Sebagian pihak menyebarkan syubhat hari ini tidak ada kewajiban jihad karena tidak ada imam syar’i (kholifah) padahal jihad harus bersama imam. Orang-orang yang berjihad tanpa adanya kholifah pada zaman ini ; berdosa, akan kembali kepada adzab Allah dan berarti menangkap anak panah dari kemurkaan Allah dan menusukkan ke dadanya sendiri (bunuh diri).
Jawaban :
Memang benar bahwa urusan jihad sebagai salah satu urusan dien menjadi tanggung jawab kholifah. Sebagaimana penegakkan hudud, sholat, zakat dan seluruh urusan dien lainnya, kholifahlah yang paling bertanggung jawab. Karena itu seluruh ulama Ahlu sunah wal jama’ah, seluruh ulama Khowarij, seluruh ulama Murji’ah dan seluruh ulama Mu’tazilah bersepakat bahwa umat Islam wajib hukumnya menegakkan kekhilafahan dan mengangkat seorang kholifah.
Khalifahlah yang mengirim pasukan jihad minimal sekali setiap tahunnya untuk melebarkan dakwah melalui jihad ke negara-negara kafir. Kholifah juga mengadakan mobilisasi umum jika kondisi menuntut dan kholifah juga mengangkat komandan-komandan jihad, berdasar beberapa hadits antara lain :
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِى خَاصَتِهِ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِسْمِ اللهِ فِى سَبِيْلِ اللهِ فَقَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِا للهَِ
Dari Buraidah radhiyallahu ‘Anhu ia berkata,” Rasulullah bila mengangkat seorang amir pasukan dan ekspedisi selalu memberi wasiyat khusus baginya dengan taqwa kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan kepada kaum muslimin lainnya untuk berbuat kebajikan. Lalu beliau bersabda,”Berperanglah dengan nama Allah, berperanglah fi sabilillah…!”
Namun terkadang dalam beberapa kondisi, kaum muslimin harus mengangkat sendiri komandan jihad tanpa adanya penunjukkan dari kholifah, contohnya dalam kondisi :
1- Komandan jihad yang telah diangkat oleh kholifah tidak ada (baik karena ditawan, terbunuh atau lemah) dan kaum muslimin tidak mempunyai kesempatan untuk kembali kepada kholifah untuk menerima pengangkatan komandan jihad baru, serta saat itu kaum muslimin tidak mempunyai beberapa komandan jihad secara tertib atau seluruh komandan jihad yang diangkat kholifah telah habis terbunuh.
2- Kaum muslimin atau sekelompok kaum muslimin mengadakan sebuah gerakan bersama (amal jama’i ; terutama tadrib militer dan jihad) sementara kaum muslimin saat itu tidak mempunyai kholifah. Seperti kondisi umat Islam saat ini.
Kaum muslimin harus mengangkat salah seorang di antara mereka sbagai komandan jihad karena mereka tidak boleh beramal tanpa adanya seorang komandan. Rasulullah telah memberi mereka hak memimpin ” hendaklah mereka mengangkat salah seorang sebagai pemimpin فَلْيُؤَمِّرُوْا “dengan sabda beliau :
عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : إَذَا خَرَجَ ثَلاَثَةُ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ.
Dari Abu Sa’id al Khudri bahwasanya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Jika tiga orang keluar dalam suatu safar hendaklah mereka mengangkat salah satu menjadi amir.” Dalam riwayat lain :
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ:لاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةٍ يَكُوْنُوْنَ بِفَلاَةٍ مِنَ الأَرْضِ أَى أَمَرُوْا أَحَدَهُمْ.
Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Tidak boleh bagi tiga orang yang berada di padang pasir (tanah yang kosong) kecuali mereka mengangkat salah seorang sebagai amir.”
Imam Syaukani berkata,” Jika disyariatkan mengangkat amir untuk tiga orang yang berada di tempat kosong (padang pasir) atau bersafar maka pensyariatannya untuk jumlah yang lebih besar yang menempati desa-desa dan kota-kota dan dibutuhkan untuk mencegah kezaliman dan menyelesaikan persengketaan lebih penting dan lebih wajib lagi. Karena itu hal ini menjadi dalil bagi yang berpendapat,” Wajib bagi kaum muslimin untuk menegakkan pemimpin, para wali dan penguasa.”
Ibnu Taimiyah berkata,” Jika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan pengangkatan amir untuk jama’ah (kelompok) yang paling sedikit dan perkumpulan yang paling singkat maka ini artinya menyamakan wajibnya mengangkat amir untuk perkumpulan yang lebih besar dari itu.”
