakan dana sebagaimana dibutuhkan untuk berjalannya BPJS Kesehatan.
Artinya, sejak mulai berjalan pun, BPJS Kesehatan sudah defisit. Keterangan Rizal Ramli ini tak pernah dibantah pihak Pemerintah. Sehingga keterangan Presiden Jokowi tentang alasan kenaikan iuran justru menambah antipati publik.
Hal kedua adalah dipaparkannya skema kenaikan kembali iuran BPJS. Bahwa yang naik adalah untuk kelas 1 dan kelas 2. Sementara kelas 3 tetap disubsidi. Pada awal 2021 kelas 3 tetap disubsidi meskipun subsidinya dikurangi. Hal ini kemudian dikomentari oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait rakyat yang keberatan dengan kebijakan ini.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu pun mengatakan, bila ada keberatan dari peserta kelas I dan II dengan kenaikan iuran tersebut, maka ia mempersilakan mereka untuk turun ke kelas III.
“Ya, kalau memang gak kuat turun aja ke kelas III (dimana iurannya) Rp 25.500, gitu kan?” tanya sang menteri, sebagaimana dilansir IDN Times.
Pernyataan Sri Mulyani ini menegaskan, bahwa BPJS ini dianggap sebagai asuransi berbayar. Padahal dalam esensinya, BPJS bukanlah produk entitas asuransi berbayar. BPJS adalah sebuah social safety net.
Pelaksanaan dari TAP MPR RI No.X/MPR-RI tahun 2001 yang menugaskan Presiden Republik Indonesia untuk menyelenggarakan sistem jaminan kesehatan nasional. Jadi aneh, jika sistem kesehatan nasional suatu bangsa mematok kenaikan iuran disertai solusi praktis yang membingungkan, yakni kalau rakyat tak kuat bayar silakan turun kelas.
Lalu dimana kehadiran negara untuk menyelenggarakan fasilitas kesehatan yang mumpuni bagi rakyatnya?
Memang sungguh malang nasib rakyat Indonesia. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ekonomi keluarga morat-marit karena dampak dari wabah corona, bahkan di tengah duka karena ada keluarga yang menjadi korban meninggal, disaat dunia usaha bangkrut, PHK massal, pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan dengan embel-embel konotasi si kaya dan si miskin.
Luka rakyat makin menganga, ketika Rabu 20 Mei 2020, Kompas, Detik, CNBC, CNN Indonesia semua serempak menurunkan berita bahwa pemerintah akan menghapuskan seluruh kelas BPJS Kesehatan.
Bagaimana bisa setega ini. Bagaimana hati nurani termasuk rasionalitas dan moral bisa sedemikian tergerus. Saat menaikkan iuran, bu Sri Mulyani dengan gagahnya mempersoalkan turun kelas. Setelah berkembang aura penolakan dari masyarakat, malahan diwacanakan kelas iuran akan dihapus.
Mencermati hal tersebut, tak berlebihan jika kemudian rakyat mencap pemerintah telah gagal dalam memenuhi kebutuhan vital rakyat dalam bidang kesehatan. Gagal hadir. Gagal mensejahterakan. Dan ini suatu hal yang lumrah.
Sejak dunia menerapkan sistem kehidupan kapitalis, kepentingan rakyat selalu terpinggirkan dan hanya mementingkan segelintir orang yang punya modal besar (pengusaha dan penguasa). Hubungan antara penguasa dan rakyat layaknya penjual dan pembeli, memperhitungkan untung dan rugi.
Kini, rakyat harus menerima laporan bahwa BPJS merugi dengan beragam alasan. Juga diakui adanya salah kelola. Tapi mengapa pihak yang salah mengelola ini selalu naik gaji sementara rakyat dibebani kenaikan bertubi-tubi.
Sejak dahulu, panutan kita, Rasulullah Saw telah menggambarkan bagaimana sosok pemimpin yang sebenarnya. Rasulullah Saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Syariah menetapkan bahwa di antara tanggung jawab (negara) adalah memenuhi kebutuhan asasi bagi seluruh rakyat. Kebutuhan asasi tersebut adalah keamanan, kesehatan dan pendidikan. Dr. ‘Abdurrahman al-Khalidi dalam Kitab Ash-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mutsla mengatakan: (Jaminan pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan primer bagi seluruh rakyat telah ditetapkan oleh syariah sebagai kewajiban atas negara secara langsung.
Nabi ﷺ bersabda, “Imam (kepala negara) itu adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia pimpin.” (HR al-Bukhari).
Negara, dalam hal ini Khilafah, menjamin dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, dokter dan tenaga medis yang profesional untuk memberikan layanan terbaik dalam hal kesehatan.
Khilafah juga membentuk badan-badan riset untuk mengidentifikasi berbagai macam penyakit beserta penangkalnya.
Pada masa keemasan Islam, Bani ibn Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman, obat-obatan dan dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis.
Khalifah Bani Umayyah banyak membangun rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena lepra dan tuna netra. Khalifah Bani Abbasyiah banyak mendirikan rumah sakit di Bagdad, Kairo, Damaskus dan mempopulerkan rumah sakit keliling.
Tentu semua kebijakan ini membutuhkan dana yang tidak sedikit, lalu dari mana dana untuk mencukupi itu semua? Khilafah mampu mendanai itu semua. Dengan cara mengelola seluruh sumberdaya alam dan harta milik umum, seperti tambang-tambang penting, kekayaan laut, hutan, dan lain sebagainya, untuk sebesar-besar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Khilafah menerbitkan kebijakan larangan privatisasi harta-harta milik umum.
Karena faktanya negara kekurangan dana disebabkan privatisasi sumberdaya alam dan harta-harta milik umum. Ditambah struktur anggaran pendapatan belanja negara (APBN) Khilafah juga terbebas dari hutang riba, baik hutang riba dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Terlihat jelas khilafah negara mandiri dan tak bergantung pada negara lain.
Dalam Islam, rakyat selaku anggota masyarakat dan pemerintah selaku penguasa yang mengurusi berbagai problem rakyatnya ibarat satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Berbagai program yang dicanangkan oleh pemerintah tak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan dan sambutan ketaatan dari rakyat.
Berbagai problem yang dihadapi oleh rakyat juga tak akan usai tanpa kepedulian dari pemerintah. Gayung bersambut antara pemerintah dan rakyatnya menjadi satu ketetapan yang harus dipertahankan.
Ka’b al-Akhbar rahimahumallah berkata, “Perumpamaan antara Islam, pemerintah, dan rakyat laksana kemah, tiang, dan tali pengikat berikut pasaknya. Kemah adalah Islam, tiang adalah pemerintah, sedangkan tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Tidaklah mungkin masing-masing dapat berdiri sendiri tanpa yang lainnya.” (Uyunul Akhbar karya al-Imam Ibnu Qutaibah 1/2)
Oleh karena itu sudah saatnya merajut hubungan antara pemerintah dan rakyat atas dasar keimanan dan ketaqwaan. Sehingga tercipta hubungan harmonis dari keduanya. Dan hal ini hanya bisa diwujudkan dalam sistem pemerintahan yang tegak di atas paradigma dan aturan terbaik, yakni akidah dan syariah Islam. Islam adalah agama terbaik yang Allah Swt. turunkan. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ ٥٠
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
*) Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Politik
(ameera/arrahmah.com)