Oleh : Asy Syifa Ummu Sidiq
(Arrahmah.com) – Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Apalagi baru saja kita memperingati Hari HAM sedunia tanggal 10 Desember 2020. Apa yang istimewa dengan Hari HAM tahun ini? Seperti biasanya, seremonial peringatan HAM setiap tahun dilaksanakan. Namun, masalah HAM tak kunjung selesai.
Dalam memperingati Hari HAM sedunia ini, Presiden Jokowi memberikan pidato sambutan. Beberapa isi pidato itu mengenai upaya RI untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini. Upaya penjagaan HAM dimasukkan dalam rencana Aksi Nasional HAM 2020-2025. Hak asasi tersebut terdiri dari hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan sosial serta budaya (republika.com, 12/12/20).
HAM dinilai sebagai nilai universal yang sangat dibutuhkan umat manusia. Selama ini manusia menganggap dalam hidupnya memiliki hak untuk dirinya. Mengapa timbul rasa itu? Karena di bawah asuhan kapitalis banyak orang teraniaya. Sehingga muncullah ghorizah baqo (naluri mempertahankan diri) untuk menentang penindasan atas nama kapitalisme. Namun, pantaskah HAM yang digaungkan selama ini diperingati setiap negara di dunia? Termasuk negeri muslim?
Sejarah Lahirnya HAM
Hak Asasi Manusia sendiri lahir dari wilayah Eropa. Di abad 17, seorang filsuf bernama John Locke merumuskan hak alamiah pada manusia. Diantaranya hak hidup, hak kebebasan dan hak milik. Kemudian di tahun 1215 muncul perjanjian Magna Charta, yaitu piagam perjanjian Raja John Inggris dengan bangsawan. Isinya adalah jaminan hak para bangsawan yang diberikan oleh Raja Inggris.
Setelah itu muncul Revolusi Amerika di tahun 1276. Dimana rakyat Amerika berusaha membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Hak kebebasan akhirnya diraih dengan Declaration of Independence. Beberapa ratus tahun kemudian (1789), Revolusi Prancis menyusul. Rakyat Prancis melakukan perlawanan terhadap Raja Louis XVI. Perlawanan ini menghasilkan Declaration des droits de I’homme et du citoyen (Pernyataan hak-hak manusia dan warga negara).
Pernyataan itu melahirkan 3 hal : hak kebebasan (liberty), kesamaan (egality) dan persaudaraan (fraternite). Dalam perkembangannya 3 hak ini berkembang menjadi HAM. Konsep HAM diperkenalkan oleh Presiden Amerika Serikat Franklin D Rooselvelt dengan 4 kebebasan. Diantaranya, kebebasan beragama, berpendapat, dari kemelaratan dan ketakutan.
Akhirnya dalam perkembangannya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948 mencanangkan Declaration Universal of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Walhasil deklarasi ini dipakai secara internasional sebagai Hari HAM sedunia, sekaligus menjadi standar HAM.
Wajah Asli Pengusung HAM
Sayangnya, upaya menetapkan HAM sebagai hak asasi yang dimiliki manusia tak ubahnya sebatas retorika. AS yang notabene sebagai pencetus HAM, justru melakukan pelanggaran HAM terbesar. Seperti serangan AS terhadap Irak dan Afganistan yang menewaskan jutaan manusia. Pembiaran penjajahan Israel atas negeri Palestina. Penindasan muslim Uighur di China dll.
Namun, penyikapan HAM akan langsung dilakukan mana kala yang menjadi korban adalah non muslim. Jika korban yang berjatuhan dari kalangan mereka, langsung atas nama HAM mereka bertindak tegas. Seakan muslim selalu dijadikan tersangka utama.
Sejatinya konsep HAM ini hanyalah konsep tambal sulam untuk menutupi kebobrokan sistem di AS yang penuh dengan kepalsuan. Kasus-kasus rasis sangat banyak di AS hingga sekarang. Termasuk kasus George floyd kemarin.
Tak terkecuali yang terjadi di negeri ini. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap HAM rakyat terus terjadi.
Sepertinya pemimpin juga berkaca pada apa yang dilakukan pemerintah AS, memperingati hari HAM demi menutupi kebobrokan kondisi dalam negerinya. Apa yang terjadi pada 6 orang Laskar FPI kemarin merupakan salah satu bukti.
Menurut peneliti asing Dr. Ian Wilson dari Murdoch University Australia, penembakan yang dilakukan itu termasuk “extrajudicial killing” atau pembunuhan di luar hukum oleh polisi (indopos.co.id, 9/12/20).
Islam Tak Membutuhkan HAM
Islam sistem yang syamil dan kamil. Jauh sebelum HAM dideklarasikan, sekitar 14 abad silam. Islam sudah memiliki konsep tentang penjagaan terhadap nyawa, harta dan kehormatan seseorang. Haram untuk menumpahkan darah tanpa hak. Islam pun memberikan sanksi jika ada orang yang sengaja menumpahkan darah tanpa alasan.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab: (1) orang yang telah menikah yang berzina, (2) jiwa dengan jiwa (membunuh), (3) orang yang meninggalkan agamanya (murtad), lagi memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (HR. Bukhari dan Muslim).
Islam juga haram merampas harta dan membungkam suara/pendapat seseorang, sepanjang yang dia suarakan adalah kebenaran.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An Nisa : 29)
Dengan aturan syara’ yang lengkap inilah Islam mampu memberikan jaminan keamanan jiwa, berpendapat, berserikat hingga menasehati pemimpin. Sehingga tak diperlukan lagi teori HAM buatan AS. Lebih dari itu, kondisi saat ini memperlihatkan pada kita, bahwa HAM yang digadang-gadang penyelamat. Nyatanya hanya berpihak pada golongan tertentu. Bukan pada umat Islam yang teraniaya. Jadi, masihkah kita berharap pada HAM? Wallahu’alam.
(*/arrahmah.com)