Pada perang Mu’tah, Rasulullah mengangkat tiga komandan jihad : Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Tholib dan Abdullah bin rowahah. Jika Zaid terbunuh, maka yang menggantikan adalah Ja’far. Jika Ja’far terbunuh, maka Abdullah menjadi penggantinya. Ketika ketiga komandan terbunuh, seluruh anggota pasukan sepakat mengangkat Kholid bin Walid sebagai komandan jihad, padahal Rasulullah sebagai kholifah sama sekali tidak, menunjuknya sebagai komandan keempat. Meski seluruh anggota pasukan tidak meminta persetujuan kholifah terlebih dahulu, Rasulullah ridho dengan perbuatan mereka dan bahkan menggelari Kholid dengan gelar saifullah.
Imam Ibnu Hajar berkata,” Dalam hadits ini ada dalil kebolehan mengangkat komandan dalam sebuah pertempuran meski tanpa ta’mir (pengangkatan dari kholifah). Imam Ath Thohawi mengatakan,” Hadits ini menjadi pokok landasan bahwa kaum muslimin harrus mengangkat seorang di antara mereka sebagai pengganti imam (kholifah) jika imam (kholifah) tidak ada sampai imam hadir.”
Ibnu Hajar berkata,” Imam Ibnu Munir berkata,” Disimpulkan dari hadits dalam bab ini bahwa orang yang ditunjuk memegang wilayah (kepemimpinan) sementara sulit untuk kembali (meminta persetujuan/pengangkatan—pent) terlebih dahulu kepada imam (kholifah), maka kepimpinan orang tersebut kokoh secara syar’i dan secara hokum ia wajib ditaati.” Demikianlah perkataan beliau, dan tidak tersembunyi lagi bahwa hal ini bila seluruh yang hadir telah sepakat mengangkat orang tersebut.”
Ibnu Qudamah berkata,” Jika imam tidak ada maka jihad tidak boleh ditunda karena maslahat jihad akan hilang dengan ditundanya jihad. Jika mendapat ghanimah maka orang yang mendapatkannya (berperang) membaginya sesuai aturan syar’i. Al Qadhi berkata,”Pembagian budak perempuan diakhirkan sampai adanya imam sebagai tindakan kehati-hatian karena berhubungan dengan hak biologis.
Jika imam mengutus pasukan perang dan mengangkat seorang amir lalu ia terbunuh maka pasukan mengangkat seorang di antara mereka sebagai amir sebagaimana telah dilakukan para shahabat dalam perang Mu’tah ketika para amir yang diangkat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam terbunuh. Mereka mengangkat Khalid bin Walid sebagai amir, lalu berita itu sampai kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam maka beliau meridhai hal itu dan membenarkan pendapat mereka, lalu saat itu beliau menyebut Khalid sebagai saifullah.”
Barangkali ada yang menyanggah hadits perang Mu’tah dan keterangan imam Ath Thohawi, Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Munir, Ibnu Hajar dan asy Syaukani di atas dengan mengatakan bahwa pada perang Mu’tah masih ada kholifah, yaitu Rasulullah sementara umat Islam saat ini sama sekali tidak mempunyai kholifah. Syubhat baru mereka ini juga sangat nampak sekali kebatilannya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Ubadah bin Shomit tentang ba’iat para shahabat kepada Rasulullah, diterangkan :
وَ أَلَّا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
“…dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi alasan di sisi Alloh.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya seorang penguasa harus dipecat menurut ijma’ jika ia telah kafir. Pada saat itu wajib atas setiap muslim melakukan hal itu (memecatnya). Barang siapa mampu mengerjakannya ia mendapat pahala, sedang bagi berkompromi akan mendapatkan dosa. Bagi yang tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut.”
Jika seorang kholifah telah kafir, maka kepemimpinannya gugur secara syar’i dan umat Islam wajib berjihad menjatuhkannya dan mengangkat kholifah yang baru berdasar ijma’ ulama, seperti yang disebutkan oleh qadhi Iyadh, imam An Nawawi dan Ibnu Hajar. Lantas apakah kita akan mengatakan kita tidak akan memberontak kepada kholifah yang kafir karena kita tidak mempunyai kholifah ? Dari mana kita mempunyai kholifah kalau kholifahnya sendiri telah kafir dan kita berkewajiban melawannya ? Ataukah kita harus menunggu sampai turun kholifah yang ghoib dan membiarkan kaum muslimin dalam fitnah kekafiran dan kerusakan ? Hadits ini jelas dengan tegas menyatakan wajibnya berjihad melawan kholifah yang telah kafir. Bagaimana kaum muslimin berjihad melawan kholifah yang kafir padahal mereka tidak mempunyai kholifah / jawabannya secara syar’i adalah apa yang dicontohkan oleh para shahabat pada perang Mu’tah dan disetujui bahkan dipuji oleh Rasulullah, yaitu mengangkat salah seorang di antara mereka yang mempunyai kemampuan untuk memimpin jihad.
