JAKARTA (Arrahmah.com) – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa perdebatan terkait RUU Perlindungan Umat Beragama (PUB) di tubuh Kemenag berlangsung cukup seru.
“Di internal kami (Kemenag) perdebatannya seru,” katanya dalam acara “Dialog agama bersama awak media; RUU Perlindungan Umat Beragama, kenapa dan bagaimana” di Kementerian Agama RI Jakarta, Kamis (26/2/2015).
Menurutnya definisi agama merupakan keyakinan yang sangat personal tetapi ketika kemudian agama harus diatur untuk kehidupan bersama, keyakinan yang personal ini harus diformalkan. Untuk itu, imbuh Lukman perlu ada definisi sosiologis,
“Tidak cukup definisi theologis saja tapi harus ada definisi sosioligis. Memadukan antara definisi theologis dengan definisi sosioligis ini masing masing kita punya definisi yang sangat beragam,” katanya kepada para wartawan usai acara.
Pada kesempatan itu para pembicara masing-masing Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Adian Husaini, Ketua Persatuan Gereja Indonesia Pdt. Albertus Patty dan dosen Universitas Paramadina Yudi Latif mempertanyakan naskah akademik dan RUU yang diperbincangkan saat itu.
Lukman menyatakan belum adanya kesiapan naskah akademik dan RUU yang merupakan satu kesatuan itu. Dia menyebut awal April baru akan keluar Naskah akademik dan RUU nya. “Kami belum siap mempublikasikan naskah akademik dan RUU yang menjadi satu kesatuan,” jelas Lukman.
“Intinya adalah Negara berkewajiban untuk menjamin dan memberi perlindungan dan pelayanan kepada setiap umat bergama, maka kemudian negara punya kebutuhan untuk mengetahui yang dinamakan agama itu apa, seperti apa, karena nanti konsekuensinya negara melalui pemerintah bertanggung jawab memberi pelayanan kepada umat beragama sesuai dengan agama yang dianutnya,” kata Lukman
Pada kesempatan itu, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Adian Husaini berpandangan bahwa Kemenag sebaiknya tidak perlu mengurus soal definisi agama, cukup agama yang sudah diakui di Indonesia selama ini.
“Saya usulkan Kementerian Agama tidak usah mendefinisikan agama lagi, tidak akan selesai, jadi cukup enam Kita berangkat saja dari UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang penting jelas kalau ada sesuatu yang dianggap kriminal menodai agama atau seseorang melakukan kegiatan yang menyimpang dari ajaran pokok agama maka siapa yang berwenang menyebut itu menyimpang. Selama ini kan yang menetapkan majelis agama, lalu tiga kementerian (kemenag, Kemendagri, Kejaksaan Agung) baru lalu Presiden,” papar Adian.
(azmuttaqin/arrahmah.com)