DENPASAR (Arrahmah.com) – Kebebasan melaksanakan agama di Indonesia di jamin oleh UU. Tetapi kata Menteri Agama Maftuh Basyuni, kebebasan itu ada batasnya, yakni dibatasi oleh pelaksanaan agama oleh umat lain dan juga oleh UU.
DENPASAR (Arrahmah.com) – Kebebasan melaksanakan agama di Indonesia di jamin oleh UU. Tetapi kata Menteri Agama Maftuh Basyuni, kebebasan itu ada batasnya, yakni dibatasi oleh pelaksanaan agama oleh umat lain dan juga oleh UU.
“Kalau masing-masing umat memahami batasan-batasan itu, maka benturan dapat dihindarkan dan keutuhan negara dapat dipertahankan,” kata Maftuh.
Hal itu dikemukakan Maftuh di Denpasar, Jumat (22/5), dalam acara silaturrahmi dan dialog antara Menteri Agama dengan tokoh-tokoh umat Islam di Bali. Hadir dalam acara itu Kakanwil Depag Provinsi Bali, IGAK Sutayasa, Ketua MUI Bali KH Hasan Ali BA dan pimpinan sejumlah Ormas Islam Provinsi Bali.
Dikatakan Maftuh, peran umat beragama di Indonesia sangat penting dan pemeluknya diberi kebebasan untuk melaksanakan agamanya masing-masing. Masalahnya kata Maftuh, masih ada sebagian umat yang melaksanakan kegiatannya tanpa memperhatikan pemeluk agama lain. “Mereka melakukan kegiatan, yang tujuannya mengajak pemeluk lain mengikuti mereka. Ini bisa menimbulkan masalah,” katanya.
Namun Maftuh bersyukur, sudah ada keputusan bersama Menteri Agama dengan Menteri Dalam Negeri, yang mengatur kegiatan berdakwah umat beragama, sehingga kebebasan yang dimiliki tetap ada batasnya. Menag berharap keputusan bersama dua menteri itu kelak bisa menjadi undang-undang (UU).
Menteri Agama menyebutkan, dalam Islam berdakwah adalah suatu kewajiban, walau pun hanya mengetahui satu ayat. Tetapi dalam berdakwah, banyak tantangannya, termasuk yang diajak menolak untuk mengikuti dakwah itu. Mendapat penolakan itu lanjut Menag, seorang da’i tidak boleh marah. “Karena tugas seorang da’i hanya mengajak, sedangkan hasilnya adalah urusan Allah SWt.”
Sementara itu, menjawab pertanyaan tentang pelaksanaan haji dan kuota yang diberikan bagi umat Islam di Bali, Maftuh menyebutkan penentuan kuota sudah sesuai dengan kaidah yang diberikan oleh OKI, yakni masing-masing negara sebesar satu per mil dari jumlah penduduk muslim. Indonesia lanjutnya, memperoleh kuota sebesar 189 ribu orang.
Soal peningkatan kuota haji, dikatakan Maftuh, bisa saja diperjuangkan, tapi dia tidak mau melakukannya. Karena akibatnya adalah Depag yang nantinya akan dimaki-maki oleh masyarakat, karena pelayanan yang diberikan bisa kurang maksimal, terutama masalah pemondokan. “Tetapi dengan kuota yang diperoleh sekarang, soal pemondokan sudah bisa teratasi,” katanya.
Sebenarnya kata Maftuh, menangani masalah haji sangat mudah, karena Indonesia memiliki perangkat yang lengkap untuk mendukung kegiatan haji. Yang menjadi masalah adalah bila ada oknum-oknum yang kotor dan sengaja merusak tatanan yang ada. (Althaf/republika/arrahmah.com)