Sesungguhnya kondisi umat Islam tidak mempunyai kholifah bukan terjadi pada saat ini saja, namun sebelum inipun telah terjadi. Yang paling terkenal adalah masa kekosongan kholifah selama tiga tahun antara tahun 656 H ( tahun terbunuhnya kholifah Al Musta’shim di Baghdad di tangan tentara Tartar) sampai tahun 659 H (diangkatnya kholifah Abbasiyah pertama di Mesir). Meskipun tidak ada kholifah, kaum muslimin tetap menerjuni kancah jihad yang namanya paling harum sampai hari ini yaitu perang ‘Ainu jaluth tahun 658 H melawan tentara Tartar. Jihad tetap mereka kerjakan tanpa kebingungan,” Bagaimana kita harus berjihad padahal kholifah tidak ada?”.
Sederet ulama besar masa itu hidup seperti sulthanul ulama’ syaikh Izzudin bin Abdu Salam dan Syaikhul Islam imam Ibnu Taimiyah, mereka mendukung sepenuhnya dengan fatwa dan keikut sertaan nyata di medan jihad. Bahkan komandan jihad umat Islam saat itu yaitu Saifudien Quthz mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan Mesir dan ia memecat anak penguasa Mesir sebelumnya yang masih anak-anak. Seluruh qadhii dan ulama menyetujui dan membaiatnya, bahkan imam Ibnu Katsir menyebut peristiwa ini sebagai nikmat Allah kepada kaum muslimin karena dengan izin Allah, Saifudin Quthz menghancurkan tentara Tartar. Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebut pasukan Islam yang berjihad melawan Tartar di Mesir dan Syam inilah, kelompok umat Islam yang paling berhak masuk dalam golongan thoifah manshurah . Beliau juga menyebut umat Islam yang tidak berjihad melawan tentara Tartar sebagai thoifah mukhodzilah (kelompok penggembos), sementara tentara Tartar sebagai thoifah mukholifah (kelompok yang menyelisihi).
Yang mengherankan, syubhat ini disebarkan oleh orang-orang bahkan ulama yang menamakan dirinya ahlu sunah wal jama’ah. Padahal Rasulullah telah menyebutkan dalam hadits yang mutawatir tentang keberadaan thoifah manshurah yang senantiasa berjihad di atas kebenaran sampai hari kiamat, sementara di sisi lain Rasulullah juga menyebutkan akan adanya zaman di aman kaum muslimin tidak mempunyai kholifah. Jelas sekali berdasar hadits mutawatir ini, bahwa jihad fi sabilillah akan senantiasa berjalan sampai hari kiamat nanti meski kholifah tidak ada. Saat itulah kaum muslimin akan mengangkat seorang di antara mereka sebagai pemimpin jihad sebagaimana dikerjakan para shahabat pada perang Mu’tah dan saifudin Quthz pada perang ‘Ainu Jaluth.
Bahkan tidak adanya kholifah merupakan salah satu faktor pendorong jihad untuk mengangkat seorang kholifah yang menegakkan dien dan mengatur dunia berdasar syariat Islam. Jalan selamat yang diterangkan oleh hadits mutawatir adalah setiap muslim berjihad bersama thoifah manshurah. Bila tidak, ia akan termasuk thoifah mukhodzilah atau bahkan thoifah mukholifah (kafir). Naudzu Billah. Seberapapun banyaknya syubhat yang disebarkan oleh thoifah mukhodzilah dan seberapapun besarnya makar yang dilancarkan oleh thoifah mukholifah, thoifah manshurah akan menang sampai hari kiamat nanti.
Dengan demikian jelaslah bahwa adanya imam syar’i yaitu khalifah bukan merupakan syarat wajibnya jihad. Ada khalifah atau tidak ada khalifah, kewajiban jihad tetap wajib dilaksanakan. Jihad akan senantiasa ada dan wajib dilaksanakan sampai hari kiamat, baik dengan adanya khalifah maupun tanpa adanya khalifah.
Syaikh Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi mengatakan,” Bahkan jihad tetap terlaksana meski kaum muslimin tidak mempunyai imam (kholifah), karena nash-nash syar’i telah memerintahkan jihad tanpa mensyaratkan adanya imam yang berkuasa, bukan seperti yang dikira oleh sebagian kaum kontemporer yang berpendapat demikian (wajib adanya kholifah baru jihad bias dilaksanakan). Dalam kondisi seperti ini, kelompok yang berjihad harus memeilih seorang amir yang sholih, mereka berperang di belakangnya.”
