“Barangsiapa mengharapkan akhirat, kemudian berusaha untuk mendapatkannya sedang ia seorang Mukmin, maka usahanya akan diganjar.” (QS. al-Israa’:19)
Kita ini dalam perjalanan pulang. Pulang ke kampung Akherat. Tapi orang-orang bodoh, mereka bekerja mati-matian untuk bekal dunia. Orang-orang seperti itu, adalah orang-orang yang tertipu. Dan lebih bodoh lagi kalau ada orang yang mau berjihad fii sabilillah tujuannya dunia. Ngeri orang seperti itu. Akibat sikap orang-orang seperti ini, akhirnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam giginya patah dalam perang Uhud.
Pemanah-pemanah dalam perang Uhud itu turun rebutan ghonimah. Minhum man yuriidu dunya minhum man yuriidu akhiroh. Para perindu akhirat inilah yang menjadi perisai-perisai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang menghendaki akhirat pada waktu itu, adalah Anas bin Nadhr. Yang ketika dia mati, di dadanya terdapat lebih dari tujuh puluh lubang antara luka pedang tombak dan panah.
Ibnul Qoyyim al Jauziyah mengatakan, “Kalau hati ini sehat dari penyakit ini, maka hati kita ini akan pindah ke akhirat.” Jasadnya saja di dunia. Itulah orang yang akalnya sehat. Dia sadar bahwa dia sekarang sedang berjalan ke akherat. Dia tamak sekali menumpuk kekayaan untuk akherat. Seperti tamaknya ahli dunia menumpuk harta kekayaan di dunia. Sebagaimana ‘Aisyah rodliyallahu ‘anha. Beliau itu menabung, sampai mendapatkan seratus ribu dirham dan dia punya daftar nama-nama orang yang hendak dibagi-bagi. Tatkala beliau mendapat seratus ribu dirham itu, senangnya bukan main. Senang bukan karena tamak dengan dunia, tapi tamak dengan akherat. Target nama-nama yang beliau kumpulkan terpenuhi. Kakaknya Asma’, ibunya Abdullah bin Zubair lain lagi. Beliau tidak mau menabung sebagaimana ‘Aisyah radliyallahu ‘anha. Pokoknya harta yang didapatkan hari itu, habis ‘Isya harus habis. Semuanya disedekahkan sebelum tidur, besoknya mencari yang baru. Besok pagi adalah urusan besok pagi. Sikap Asma’ ini sama nilainya dengan ‘Aisyah.
Benar kata Ibnul Qoyyim al Jauziyah ini, kalau hati kita sehat akan berpindah ke akherat. Pindah dari barang-barang kecil di dunia ini kepada sesuatu yang tinggi. Dan mulai di akherat. Bagaimana caranya agar hati kita pindah dari dunia ke akherat? Kalau kita berkumpul hanya membicarakan masalah dunia, meetingnya hanya masalah dunia dan tak pernah ngaji, tidak pernah membicarakan halal haram, maka hati kita akan semakin mendalam terhadap dunia. Maka hati akan menjadi sakit.
Seorang ‘Alim berkata: “Kasihan ahlu dunia, keluar dari dunia tidak pernah merasakan sesuatu yang paling nikmat di dunia.” Sebagian orang bertanya, “Apa sesuatu yang paling nikmat di dunia itu?” Berkata, “Mahabatullah.” Merasa tenang tatkala berinteraksi dengan Allah, rindu segera bertemu dengan Allah, dan merasa nikmat tatkala dzikir kepada-Nya dan melaksanakan ketaatan-Nya.
Berikutnya, ciri orang-orang yang merasakan sesuatu yang paling nikmat di dunia adalah merasa nikmat tatkala berinteraksi dengan Allah. Dia merasa nikmat tatkala bangun jam dua malam melaksanakan qiyamul lail. Merasa tentram dan tenang. Kemudian rindu ingin segera bertemu dengannya. Alkisah, para mujahidin Arab, sebagian dari Yaman, Syiria, Qathar, dan Saudi, yang tadinya ikut jihad di Afghanistan, merasa sedih karena di jihad di Afghanistan usai. Mereka merasa sedih dan seakan tak punya harapan lagi untuk meraih manisnya mati syahid. Seperti pedagang pasar yang pasarnya sepi. Mereka berkata, “Kalau jihad sudah tak ada bagaimana nasib kita ini?” Jadi mereka sedih karena jihad sudah usai. Jadi akhirnya mereka pulang ke negerinya masing-masing di jazirah Arab.
Kemudian mereka mendengar ada tragedi pembantaian umat Islam di Bosnia. Mereka mendengar bahwa di Bosnia ada jihad. Mereka merasa senang sekali pergi ke sana. Mereka berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru dunia. Senangnya mereka itu seperti senangnya ahlu dunia mengejar pasar. Kenapa mereka bisa seperti itu, karena rindunya akan segera bertemu dengan Allah sudah tak tertahankan.
Orang-orang yang hatinya telah pindah ke akherat, mereka merasa nikmat dengan ketaatan yang ia laksanakan. Kenikmatan yang besar karena ia selalu ingat Allah, merasa diawasi oleh-Nya. Orang-orang seperti inilah yang patut mengatakan, “Kasihan ahlu dunia. Mereka tidak bisa merasakan sesuatu yang paling nikmat di dunia. Cita-citanya sangat dangkal!”
Kepada para perindu akherat lah kita seharusnya ‘mendongak’ dan iri dengan watak mereka.