(Arrahmah.com) – Sangat disayangkan minat baca rakyat Indonesia khususnya umat Islam kecil sekali, menurut data Kemandiknas 200 akases pendidikan di Indonesia masih perlu mendapt perhatian, lebih dari 1,5 juta anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan sekolah dan 34,5% masyarakat Indonesia masih buta huruf. Sedangkan menurut UNESCO pada tahun 2012, indeks minat baca di Indonesia baru mencapi 0,001. Artinya dalam setiap 1000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat baca. Kemudian data dari Bada Pusat Statistik (bps) menyebutkan minat baca penduduk hanya sekitar 23,5% sebaliknya minat menonton televisi mencapi 85,59%. Sekarang timbul pertanyaan yang hobi baca masih di pilih apakah orang Islam atau orang kafir? Timbul lagi pertanyaan lagi jika orang Islam yang hobi membaca apakah buku yang dibaca? Bagaimana dengan yang hobi menulis?
Padahal secara tegas al-Qur’an memotivasi untuk membaca, firman yang pertama kali turun yaitu, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, (QS Al-Alaq[96]1)
Kata iqro merupakan bentuk kata perintah dari kata iqro adalah perintah yang pasti dan tegas untuk membaca, juga memotivasi untuk belajar dan mengajar membaca. Membaca identik dengan penambahan ilmu. Allah swt berfirman dalam ,
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS Thaha [20]114)
Ibnu Qayyim berkata, “Ayat ini cukup sebagai bukti kemuliaan ilmu. Yaitu, Allah memerintahkan Nabi-Nya agar meminta tambahan ilmu pengetahuan.. Ibnu Katsir menyatakan, “Maksudnya adalah tambahkanlah untukku ilmu dari-Mu. Ibnu Uyainah menuturkan, “Rasulullah selalu memohon kepada Allah agar ditambah ilmunya hingga beliau wafat.
Islam sangat menghargai kemampuan menulis dan menganggapnya sebagai kemampuan yang paling bermanfaat sampai-sampai Ikrimah berkata, “Tawanan Perang Badar mencapai empat ribu orang. Setiap tawanan dapat menebus dirinya dengan mengajarkan menulis karena kemampuan menulis ini sangat penting dan sangat bermanfaat, Allah berfirman kepada Nabi-Nya
Wahai Muhammad, Bacalah Al-Qur’an. Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahamulia. Tuhan yang mengajari manusia menulis dengan pena (QS Al-Alaq[96]3-4) Kemampuan menulis dianggap sebagai nikmat-Nya yang paling agung, sampai-sampai Allah menggunakannya sebagai sumpah dalam Al-Qur’an, sebagaimana tersirat dalam firman-Nya. “Nuun, Demi pena dan hasil tulisan manusa dan malaikat. (QS Al-Qalam[68]1)
Dalam ayat ini Allah bersumpah dengan pena, Allah juga bersumpah dengan apa yang ditulis oleh manusia.
Ibnu Abbas mengartikan firman Allah, atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar (QS Al-Ahqaf[46]4) sebagai tulisan.
Begitu juga Mujahid mengartikan firman Allah Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS Al-Baqarah[2]269) sebagai tulisan.
Ibnu al-Muqaffa berkata, “Ungkapan lidah itu teratasa hanya pada sesuatu yang dekat dan hadir, sedangkan ungkapan tulisan itu berguna bagi yang menyaksikan dan yang tidak menyaksikan, bagi orang yang dulu dan yang akan datang. Ia seperti orang yang berdiri sepanjang waktu.”
Asy-Syukani mengatakan bahwa salah seorang ulama pernah berpesan kepadanya seraya mengatakan, “Jangan kamu menghentikan kegiatan menulismu sekalipun kamu hanya menulis dua baris sehari asy Suhkani mengatakan mengatakan ternyata kurasakan buah yang dihasilkannya. Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam bersabda sebaik-baik amal adalah yang dilakukannya pelakunya secara terus menerus sekalipun sedikit.
Sesungguhnya anda bisa menulis dari hasil pemikiran anda sebanyak empat baris. Apabila anda hanya menukil cepat, anda bisa menulis lima baris saja dalam sehari, maka anda akan mampu menulis sebanyak seratus dua puluh halaman. Dalam setahun sebanyak seribu dua ratus halaman.
Ulama salaf dalam memanfaatkan waktu dengan membaca dan menulis juga amalan ibadah lainnya.