Terhadap para penggembos jihad yang menyebarkan syubhat tidak adanya jihad tanpa kholifah, Syaikh Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan :
“Dengan kitab (ayat Al Qur’an) yang mana, atau dengan hujah yang mana (dikatakan) bahwa jihad itu tidak wajib kecuali bersama seorang imam (khalifah) yang diikuti ?
Pensyaratan ini merupakan pengada-adaan dalam dien dan penyelewengan dari jalan kaum mukminin. Dalil-dalil yang membatalkan pensyaratan ini sangat terkenal untuk disebutkan. Di antaranya adalah keumuman perintah berjihad dan hasungan untuk berjihad serta ancaman meninggalkan jihad. Allah berfirman :
وَلَوْلَا دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (2:251)
وَلَوْلَا دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِمَتْ صَوَامِعُ
“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,” (22:41).
Setiap orang yang berjihad di jalan Alah berarti telah mentaati Allah dan melaksanakan hal yang difardhukan oleh Allah. Seorang imam tidak akan menjadi imam kecuali dengan jihad. Jadi bukan tidak ada jihad tanpa adanya imam. Yang benar adalah kebalikan yang kamu katakan hai laki-laki. Allah telah berfirman :
قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ أَنْ تَقُوْمُوْا للهِ مَثْنَى وَفُرَادَى
Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; (34:46)
Allah juga berfirman:
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (29:69)
Dalam hadits :
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي …
“Akan senantiasa ada sekelompok umatku…”. Thoifah (sekelompok umat Islam yang berjihad di atas kebenaran) ini, al hamdu lilah, ada dan berkumpul di atas kebenaran, mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang-orang yang mencela. Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (5:54). Maknanya Allah Maha Luas karunia dan pemberian-Nya, Maha Mengetahui siapa yang layak untuk berjihad.
Pengalaman-pengalaman dan dalil-dalil yang menunjukkan batilnya pernyataanmu sangat banyak sekali terdapat dalam Al Qur’an, as sunah, sirah dan akhbar. Perkataan para ulama yang mengerti dalil-dalil dan atsar hampir tidak tersembunyi (karena begitu jelasnya-pent) atas diri orang yang bodoh sekalipun, jika ia mengetahui kisah shahabat Abu Bashir ketika ia berhijrah, lalu orang-orang Quraisy menuntut Rasulullah untuk mengembalikan Abu Bashir kepada mereka berdasarkan syarat dalam perjanjian Hudaibiyah. Abu Bashir meloloskan diri dari mereka setelah membunuh dua orang musyrik yang datang untuk membawanya.
Ia kembali ke pantai ketika mendengar Rasulullah bersabda :
وَيْلُ أُمِّهِ مُسْعِرُ حَرْبٍ لَوْ كَانَ مَعَهُ غَيْرُهُ
“Duhai ibunya, ia bisa menyalakan peperangan seandainya bersamanya ada orang lain.”
Maka Abu Bashir menghadang kafilah-kafilah Quraisy yang datang dari Syam. Ia merampas dan membunuh. Ia indipenden memerangi mereka tanpa Rasulullah, karena mereka terlibat perjanjian gencatan senjata dengan Rasulullah. –Beliau menceritakan kisahnya secara panjang lebar— Apakah Rasulullah bersabda kepada mereka (Abu Bashir dan kawan-kawan),” Kalian telah berbuat salah karena memerangi orang Quraisy tidak bersama imam ?
Subhanallah, alangkah besarnya bahaya kebodohan atas diri orang yang bodoh ? Kami berlindung kepada Allah dari menentang kebenaran dengan kebodohan dan kebatilan. Allah berfirman :
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (42:13)
Adalah lucu meninggalkan jihad dengan alasan tidak ada imam syar’i karena imam syar’i tidak akan ada bila tidak diangkat. Imam syar’i bukanlah hujan yang turun dari langit, ia akan ada dengan usaha dari umat Islam. Karena itu, umat Islam yang mampu berjihad harus tetap berjihad dan mereka mengangkat salah seorang di antara mereka yang capable sebagai imam (pemimpin) yang mengatur dan memimpin mereka. Pemimpin yang dipilih hendaklah yang paling mampu, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab :
“Setiap orang yang melawan musuh dan bersungguh-sungguh menahannya, maka ia telah berjihad, inim hal yang pasti. Setiap thoifah (kelompok) yang berbenturan dengan musuh-musuh Allah, mereka harus mempunyai pemimpin-pemimpin yang menjadi tepat kembali dan mengatur mereka. Sedang orang yang paling berhak memimpin adalah orang yang menegakkan dien, orang yang paling mampu kemudian orang yang kemampuannya dibawahnya, sebagaimana hal ini telah menjadi realita. Jika manusia mengikutinya, mereka bisa melaksanakan hal yang wajib, maka terjadilah saling menolong dalam kebajikan dan taqwa dan akan kuatlah urusan jihad. Adapun jika manusia tidak mengikutinya, maka mereka berdosa besar karena mereka menghinakan (menjadi sebab hinanya) Islam.
