(Arrahmah.com) – Kehormatan ummat islam akhir akhir ini semakin terusik dan sangat memprihatinkan. Dada terasa sesak menyaksikan ulama rujukan dan panutan masyarakat sudah tidak dihargai lagi. Sudah jumlahnya langka keberadaanya pun bak makhluk berbahaya yang setiap saat harus diawasi. Betapa tidak, peristiwa demi peristiwa menjadi bukti nyata. Seorang tokoh nasional dalam sebuah acara live TV nasional dan disaksikan jutaan pemirsa sanggup memelototi dan berkata kasar pada seorang ulama yang mewakili MUI, Tengku Zulkarnaen, wakil Sekjend MUI ditolak sekelompok warga kabupaten Sintang Kalbar, 12/1/2017 (https//m.tempo.co//). Habib Rizieq Shihab, imam besar FPI selalu dicari kesalahanya dan ruang geraknya dipersempit sampai beliau berkata dalam menggambarkan kondisinya, ” Jadi kondisi saat ini diibaratkan, andaikan kita tidak sengaja menginjak semut, semut itu akan didorong oleh polisi untuk melaporkan”(m.suara-islam.com,20/1/2017).
Kondisi tambah mendidih, tatkala seorang pesakitan dengan pongah mengancam melaporkan KH.Makruf Amin ketua MUI ke polisi. Sebegitu hina dan lemahkah ummat islam ini? Atau apa yang sedang terjadi? Marwah ulama kembali ternoda. Umat pun siap membelanya. Bisa jadi rentetan bela Islam dan Quran, akan dilanjutkan dengan bela Ulama. Bagi umat Islam ulama’ adalah pemimpin sekaligus panutan. Pewaris nabi menjadi sebutan kebesarannya.
Pelemahan sistemis
Kondisi terlemah umat islam saat ini tidak terjadi kebetulan dan tiba-tiba. Bangun rancang sudah ada semenjak puluhan tahun lamanya. Pelemahan sistematis oleh kekuatan besar asing, baik kapitalis Barat maupun komunis gaya baru yang datang dari Timur. Ibarat pertandingan sepak bola, kondisi ummat islam saat ini tinggal berhadapan dengan penjaga gawang saja. Upaya sistematis akhir kapitalis-komunis adalah dengan mengkriminalisasi ulama lurus dan membungkamnya. Tawaran dunia sering diberikan seperti saweran, agar ulama masuk angin bisa mereka kuasai.
Pertarungan ideologis tak terelakan lagi. Kapitalis-komunis masih menggunakan saran dan cara yang pernah diterapkan orientalis Barat, Snauck Hourgronje yang pura-pura masuk islam dan berganti nama Abdul Ghaffar. Mereka susah menemukan sosok sekelas orientalis tersebut maka ulama – ulama yang sudah masuk angin diadu domba dengan ulama yang lurus. Ulama yang terbawa irama kapitalis-komunis meski kadang tidak menyadarinya diangkat sedemikian rupa. Adapun ulama yang masih istiqomah digelari dengan beragam gelar menyeramkan mulai radikal, ekstrim, anti kebhinekaan sampai makar yang akan
menghancurkan negara. Sungguh tindakan konyol yang mereka lakukan tak akan mampu meredam ulama’ dan umat islam.
Selain pelemahan pada sosok tokoh panutan, ide-ide rusak pun ditebar meracuni pemikiran. Demokrasi disamakan dengan syura, HAM, pluralisme, liberalisme, kesetaraan jender dan sebagainya. Sesungguhnya ide-ide tersebut sangat membahayakan umat. Lambat laun umat dijauhkan dari syariah Islam. Menurut mereka demokrasi sangat indah dan jalan manusia modern bermartabat menuju kesejahteraan, namun sejatinya demokrasi sangat menghinakan manusia itu sendiri. Bagaimana tidak, dalam demokrasi suara ulama/kyai setara dan senilai suara wanita penjaja birahi. Seribu ulama/kyai harus tunduk dengan seribu satu wanita jalang. Demokrasi menghitung jumlah kepala tidak menghargai isi kepala. Apa yang terjadi saat ini adalah buah demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Demokrasi telah menyesatkan dan menyengsarakan umat Islam.
Save Ulama
Baik buruknya manusiab ergantung kebaikan ulama dan penguasa. Kerusakan manusia mengikuti rusaknya ulama dan penguasa. Sebagaimana sabda Nabi saw:” Ditengah manusia itu ada dua kelompok,jika mereka baik maka baik pula seluruh manusia. Dan jika mereka rusak, maka rusak pula seluruh manusia. Mereka itu adalah ulama dan penguasa” (HR.Abu Nu’aim).
Abu Walid al Baji dalam kitab Sunan As Sholihin mengutip dari Imam Hasan Bashri menyatakan,” Jika tidak ada ulama maka manusia akan menjadi seperti binatang ternak”.
Sistem demokrasi kapitalis maupun komunis tidak akan pernah bisa menghormati ulama yang lurus lagi istiqomah. Karena demokrasi kapitalis lahir dari pemikiran dasar memisahkan agama dari kehidupan (negara). Apalagi komunis yang menganggap agama adalah candu masyarakat. Ulama hanya dijadikan stempel legalitas jika menguntungkan dan sesuai dengan kepentingan penguasa dan pemilik modal. Jika merugikan ulama akan ditinggalkan bahkan jika perlu akan disingkirkan. Padahal ulama adalah pewaris para nabi yang keberadaannya laksana bintang ditengah malam gelap gulita. Masyarakat butuh bimbingan ulama dalam menjalani kehidupan sehari hari begitu juga penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan peran ulama tidak bisa ditinggalkan. Abu Aswad Ad Duwaly pernah berkata,” Para raja adalah penguasa yang mengatur manusia,sedangkan para ulama adalah penguasa yang mengatur para raja”.Jamiul bayan al ilmu,1/60.
Semua pihak punya kewajiban dalam merubah kondisi saat ini menuju kondisi yang lebih baik dan diridhoi sang pencipta. Ingat wahai penguasa! Semua dosa yang terjadi jika sistem tidak segera berubah menjadi tanggung jawab tuan kelak di akhirat. Bagi ulama wajib menyampaikan ilmunya dengan sabar membina masyarakat serta mengoreksi penguasa yang ada. Dari lisanmulah perjuangan terus dikobarkan. Jika ulama,penguasa dan masyarakat
bersama sama bulat ingin menerapkan sistem islam dalan kehidupan sehari hari maka penghinaan, kriminalisasi ulama tidak akan terjadi. Marwah ulama bisa dijunjung tinggi. Tidak rindukah kita suasana seperti ini? #SaveUlamadanUmatIslam.Wallahu a’lam bish showab.
Suhari Rofaul Haq, (Praktisi Pendidikan dan Politik)
(*/arrahmah.com)