Imam al-Badr bin Jama’ah bertanya tentang cara tidurnya Imam Nawawi. Imam Nawawi menjawab, “Apabila rasa kantuk datang, saya jatuhkan kepada sebentar di meja tempat kitab yang sedang saya pelajari, kemudian saya bangun lagi.”
Ibnu Jauzi pernah berkata, “Seumpama saya berkata bahwa saya telah membaca 20.000 jilid kitab, hal ini benar adanya. Bahkan, jumlah kitab yang saya baca lebih banyak dari itu karena sekarang ini saya masih dalam proses menuntut ilmu.”
Jika kita tetapkan bahwa rata-rata kitab yang dibaca oleh Ibnu Jauzi berisi tiga ratus halaman, berarti ia telah membaca enam juga halaman (20.000 X 300=6.000.000). jumlah buku yang dibacanya saja mencapai enam juta halaman.
Cucu Imam Ibnu Jauzi pernah bercerita, “Menjelang akhir hayatnya, saya pernah mendengar kakek berkata di atas mimbar, “Jari-jari tanganku ini telah menghasilkan dua ribu jilid kitab. Selama hidupku ada seratus ribu orang yang menyatakan diri tobat dihadapanku dan dua puluh ribu Yahudi dan Nasrani yang menyatakan diri masuk islam di hadapanku.”
Imam Ibnu Aqil pernah berkata, “Saya selalu berusaha untuk menyingkat waktu untuk makan. Sehingga saya lebih senang makan roti keras dicampur dengan air daripada harus makan roti. Karena roti keras dicampur dengan air lebih cepat bila mengunyah roti.” Dengan cara ini, waktu ia untuk membaca kitab dan menulis akan lebih banyak.
Beliau juga pernah berkata, “Saya mempunyai komitmen untuk tidak menyia-nyiakan umur. Jika mulutku tidak melakukan diskusi dan mataku tidak melakukan aktivitas membaca, maka pikiranku tetap bekerja, meskipun sedang berbaring istirahat. Saya tidak akan bangun, kecuali muncul ide yang akan saya tulis. Sungguh, ketika saya sudah mencapai umur delapan puluh tahun, semangat kuat untuk meningkatkan ilmu jauh lebih besar bila dibandingkan saat saya, saya masih berumur dua puluh tahun.
Imam as-Sakhawai berkata, “Ketika Imam Ibnu Hajar al-Asqalani melakukan perjalaan menuju Syam, ia membaca kitab Mu’jam atj-Thabrani ash-Shagir selepas shalat zhuhur hingga shalat ashar. Ia menamatkannya dalam satu majelis itu. Padahal, kitab terebut memuat sekitar lima ratus
Al-Fatih bin Khaqan salah satu tokoh yang sangat menghargai waktu. Ia selalu menyimpan kitabnya di dalam tas setiap mengikuti majelis ilmiah yang diadakan oleh khalifah al-Mutawkkil. Ketika ia hendak kencing atau shalat, ia harus meninggalkan majelis tersebut. Dalam perjalanan menuju kamar kecul atau tempat shalat, ia menyempatkan diri untuk membaca buku yang ada di dalam tasnya itu. Ketika kembali ke majelis ilmiah, ia juga melakukan hal yang sama.
Sebelum Ibnu Nafis mulai mengarang, is selalu menyiapkan pena siap pakai sebanyak mungkin. Ketika mulai menulis, ia menghadapkan mukanya ke tembok lalu ia tumpahkan semua pikirannya ke atas kertas. Bila penanya masih lancip, tulisannya sangat cepat.
Ibnu Qayyim, salah seorang murid Ibnu Taimiyyah, pernah berkata, “Aku sangat kagum sekali akan kehebatan Ibnu Taimiyyah dalam hal akhlaknya, ucapannya, keberaniannya, dan tulisannya. Setiap hari beliau selalu mengarang, sebagaimana halnya orang yang menyusun sesuatu secara kolektif dan memperbanyaknya.
Abdurahman Ibnu Taimiyah sauradaya gurunya Ahad Ibnu Taaimiyyah meriwayatkan dari bapaknya, Abdul Halim, dia berkata, “Dahulu kakekmu, Abdul Barakat apabila mau masuk ke Toilet untuk buang Hajat, maka beliau menyuruhku untuk membacakan suatu buku dengan bacaan yang keras agar dia bisa mendengar.