Adapun orang yang melaksanakannya (pemimpin kelompok jihad tadi), semakin sedikit pembantu dan penolongnya akan semakin besar pahala baginya sebagaimana ditunjukkan oleh al kitab, as sunah dan ijma’. Allah berfirman :
وَجَاهِدُوْا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” [Qs. Al Hajj:78].
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا …
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” [Qs. Al Ankabut :69].
أُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوْا..
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnaya mereka telah dianiaya.” [Qs. Al Hajj :39].
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya…” [Qs. Al Maidah ;54].
فَاقْتُلُوْا الْمُشْرِكِيْنَ….
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik…” [QS. At Taubah :5].
كَمْ مِنْ فِئَةٍ..
“Berapa banyak kelompok yang sedikit mengalahkan kelompok yang banyak dengan idzin Allah.” [Qs. Al Baqarah :249].
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى الْقِتَالِ..
“Wahai nabi, kobarkanlah semangat kaum beriman untuk berperang.” [QS. Al Anfal :65].
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ….
“Diwajibkan atas kalian berperang.” [QS. Al Baqarah :216].
Tidak diragukan lagi, bahwa kewajiban jihad akan tetap ada sampai hari kiamat dan yang terkena kewajiban ini adalah kaum mukminin. Jika ada thoifah yang berkumpul an mempunyai kekuatan, kelompok ini wajib berjihad fi sabilillah sesuai kemampuannya. Sekali-kali kewajiban jihad tidak gugur dari kelompok tersebut, tidak juga gugur atas semua kelompok, berdasar ayat-ayat yang telah disebutkan, juga berdasar hadits ” Akan senantiasa ada sekelompok umatku.”
Maka dalam al kitab dan as sunah tidak ada dalil yang menunjukkan jihad itu gugur dalam suatu kondisi tertentu (seperti syubhat tidak ada khalifah—pent), atau jihad itu wajib satu pihak dan tidak wajib atas pihak yang lain, kecuali pengecualian yang disebutkan dalam surat al Baraah. Perhatikanlah firman Allah :
وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ
“Dan Allah benar-benar akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” [Qs. Al Hajj :40].
وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” [Qs. Al Maidah :56].
Semua ayat ini menunjukkan makna umum tanpa pengkhususan, maka ke manakah perginya akal kalian dari Al Qur’an ini ? Engkau telah mengetahui dari penjelasan yang telah lewat bahwa khithab Allah mengenai setiap mukallaf baik yang terdahulu maupun orang yang belakangan, dan bahwasanya dalam Al Qur’an ada khithab tentang sebagian syariat dengan lafal yang khusus namun maksudnya umum , seperti firman Allah Ta’ala :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَ الْمُنَافِقِيْنَ
“Wahai nabi, berjihadlah memerangi orang-orang kafir dan munafiq.” [Qs. At Taubah : 73].
Penjelasan tentang hal ini telah lewat, Al hamdu lillah, hal ini telah diketahui di kalangan ulama, bahkan di kalanagn setiap orang yang belajar ilmu dan hukum. Karena itu kami cukupkan dengan penjelasan ini saja. Wabillahi Taufiq.”
Syaikh Abu Bashir Musthofa Abdul Mun’im Halimah menerangkan kebatilan pensyaratan jihad harus bersama kholifah ini dengan menyebutkan berbagai dalil :
* Firman Allah Ta’ala :
فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَاللَّهُ أَشَدُّ بَأْساً وَأَشَدُّ تَنْكِيلاً
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya).” [QS. An Nisa’ :84].
