(Arrahmah.com) – Bagaimana pendapat Anda jika ingin mengganti gelas yang penuh kopi dengan susu? Tentu jawabannya terus menuang susu ke dalam gelas kopi. Lama-lama kopi akan hilang, yang ada tinggal susunya. Cara paling mudahnya, buang kopinya, bersihkan tempatnya dan tuangkan susunya. Dijamin susu tidak bakal tercampur dengan kopi.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara kita mendekatkan masyarakat dengan Islam? Padahal dalam pemikiran masyarakat saat ini berjibun produk kapitalisme. Perlakuannya sama sebagaimana analogi kopi dan susu. Buang pemikiran kapitalismenya, bersihkan pikirannya dan ganti dengan pemikiran Islam. Semudah itukah?
Pastinya tak semudah membuang kopi dalam gelas. Manusia itu makhluk hidup. Allah memberinya akal. Nah baik buruknya pemikiran ditentukan oleh informasi sebelumnya. Kalau dia belum pernah menerima Islam dan berada pada lingkungan yang penuh ide kapitalisme, ya dapat dipastikan dia sebagai kapitalis. Tentu ketika ditawarkan Islam akan langsung menolak.
Nah, ternyata Al Qur’an memiliki cara yang unik untuk membersihkan pemikiran-pemikiran rusak di masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan pada masa Rasulullah dahulu, cara ini pun dapat kita lakukan di masa sekarang.
Mengapa demikian? Karena saat ini kondisi masyarakat tak ubahnya seperti masa Rasulullah ketika dakwah di Makkah. Dimana pemikiran-pemikiran kufur bergelayut di sekitar masyarakat. Sehingga kita tinggal mengikuti cara Al Qur’an membersihkan pemikiran masyarakat zaman dulu, agar masyarakay saat ini dapat bersih juga pemikirannya.
Al Qur’an memiliki 2 cara untuk membersihkan pemikiran masyarakat. Pertama dengan melakukan perang pemikiran (ash shirou al fikry) dan kedua dengan perjuangan politik (al kifaahu as siyaasi).
Dalam perang pemikiran di sini Al Qur’an menghadapi aqidah dan pemikiran yang rusak di masyarakat.
Contoh perang pemikiran yang dilakukan adalah QS. An Najm ayat 19-23 Allah menjelaskan, “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Laata dan al-Uzza, dan Manah yang ketiga (terakhir) lagi hina (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu adakan; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.”
QS. Ali imran : 64 dan 67;
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”
“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, Muslim dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik.”
Ayat-ayat di atas adalah bukti bahwa Al Qur’an berusaha menyerang pemikiran-pemikiran kufur saat itu. Hal ini dapat kita lakukan untuk masa sekarang. Sebagaimana kita tahu, saat ini banyak pemikiran asing ber”sliweran” di kalangan kaum muslimin. Mulai dari kapitalisme, liberalisme, feminisme, Lagibete, moderasi Islam, nasionalisme, demokrasi dll.
Agar dapat menyadarkan kaum muslimin dari hipnotis pemikiran asing, kita perlu mendekatkan mereka dengan Al Qur’an. Tidak ada kaum muslimin yang mendebat Al Qur’an. Dengan membacakan dan mentadaburi isinya, masyarakat akan selamat dari jeratan pemikiran asing. Tentu yang pertama kali disodorkan adalah ayat-ayat mengenai aqidah. Untuk mengembalikan ruh dalam diri masyarakat. Setelah itu baru kita membenturkan bahwa pemikiran yang selama ini dipakai ternyata bertentangan dengan Islam.
Kedua adalah dengan melakukan perjuangan politik sebagaimana yang dilakukan Nabi. Perlu digaris bawahi perjuangan politik di sini bukan bermakna harus menang pemilu dan berkuasa. Tapi usaha menyadarkan umat mengenai politik itu sendiri. Politik yang dimaksud adalah mengurusi urusan umat. Jadi inti dari perjuangan politik adalah upaya untuk menyadarkan umat bagaimana hak dan kewajibannya sebagai rakyat, serta hak dan kewajiban sebagai pemimpin.
Umat yang sadar politik adalah yang mampu menilai apakah periayahan (pengurusan) pemimpin mereka sudah taat syariat. Adakah masalah dari periayahannya. Umat diajak membandingkan bagaimana harusnya sebagai pemimpin muslim dengan yang saat ini dilakukan. Apakah sudah sesuai dengan jalan yang ditunjukkan Al Qur’an? Adapun contoh ayat yang dipakai QS. Al Ahzab 67-68,
“Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya tuhan kami, karena kesesatan mereka sendiri dan penyesatan mereka kepada kami, maka timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat, dan laknat serta siksa-lah mereka dengan laknat dan siksa yang besar.”
Dengan dua cara inilah Al Qur’an mampu membuka mata masyarakat arab. Bahwa yang mereka lakukan adalah kesalahan. Maka, cara ini juga dapat dipakai para pengemban dakwah. Agar masyarakat memahami mana pemikiran Islam dan mana pemikiran asing. Wallahu’alam.
Oleh: Henyk Widaryanti
(*/arrahmah.com)