Ibnu Qayyim menuturkan seperti apa yang saya ketahui Ibnu Taimiyah beliau sering menderita sakit kepada dan demam. Saat sakit beliau menaruh buku di samping kepalanya. Jika dia terasadar membaca buku itu. Namun jika merasa tidak mampu menguasai dirinya, dia letakkan buku itu. Pada suatu hari, dokter menemuinya dalam keadaan demikian. Dokter lalau berkata, “Anda tidak boleh melakuakan perbuatan ini. Anda harus membantu diri anda sendiri, sedangakan perbuatan ini akan menyebabkan anda lama sembuh.”
Ibnu Jauzi menasahati orang alim dan pencari ilmu, “Sebaiknya kamu mempunyai tempat, khusus di rumahmu untuk menyendiri. Disana kamu bisa membaca lembaran-lembaran bukumu dan menikmati indahnya petualangan pikiranmu. Membaca dan menelaah kehidupan orang shalih juga mampu membangkitkan semangat baru dalam diri kita. Bisa dikatakan, membaca dan menelaah kehidupan mereka, hampir sama dengan kita menziarahi dan berhadapan dengan mereka sehingga kita pun menerima barakah dari Allah. Imam Ibnu Jauzi berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari kehidupan orang yang tidak punya cita-cita tinggi hingga bisa diteladani orang lain, yang tidak punya sikap wara yang bisa ditiru oleh orang yang ingin berzuhud. Demi Allah hendaklah kalian mencermati perilaku suatu kaum, mendalami sifat dan berita tentang mereka. Karena memperbanyak meneliti kitab-kitab mereka adalah sama dengan melihat mereka. Bila engkau mengatakan telah mendalami dua puluh ribu jilid buku, berarti engkau telah melihat mereka melalui kajian engkau terhadap tingkat semangat mereka, kepandaian mereka, ibadah mereka, keistimewaan ilmu mereka juga tidak pernah diketahui orang yang tidak pernah membacannya.
Abu Bakar Al-Ambari berkata, “Abu Ubaid telah membagi malam menjadi tiga bagian. Dia shalat disepertiga malam, tidur di sepertiga malam, dan menulis buku di sepertiga malam.
Imam Adz Dzahabi berkat, Ibnu Mubarak lebih banyak berdiam diri di dalam rumahnya. Beliau didalam rumah membaca buku. Oleh karena itu seseorang bertanya kepadanya, “Apakah engkau tidak merasa kesepian? Bagaimana merasakan kesepian sedang Rasulullah dan para sahabatnya selalu bersamaku, tegas Ibnu Mubarok. Ibnu Mubarak pernah mengatakan, “Barangsiapa ingin mengambil faedah ilmu, maka bacalah buku-bukunya.
Ibnu Taimiyah, wafat tahun 727 H dalam usia 67 tahun. Dalam biografi hidupnya yang ditulis Ibnu Syakir Kutubi terdapat keterangan bahwa karya yang diashilkan Ibnu Taimiyyah hampir mencapi 300 jilid. Imam Dzahabi berkata, “Sesungguhnya, karangan Ibnu Taimiyyah mencapai 500 jilid.” Akan tetapi, pendapat yang benar adalah pendapatnya Hafizh Ibnu Rajab yang terdapat dalam karyanya Dzail Thabaqat al-Hanabalah, “Karya Ibnu Taimiyah terlampau banyak dan tidak mungkin bagi seorang pun yang dapat menghitungnya.
Beliau juga pernah berkata, ” Hendaknya seseorang berusaha memiliki anak yang akan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sepeninggalannya, sehingga pahalanya juga dapat ia rasakan. Atau, hendaklah ia menulis kitab tentang ilmu. Sebab menulis ilmu ibarat anaknya yang akan tetap kekal. Dari kitabnya akan dinukil sesuatu yang dapat diikuti orang lain, inilah yang tak pernah mati. Suatu kaum telah meninggal sedangkan ditengah-tengah manusia ia masih hidup.
Menulis akan menembus ruang dan waktu, Ibnu Jauzi berkata aku menyimpulkan manfaat menulis banyak daripada manfaat mengajar dengan lisan. Dengan lisan aku bisa menyampaikan ilmu hanya pada sejumlah orang, sedangkan dengan tulisan aku dapat menyampaikan kepada orang yang tidak terbatas yang hidup seseudahku
Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Imam Al-Khtaib Al-Bagdad berjalan sedang tangannya memegang satu juz buku yang ia baca.”
Syekh Muhmud Khthab as-Subki. Apabila ada tamu yang berkunjung ke rumahnya baik pada siang hari maupun malam hari pasti orang itu akan mendapati dirinya sedang terbangun tidak sedang membaca, ia sedang menulis buku.