Ini adalah nash yang menunjukkan bahwasanya jihad akan tetap berlanjut meskipun oleh seorang secara sendirian !!! Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya V/293 mengatakan,” Imam Az Zujaj berkata,” Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk berjihad sekalipun ia berperang sendirian karena Allah telah menjamin beliau akan meraih kemenangan. Imam Ibnu ‘Athiyah berkata,” Inilah makna dhahir lafal ayat, hanya saja tidak ada sebuah haditspun yang menunjukkan bahwa jihad wajib atas beliau saja dan tidak wajib atas umatnya untuk suatu masa tertentu. Makna ayat ini, wallahu a’lam, bahwasanya khithab ayat ini secara lafal ditujukan kepada beliau. Ini seperti perkataan yang ditujukan kepada perorangan. Artinya, kamu wahai Muhammad dan setiap orang dari umatmu, katakan kepadanya ” Berperanglah di jalan Allah, engkau tidak dibebani kecuali atas dirimu sendiri.”
Karena itu sudah sewajarnya bagi setiap mukmin untuk berperang walaupun sendirian. Ini ditunjukkan juga antara lain oleh sabda Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam :
والله لأقاتلنهم حتى تنفرد سالفتي
“Demi Allah, aku akan tetap memerangi mereka meski tinggal sendirian.” Juga perkataan Abu Bakar saat terjadi peristiwa kemurtadan penduduk arab, “Seandainya tangan kananku menyelisihku, tentulah aku akan tetap berjihad melawan mereka dengan tangan kiriku.”
* Allah berfirman :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالْأِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” [QS. At Taubah :111].
Jual beli ini telah sempurna, mencakup seluruh rentang masa hidup orang mukmin, tidak boleh dinihilkan ataupun dibiarkan dalam satu masa tanpa masa yang lain.
Karena itu barang siapa mensyaratkan adanya khalifah umum untuk menghidupkan faridzah jihad, berarti konskuensinya ia membatalkan akad jual beli yang telah terjadi di antara Allah dan hamba-hamba-Nya ini…selama rentang masa tidak adanya khalifah selama puluhan tahun yang mengakibatkan binasanya beberapa generasi secara keseluruhan sperti kondisi zaman kita sekartang ini!!!
Dengan hak atau kekuasaan apa dikatakan kepada generasi-generasi umat Islam (saat ini),” Kalian termasuk pengecualian dari jual beli ini selama masa tidak adanya khalifah, yang kadang berlanjut lebih dari seratus tahun ???
* Dalam hadits :
سلمة بن نفيل الكندي، قال: كنت جالساً عند رسول الله ، فقال رجل: يا رسول الله، أزال الناس الخيل، ووضعوا السلاح، وقالوا: لا جهاد، قد وضعت الحرب أوزارها! فأقبل رسول الله بوجهه وقال :” كذبوا! الآن، الآن جاء القتال، ولا يزال من أمتي أمة يقاتلون على الحق، ويزيغ الله لهم قلوب أقوام ويرزقهم منهم، حتى تقوم الساعة، وحتى يأتي وعد الله، والخيل معقود في نواصيها الخير إلى يوم القيامة “[ ].
Dari Salamah bin Nufail Al Kindi ia berkata,’ Saya duduk di sisi Nabi, maka seorang laki-laki berkata, “Ya Rasulullah, manusia telah meninggalkan kuda perang dan menaruh senjata. Mereka mengatakan, “Tidak ada jihad lagi, perang telah selesai.” Maka Rasulullah menghadapkan wajahnya dan besabda, “Mereka berdusta !!! Sekarang, sekarang, perang telah tiba. Akan senantiasa ada dari umatku, umat yang berperang di atas kebenaran. Allah menyesatkan hati-hati sebagian manusia dan memberi rizki umat tersebut dari hamba-hambanya yang tersesat (ghanimah). Begitulah sampai tegaknya kiyamat, dan sampai datangya janji Allah. Kebaikan senantiasa tertambat dalam ubun-ubun kuda perang sampai hari kiamat.”
Beliau juga bersabda:
لا تزال طائفة من أمتي يُقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة
” Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang sampai hari kiamat.” [HR. Muslim].
Kata “thoifah /kelompok/golongan” dipakai untuk satu orang atau lebih, seperti firman Allah :
: إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ التوبة:66.
“Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” [QS. At Taubah :66].
Dalam tafsirnya imam Al Qurthubi mengatakan, “dikatakan bahwa mereka berjumlah tiga orang. Dua orang mengejek dan seorang lagi hanya tertawa. Yang dimaafkan adalah seorang yang tertawa dan tidak berkata.”
Kelompok yang dimaafkan hanya beranggotakan seorang saja, dan kita telah menyaksiakan jihad tetap berjalan meski pelakunya hanya seorang saja. Seorang dengan kesendiriannya disebut thoifah (kelompok). Jika memang demikian, maka bagaimana mungkin adanya seorang kholifah menjadi syarat berjalannya jihad ??? Rasulullah bersabda :
وقال :” لن يبرح هذا الدين قائماً يُقاتل عليه عصابةٌ من المسلمين حتى تقوم الساعة ” مسلم.
