Dalam sebuah facebook (FB), seorang buruh migran Indonesia (BMI) yang menamakan dirinya Zando Aurelia, menulis artikel yang menggugat keberadaan dakwah di kalangan BMI. Demikian kutipan artikel tersebut :
Soal Infak, Tiket dan Pengajian
Pengajian di kalangan Buruh Migran Indonesia (BMI) Hong Kong terhitung sangat marak. Nyaris, hampir tiap minggu ada acara pengajian dengan mendatangkan penceramah (ustadz) dari Indonesia. Apakah itu salah? Tentu saja tidak, selama memang untuk dakwah. Lalu apa kaitannya infak, tiket dan pengajian itu sendiri?
Sudah bukan rahasia lagi, jika sebuah organisasi Islam di Hong Kong mengadakan sebuah acara pengajian, jamaah yang hadir diwajibkan membayar uang dalam jumlah tertentu. Biasanya ini tergantung dari tempat yang disediakan oleh pihak penyelenggara. Kalau diadakan di masjid, aula sekolah biasa, biasanya membayar sebesar HK$50 atau HK$60 per orang. Namun jika diadakan di dalam gedung besar, seperti tempat theater atau pun stadium, jamaah diharuskan membayar sebesar HK$100. Bayaran tersebut, mereka biasa menyebutnya “INFAK.” Jadi jangan heran kalau banyak di antara mereka, bahkan kebanyakan yang menawarkan dengan bilang? membeli infak untuk pengajian?
Aku sendiri selalu bertanya. Kenapa tidak bilang kalau itu sebagai tiket masuk saja? Bukankah yang namanya infak itu sukarela? Karena yang terjadi di sini, kalau tidak membayar sejumlah uang yang telah ditentukan oleh pihak penyelenggara, tidak bakalan bisa ikut pengajian. Kenapa mesti menggunakan istilah “INFAK sebesar?” Ini yang membuatku merasa aneh dengan fenomena pengajian di sini.
Lalu apa pula yang membuatku ganjil dengan pengadaan pengajian seperti itu? Maaf bukannya mau berprasangka buruk. Selama tiga tahun terakhir ini hampir setiap pengajian aku datangi karena untuk bahan tulisan. Ustadz-ustadz yang mereka datangkan pun gak tanggung-tanggung. Dari mulai ustadz dari pesantren-pesantren kecil sampai ustadz yang mereka bilang ustadz gaul semacam Arifin Ilham, Jeffry Al-Buchory serta penyanyi-penyanyi religi. Misalnya Yana Julio, Jundiy, Opick dan sebagainya. Pengajian saat ini terasa sangat biasa-biasa saja. Dan yang aku tangkap lebih banyak guyonannya, yang terkadang maaf “terkesan jorok” dan mengundang tawa jamaah.
Seperti pengajian yang diadakan oleh salah satu organisasi Islam di kawasan Yuen Long, New Territories beberapa waktu lalu. Mereka mengundang Jeffry Al-Buchory dari Jakarta. Saat ceramah malah banyak guyonannya dan intisari dari ceramah itu sendiri sangatlah minim dan akhirnya banyak jamaah kecewa, bahkan penyelenggaranya sendiri menyatakan sangat kecewa.
Organisasi-organisasi Islam memang masih kemaruk-kemaruknya mengadakan acara pengajian. Itu bagus, namun menjadi hal yang sangat disayangkan jika ternyata acara religi semacam itu hanya dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok saja. Dalam hal ini tentu saja soal income hasil pengajian. Diakui atau tidak, banyak organisasi Islam yang pecah karena ribut soal uang hasil pengajian dan mereka lebih suka independent karena merasa mempunyai otonomi sendiri jika tidak terikat sebuah payung koalisi. Tentu saja ini sangat disayangkan sekali.
Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya penceramah-penceramah yang didatangkan dari tanah air tersebut dan memasang tarif tertentu. Jika tarif tersebut tidak terpenuhi, maka mereka tidak akan datang untuk berdakwah. Maaf kawan, jujur saja dalam hatiku selalu bertanya di manakah letak keikhlasannya? Padahal kita semua tahu, bahwa mereka didatangkan kemari tentu dengan bayaran, beserta akomodasi dan lain-lain yang semuanya tentu ditanggung oleh pihak penyelenggara. Aku rasa tidak perlu sampai memasang tarif. Dan yang aku tangkap ini seperti BISNIS saja. Ironinya lagi, beberapa dari mereka minta hotel VIP untuk menginap. Jika tidak, mereka juga tidak mau datang. Belum lagi kalau terkadang mereka rewel soal makan dan lain-lain. Namun sayangnya, hal tersebut selalu diulang dan diulang oleh beberapa organisasi Islam di sini. Sikap mental feodal yang masih sangatlah kental. Yakni sikap terlalu mengelu-elukan orang yang sebenarnya tidak perlu.
Dengan maraknya pengajian di Hong Kong, sepertinya ini hanya dijadikan lahan empuk penghasilan saja. Bisa dibayangkan hampir tiap minggu ada acara pengajian.
Satu hal lagi yang mesti diwaspadai, belakangan ini di Hong Kong marak orang meminta sumbangan dengan alasan untuk membangun tempat ibadah ini itu, untuk yayasan anak yatim dan sebagainya. Itu sah-sah saja selama lisensinya jelas. Namun yang lazim saat ini adalah, lisensi yang tidak jelas dan akhirnya mereka hanya menggunakan agama saja sebagai ”KEDOK”. Alhasil, uang hasil sumbangan masuk perut sendiri.
Dari semua hal di atas, kita bisa menyimpulkan bagaimana kita memang harus lebih kritis dengan keadaan. Aku tidak menyalahkan dengan adanya pengajian-pengajian tersebut, asalkan niat, tujuan serta realisasinya benar. Aku juga tidak berkata salah untuk ustadz-ustadz yang didatangkan ke sini. Dengan catatan jalurnya benar tidak seperti yang terurai di atas tadi. Meminta sumbangan boleh-boleh saja, asalkan hasilnya digunakan dengan benar. Tidak lantas semuanya menggunakan AGAMA sebagai tameng, karena hal itu sama saja dengan menjual AGAMA.
Hong Kong, the end of January 2010
Salam kasih untuk semuanya
Zando Aurelia-
::
Artikel miring yang sangat menyudutkan dakwah dan umat Indonesia yang tinggal di Hong Kong tersebut. Karenanya, begitu mendapatkan artikel tersebut dari FB seorang teman, saya langsung gerah dan merasa perlu meluruskan pemahaman penulis.
Betapa dangkalnya ilmu penulis artikel tersebut tidak memahami secara utuh dan benar tentang kondisi rekan-rekannya di Hong Kong. Ketidaktahuannya akan Islam dan aktivitas Islam di Hong Kong membuatnya serampangan menulis fakta yang sesungguhnya. Ada kesan pemaksaan diri dalam menulis fenomena Islam di Hong Kong. Saya langsung melakukan survey ke lapangan dan bertanya kepada rekan-rekan aktivis muslim Hong Kong.
Dari seorang teman bernama Ukhti Eni dari IPMH (Ikatan Persaudaraan Muslim Halaqah Hong Kong), saya mendapatkan jawaban bahwa pengajian-pengajian yang diadakan nakerwan (tenaga kerja wanita) Indonesia di Hong Kong, murni bertujuan untuk menuntut ilmu dan menjalin silaturahmi. Karena tidak mungkin bagi nakerwan hanya mengandalkan buku dan internet sebagai sarana belajar.
