Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)
(Arrahmah.com) – Pers dalam sistem demokrasi senantiasa digadang-gadang sebagai pilarnya. Kebebasan menyatakan pendapat dan pemberitaan di media menjadi poin penting. Terlebih di Indonesia pasca-reformasi. Kehidupan pers yang sempat tiarap dan dibungkam rezim, menemukan wadah baru untuk tumbuh besar. Media massa, baik cetak maupun elektronik, tanpa lagi memerlukan izin. Setiap rakyat memilik hak untuk menjadi pewarta berita.
Tampaknya, penguasa sistem demokrasi paham bahwa pers layaknya belati bermata dua. Hubungannya pun terkadang mesra, terkadang berpisah. Karenanya, pemerintah pun membuat verifikasi dan standarisasi pers. Pers tetaplah pers, kebebasan (liberal) menjadi landasan pers saat ini. Bahkan jika pemerintah terlalu mengekang pers, maka sejatinya pemerintah bersifat ‘terlalu’ dan tak memegang teguh demokrasi yang didengungkan. Anomali dan hipokrasi.
Dunia sudah global. Hal ini menyebabkan arus informasi kian mengglobal dan tak terkontrol. Semua bisa mengakses sumber berita. Didukung dengan kemudahan teknologi informasi dan kemurahan dalam mengkases internet serta sosial media. Begitupula perkembangan media massa yang awalnya berbasis cetak, kini paperless (meniadakan kertas). Digitalisasi dilakukan untuk memudahkan dalam penyampaian informasi. Nah, apakah masyarakat sekarang mampu menyerap beragam informasi? Sudahkah masyarakat tahu siapa dibalik pengendali opini melalui media massa? Dan upaya apa yang bisa dilakukan agar tidak gagap media informasi? Hal inilah menjadi dilema bagi masyarakat dan bom waktu bagi pemerintah.
Sosmed, hoax, dan hate speech
Sosial media (sosmed) menjadi primadona di Indonesia. Masyarakat Indonesia menjadi pengguna sosmed terbesar. Sehingga dijadikan pangsa pasar bagi kepentingan bisnis nasional dan global. Trend tersendiri sosmed digandrungi dari beragam usia. Untuk mudah terkenal saat ini tak perlu berbiaya mahal. Cukup upload video, foto, tulisan, dan iklan. Meski narsis, asal bisa eksis. Di sisi lain, pengguna sosmed kerap menjadi sasaran kejahatan dan kriminal. Dua kondisi di antara untung dan rugi.
Indonesia dibuat geger karena berita hoax (kebohongan). Ini merupakan konsekuensi logis dari liberalisasi pers dan media. Tiada standar dalam suatu berita dan pemberitaan. Kaidah-kaidah jurnalistik dan beberapa aturan yang ada sekadar pajangan. Teori tetaplah teori, yang saat ini miskin penerapan dalam kehidupan. Berita hoax tampak lebih menarik dan makanan empuk. Tidak hanya masyarakat yang terbelah, pemerintah pun dibuat gerah. Fakta ini semakin menegaskan bahwa masyarakat tidak memiliki saringan dalam informasi. Di tambah lagi, keberadaan buzzer dalam kepentingan politik. Masalah itu pun sulit diurai. Akhirnya runyam dan wassalam.
Adanya asap menunjukan adanya api. Begitu pula hate speech (ujaran kebencian) ada yang mengispirasi. Media kerap menyulut dengan pemberitaan yang menyudut. Umat Islam kerap jadi sasaran tembak untuk membakar amarahnya. Pemerintah dengan beragam kebijakannya yang tidak pro rakyat juga turut membuat rakyat geram, marah, dan akhirnya ditumpahkan di media. Pemerintah dalam menanggapinya terkadang bersikap reaktif dari sebuah kritik. Padahal sudah seharusnya, pemerintah senantiasa mendengarkan masukan dari masyarakat jika ingin negaranya cerdas dan berkembang. Jika saja kritik itu disertai dengan kaidah kesopanan, maka tak masalah. Sebaliknya jika disertai cacian, sumpah serapah, dan penyulut konflik inilah yang jadi problema. Harus dipahami betul oleh pemerintah bahwa negara ini butuh koreksi, kritik, dan saran. Jadi jangan apriori dan mengisolasi diri.
Berdasar ketiga hal itulah, Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2017 telah didahului dengan beberapa program heboh. Ada kalangan yang sudah mendeklarasikan Gerakan Anti-Hoax. Mereka telah membentuk badan cyber untuk men-counter. Sayangnya, karena tidak dibarengi dengan pemahaman politik yang benar dan kaidah media yang sahih, jadilah itu ajang perang cyber (cyber war). Ada pula divisi khusus yang dibuat untuk menangani persoalan hoax dan hate speech. Nyatanya, masyarakat pun dibuat takut dan kalut karena membuat tulisan opini bisa berakhir di jeruji besi. Seolah penjara dijadikan modal menakut-nakuti. Bermedia akhirnya tidak menjadi sehat, malah menjadikan jahat.
Jauh sebelum HPN 2017, pemblokiran media Islam online dilakukan secara sistemis. Bahkan Dewan Pers akhirnya angkat bicara untuk memverifikasi media yang berhak melakukan pemberitaan. Upaya itu pun mendapatkan kritik, karena dianggap Dewan Pers telah melampaui kewenangannya. Hal yang disayangkan dari pemblokiran media ini karena pemerintah ketakutan pada Islam yang dianggap sebagai sumber hate speech, radikalisme, dan terorisme. Sementara itu, pemerintah lupa untuk menyelesaikan akar masalah dari itu semua. Jika mau jujur pemerintah seharusnya berani mengoreksi diri dan berbenah menjadi lebih baik. Kesan itu akhirnya menunjukkan jika pemerintah sebenarnya ingin membungkam dakwah Islam.
Cukuplah isu semasa Ramadhan tahun lalu menjadi pelajaran berharga bahwa umat Islam jangan dihina-hina. Di tambah lagi memasuki bulan Desember umat Islam dituding intoleransi dan terorisasi. Sungguh ini adalah ujian sekaligus kesabaran bagi umat Islam. Maka jangan salahkan jika umat Islam akhirnya menumpahkan kekesalannya. Senantiasa waspada dalam bermedia.
Bersambung….
(*/arrahmah.com)