“Dien ini akan senantiasa tegak, sekelompok umat Islam berperang di atas dien ini sampai tegaknya hari kiamat.” [HR. Muslim].
Kata ‘Ishobah (kelompok) disebutkan untuk menunjukkan jumlah tiga dan seterusnya, jika perang membela dien dan kehormatan dien ini terlaksana dengan kelompok yang beranggotakan tiga orang atau lebih, maka bagaimana mungkin adanya seorang kholifah menjadi syarat terlaksananya jihad ? Bagaimana mungkin adanya seorang kholifah menjadi syarat dilaksankaannya jihad padahal jihad tetap terlaksana oleh seorang, oleh tiga orang atau lebih, sebagaimana disebutkan oleh hadits-hadits ini ? Rasulullah bersabda :
وقال :” الخيل معقود بنواصيها الخير إلى يوم القيامة؛ الأجر والغنيمة ” مسلم.
Kuda itu tertambat pada ubun-ubunnya kebaikan hingga hari kiamat : pahala dan ghonimah.” [HR. Muslim]. Hadits ini berlaku untuk zaman ada kholifah dan zaman tidak ada kholifah, tak ada sesuatu hal pun yang bisa menghentikannya.
وقال :” إن الهجرة لا تنقطع ما كان الجهاد “[ ]. وفي رواية:” لا تنقطع الهجرة ما جوهد العدو “.
Beliau juga bersabda,” Hijrah tak akan berhenti selama masih ada jihad.” Dalam riwayat lain, “Hijrah tak akan berhenti selama musuh masih diperangi.” Sebaliknya, beliau juga bersabda:
:” لا تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة، ولا تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها “[ ].
“Hijrah tak akan berhenti sampai taubat terhenti. Taubat tak akan terhenti sampai matahari terbit dari barat.”
Ini menguatkan bahwa jihad tak akan berhenti sampai taubat berhenti, sementara taubat tak akan berhenti sampai matahari terbit dari barat, hari di mana “iman seseorang tidak memberinya manfaat karena sebelumnya ia tidak beriman” [Qs. Al An’am :158]. Karena hijrah akan senantiasa ada selama jihad masih ada berdasar dilalah nash. Jika kita nyatakan jihad terhenti dengan tidak adanya kholifah, maka konskuensinya hijrah juga terhenti, konskuensi selanjutnya taubat juga terhenti. Pendapat ini jelas tidak boleh karena menyelisihi dalil-dalil yang shorih (tegas) dan ijma’ umat.
Adapun dilalah mafhum nash, As sunah menunjukkan adanya mujahidin —yang merupakan thoifah manshurah—dan keberadaan mereka yang akan terus berlangsung sampai hari kiamat. Eksistensi mujahidin sampai hari kiamat ini mengandung konskuensi terus berlangsungnya jihad—salah satu sifat thaoifah manshurah—tanpa terhenti. Jika secara dhohir jihad, yang ada adalah i’dad untuk jihad dan i’dad merupakan bagian dari jihad. Kewajiban i’dad sama dengan kewajiban jihad karena jihad tak akan sempurna tanpa i’dad, sementara qaidah menyatakan ” Suatu kewajiban bila tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu hukumnya juga wajib.” Seorang muslim hanya mempunyai dua pilihan; antara berjihad fi sabilillah atau beri’dad untuk jihad saat kewajiban jihad gugur karena kelemahan (tidak ada kemampuan)…Ia tidak mempunyai pilihan ketiga.
* Sunah menunjukkan wajibnya melawan kholifah yang telah kafir dan wajibnya mengangkat kholifah muslim yang baru. Jika jihad harus bersama kholifah, sementara kholifahnya telah kafir ; maka bagaimana cara jihad melawan dan menjatuhkan kholifah yang kafir tersebut ? Siapa yang berjihad melawan dan menjatuhkan kholifah yang kafir tersebut ? Kholifah –padahal dia telah kafir—ataukah umat Islam tanpa bersama kholifah yang kafir ? Tentu saja umat Islam tanpa bersama kholifah yang kafir tersebut.”
Syaikh Ibrahim Al Khudry berkata,” Jika ada yang bertanya,” Jihad hanya boleh diserukan oleh seorang Imam ( kholifah), sementara pada hari ini kaum muslimin telah terpecah belah, tiap-tiap wilayah dipimpin oleh imam ( penguasa ) masing-masing. Lalu siapakah yang berhak menyerukan panggilan jihad ?.”