Nakerwan juga butuh taushiah langsung dari ustadz. Maka dari itu sangat perlu diadakan pengajian dengan mendatangkan ustadz dari Indonesia, karena di Hong Kong tidak cukup ustadz. Dengan menghadiri pengajian diharapkan rekan- rekan nakerwan ada peningkatan kualitas keimanan.
Kepada pengurus Dompet Dhuafa di Hong Kong bernama Ukhti Anis, saya juga mendapatkan jawaban bantahan akan tuduhan saudari Zando di atas. Ukhti Anis menjelaskan bahwa pengajian tsb diadakan sbg pencerahan yang sebenarnya jika diadakan satu minggu sekali itu sangat kurang, karena di negara Hong Kong mereka bekerja kepada orang non Muslim selama 6 hari, dengan pantauan majikan yang super ketat. Diperparah lagi dengan k0ndisi Hong Kong yang bebas memudahkan nakerwan terseret arus westernisasi jika tidak diimbangi dengan memperkuat akidah.
Para nakerwan menjadi harapan keluarga dan bangsa, tidak cukup hanya bekerja dan mendapatkan uang saja, tapi juga butuh ilmu dan pembinaan bagi persiapan kembali ke tanah air. Mereka adalah calon ibu yang kelak harus mendidik anak-anaknya dengan baik, apa jadinya generasi Indonesia ke depan jika nakerwan mengadopsi budaya Hong Kong yang dijadikan pedoman hidupnya?
Tentang infak, Ukhti Anis juga menjelaskan bahwa hal itu tanpa diungkapkan umum pun sudah tahu, bahwa penyewaan gedung membutuhkan biaya yang tidak sedikit, mengundang ustadz butuh biaya, kalau tidak menggunakan infak, bagaimana mungkin pengajian akan jalan?
Lain lagi bantahan dari rekan kita dari Alif bernama ukhti Lubna. Ukhti Lubna menyanggah tuduhan Zando tentang penyalahgunaan pengajian sebagai lahan bisnis. Ukhti Lubna memaparkan, bahwa orang-orang yang datang ke pengajian tersebut adalah orang-orang yang ikhlas, sedangkan bagi rekan-rekan yang tinggal dalam shelter yang sedang mengalami kesulitan dibebaskan dari infak. Selain itu, brosur pengajian disebarkan jauh-jauh hari sebelum pengajian, apakah HKD 50-100 termasuk mahal, sementara mayoritas nakerwan menghabiskan ratusan HK dolar tiap bulan untuk biaya kartu telepon.
Ukhti Lubna juga menambahkan, pengajian-pengajian yang diadakan di Hong Kong memang sudah seharusnya pakai sistem matematika, karena Hong Kong bukanlah negara sendiri, kita harus mengeluarkan uang untuk menyewa gedung yang digunakan acara pengajian.
Itu beberapa sanggahan dari rekan-rekan aktivis muslim indonesia di Hong Kong, harusnya tidak menulis berita yang menyudutkan kegiatan keislaman jika belum melakukan survey secara benar ke lapangan, jangan asal tulis berita-berita yang berdasarkan pendapat pribadi saja.
Tentang tarif ustadz, infak, banyak canda, rekan aktivis muslim memberi penjelasan kalau nakerwan amat penat kerja yang dikontrol majikan, jadi sudah barang tentu taushiah ustadz hrs ada candanya, agar nakerwan lebih rileks. Lagi pula yang harus dilihat adalah sasaran ladang dakwahnya, tidak mungkin tingkat pemahaman nakerwan sama, jadinya tepat sekali bila ustadz yang memberi taushiah memakai cara-cara sederhana agar materi yang disampaikan bisa sampai kepada objek dakwah.
Satu yang menjadi pertanyaan saya, bagaimana mungkin orang yang tidak pernah terjun langsung di kegiatan sosial dan keislaman, tapi amat “percaya diri” dan takabur merasa ahli menulis berita-berita kegiatan Islam?
Tuduhan artikel di atas merupakan FITNAH bagi kami. [voa-islam/arrahmah.com]