Musaharati adalah karakter tradisional di Gaza, yakni para penabuh genderang yang berkeliling membangunkan orang-orang untuk sahur selama bulan Ramadhan, agar mereka dapat makan dan bersiap untuk hari puasa yang akan datang.
Sekitar satu jam sebelum azan subuh, para penabuh genderang berjalan di jalan-jalan Gaza untuk membangunkan orang-orang.
Namun, perang genosida “Israel” di Gaza membunuh tradisi ini.
“Selama Ramadhan setiap tahun, kami biasa menjadi sukarelawan bersama sekelompok anak muda dari kamp pengungsi Nuseirat untuk membangunkan penghuni kamp pada waktu sahur,” kata Ismail al-Hafi kepada The Palestine Chronicle.
“Tetapi tahun ini, perang menghalangi kami untuk melakukan hal tersebut dan, sayangnya, beberapa anggota kelompok kami terbunuh atau terluka,” tambahnya.
“Kami biasa berkeliaran di seluruh area kamp Nuseirat, menyanyikan lagu Ramadhan, membawa genderang, dan memperingatkan orang-orang agar bangun untuk sahur,” kenang al-Hafi.
“Orang-orang menyukai pekerjaan kami; mereka memotret kami, dan banyak yang mengundang kami untuk sahur di rumah mereka, suasananya ceria. Sedangkan tahun ini yang kami rasakan hanya sedih dan duka”.
Kemungkinan Gencatan Senjata
Alaa Ayat adalah Musaharati lain di Nuseirat. Dia adalah penyanyi grup tersebut, berkat suaranya yang indah dan bernada tinggi.
“Saya biasa berkeliling bersama yang lain, menyanyikan lagu-lagu yang berhubungan dengan Ramadhan, sementara rekan-rekan saya memainkan musik di belakang dengan suara yang selaras. Suasananya sangat indah saat Ramadhan,” ujarnya kepada The Palestine Chronicle.
“Rumah kami, seperti rumah lainnya, menjadi sasaran pengeboman “Israel”. Tidak ada rumah yang layak untuk ditinggali saat ini,” kata Ayat dengan nada sedih dalam suaranya.
“Banyak anggota kelompok kami yang terbunuh atau terluka. Salah satu penyanyi, Aahed al-Assar, syahid bersama dua saudara laki-lakinya dari keluarga Al-Bayoumi, yang juga biasa bernyanyi bersama kami.”
Ayat mengatakan kepada kami bahwa mereka terdorong ketika Presiden AS Joe Biden berbicara tentang kemungkinan gencatan senjata kemanusiaan selama Ramadhan. Sebagai bukti ketahanan luar biasa rakyat Palestina, kelompok ini siap melanjutkan tradisi mereka, apa pun yang terjadi.
“Saya segera menelepon yang lain dan semua orang menyetujui permintaan saya. Namun, kami kemudian mengetahui penolakan pendudukan (“Israel”) untuk menyetujui rencana gencatan senjata,” katanya.
“Sekarang, kita mendekati akhir paruh pertama Ramadhan, dan serangan udara “Israel” terus berlanjut di berbagai tempat di Jalur Gaza.”
Kami tidak perlu dibangunkan
“Saya biasa berdiri bersama keluarga saya di balkon rumah, merekam Musaharati yang berkeliaran di jalanan setiap malam untuk membangunkan kami saat sahur,” kata Muatasem Altala kepada The Palestine Chronicle.
“Tetapi tahun ini, kami tidak memerlukan siapa pun untuk membangunkan kami karena tidak ada makanan untuk dimakan, tidak ada apa pun untuk memberi makan anak-anak kami. Kami sudah berpuasa sejak awal Ramadhan tanpa sahur,” imbuhnya.
“Apalagi tahun ini kami tidak membutuhkan penabuh genderang sahur karena kami tidak bisa tidur akibat intensnya bombardir “Israel”,” pungkas Altala. (zarahamala/arrahmah.id)
*Abdallah Aljamal adalah koresponden The Palestine Chronicle di Jalur Gaza.