Jawabannya:
Al hamdulillah. Jika Imam suatu wilayah telah menyerukan panggilan jihad, wajib bagi wilayah penduduk tersebut berperang melawan kaum kafir. Demikian pula Imam suatu wilayah lain, wajib bagi segenap kaum muslimin untuk menyambut panggilan tersebut. Jika kaum mujahidin dipimpin oleh seorang Amir, lalu Amir tersebut menyerukan panggilan jihad, mereka wajib mentaatinya. Hingga sekarang keamiran seperti itu masih ada dan akan tetap ada sampai akhir zaman. Contohnya di wilayah Afganistan.
Syubhat tidak ada jihad selama tidak ada kholifah merupakan syubhat yang sangat berbahaya.
1- Syubhat ini sama sekali tidak berdasar dalil baik Al Qur’an, As Sunah, ijma’ salaf maupun perkataan para ulama salaf. Bahkan bertentangan dengan nash-nash tegas Al Qur’an, hadits mutawatir dan ijma’ salaf.
2- Syubhat ini sebenarnya merupakan aqidah kaum Rafidzah. Imam Ath Thohawi berkata,” Haji dan jihad akan tetap berjalan bersama para pemimpin kaum muslimin, baik pemimpin yang bijaksana maupun yang jahat, tak ada sesuatupun yang bisa membatalkannya.” Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafy menjelaskan perkataan ini dengan mengatakan,” Syaikh mengisyaratkan bantahan atas kaum Rofidzah di mana mereka mengatakan,” Tidak ada jihad fi sabilillah sampai keluar ar ridho dari keturunan Nabi Muhammad dan seorang penyeru menyeru dari langit,” Ikutilah dia !” Kebatilan pendapat ini sudah jelas sekali sehingga tak perlu lagi ditunjukkan dalil yang menunjukkan kebatilannya.” Ketika aqidah ini memberatkan mereka sendiri, mereka tidak konskuen dengan aqidah ini, di mana mereka tetap mengadakan revolusi Khomeini dan mengadakan pemerintahan dengan nama “wilayatul Faqih.” Pelopor lain yang menyebarkan syubhat ini adalah Ahmad Ghulam Al Qodiyani, si nabi palsu India yang mengabdi kepada imperialis Inggris.
3- Yang memetik keuntungan terbesar dari syubhat ini adalah tentara imperialis salibis, zionis, komunis dan pemerintah-pemerintah sekuler di dunia Islam yang memusuhi Islam dan loyal kepada negara kafir barat.
4- Syubhat ini berarti mensalahkan dan mencela (jarh) salafush sholih dan para ulama yang tsiqot :
– Berarti menuduh para shahabat yang berjihad tanpa izin kholifah ketika kholifah ada dengan tuduhan berbuat dosa, berhak mendapat adzab Allah dan bunuh diri. Shahabat yang tertuduh adalah Abu Bashir dan kawan-kawan. Karena saat itu kholifah mengikat gencatan senjata 10 tahun dengan kafir Quraisy.
– Berarti menuduh Husain bin ali dan Abdullah bin Zubair serta seluruh shahabat dan tabi’in yang membela keduanya sebagai pelaku dosa besar (bunuh diri, maksiat kepada imam), padahal saat itu tidak ada kholifah syar’i yang umum atas seluruh kaum muslimin.
– Demikian juga daulah Umawiyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah telah melewati beberapa masa di mana mereka mengadakan jihad padahal kondisi belum pulih sehingga mereka tidak bisa dikatakan sebagai kholifah umum bagi seluruh kaum muslimin. Meski demikian, tak seorangg ulama pun yang mengatakan jihad mereka tidak masyru’ dengan alasan jihad mereka tidak berasal dari izin kholifah umum.
– Berarti menuduh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengikut beliau yang berjihad melawan Tartar, serta syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab yang berjihad membberantas kesyirikan di Nejed, sebagai orang-orang berdosa karena berjihad tanpa izin kholifah dan mereka berada di neraka Jahannam karena maksiat kepada kholifah dan melakukan aksi bunuh diri.
– Berarti menuduh jihad umat Islam yang mengusir imperialis kafir seperti di Palestina, Afghanistan, Chechnya, Moro, Patani, Kashmir dan lain-lain sebagai sebuah perbuatan haram, maksiat dan bunuh diri. Artinya harus menyerahkan tanah air kepada musuh Islam dengan suka rela.
– Berarti mengajak umat untuk meninggalkan jihad dan tenggelam dengan kenikmatan dunia, sampai nanti datangnya kholifah.
wallahu a’lam bis showab..