Imam An-Nawawi berkta, “Selama dua tahun aku tidak pernah membaringkan tubuhku di atas tempat tidur. Diisi dengan membaca dan menulis.”
Saudaraku,dengan tulisan kita memiliki Al-Qr’an yakni Kalamullah (ucapan Alah) yang ditulis kembali untuk dibaca ummat manusia seluruh dunia. Kitab yang mampu memberikan penjelasan, memberikan kabar gembira dan peringatan.
Menulis adalah bagian dari perjuangan, melawan; menggerakan. Tulisan yang mencerahkan mampu memberi semangat dan menggerakan kekuatan untuk melakukan perlawanan.
Syeikh Sayyid Quthub, beliau membaca Al-Qur’an di malam hari dan merenunginya, saat siang harinya beliau tulis, saat di penjara bisa melakukan perlawanan terhadap jenis kezaliman yang ada pada saat itu. Ketika fisiknya dibatas oleh jeruji penjara, ia tetap bisa melawan dengan menulis.
Buya Hamka, tetap bisa berdakwah, bisa berbagi ilmu, bisa melakukan perlawanan dengan menulis. Ketika beliau dipenjara, beliau tetap menulis dan bahkan menghasilkan satu karya fenomenal, yakni Tafsir al-Azhar. Menulis, satu bentuk usaha untuk melawan dan menaklukan tantangan hidup. Menulis menjadi senjata untuk melakukan perang opini.
Napoleon Bonaparte pernah berkomentar: “Aku lebih suka menghadapi seribu tentara daripada satu orang penulis”. Ya, seorang jenderal bisa mengerahkan kekuatan seribu tentara, tapi seorang penulis bisa saja menginspirasi ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, atau bahkan jutaan orang untuk melakukan perlawanan. Ada istilah pena lebih tajam dari pada pedang, maka jangan berhenti menulis!
Musthafa As Sibaai kondisi sakit yang berkepanjngan selama delapan tahun. Ia senantiasa sabar menghadapi ujian tersebut, tak pernah mengeluh, ridho dengan apa yang menimpanya, tahmid, tasbih dan istighfar senantiasa menghiasi bibirnya siang dan malam. Penyakitnya sama sekali bukan suatu penghalang bagi dirinya dalam menyampaikan dakwah.
Dalam satu ungkapan As Sibaai kepada sahabatnya berkata, “Aku dalam keadaan sakit, jelas aku merasakan sakitnya. Dan anda pun dapat melihatnya dari roman wajahku, dan dari tanganku yang tak dapat bergerak. Tapi lihatlah keagungan himah Allah di balik semua itu. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa mentakdirkan aku menjadi orang yang lumpuh…Tapi, perhatikan bagian mana yang lumpuh? Allah telah melumpuhkan bagian tubuhku sebelah kiri dan membiarkan bagian tubuh kananku tetap bergerak. Dapatkah aku tetap menulis kalau Allah mentakdirkan tubuh bagian kananku juga mengalami kelumpuhan?
Allah telah melumpuhkan bagian tubuhku sebelah kiri dan membiarkan bagian tubuh sebelah kananku tetap bergerak. Dapatkah aku tetap menulis kalau Allah mentakdirkan tubuh bagian kananku juga mengalami kelumpuhan?
Bahkan sehari sebelum wafatnya, ia masih sempat menulis tiga tulisan, Al Ulama Al Aulia, Al Ulama Al Mujahidun dan Al Ulama Asy Syuhada. Bagaimana dengan kita?
Jadi mengapa masih ragu untuk berbuat, menulis atau membaca? Ini dua rangkaian yang sejalan dan seiring. Anda akan lancar menulis kalau banyak membaca dan ketika anda membaca, anda sudah punya bahan untuk menulis. Jadi membaca dan menulis sudah dicontoh oleh generasi terdahulu, bacalah dan kemudian tulislah! Karena dengan menulis apa yang sudah anda baca, berarti anda telah mentranformasikan ke orang lain ilmu yang sudah anda dapat, kalau hanya mengandalkan ingatan akan cepat lupa, tapi ketika anda menulis akan mengabadi, karena ilmu itu sudah anda “ikat” berupa tulisan tadi.
Masih ragu? Kalau begitu, segera bangun, ambil computer atau laptop anda, ambil buku catatan anda atau ambil apa saja yang ada di sekitar anda yang bisa anda jadikan sarana untuk menulis, dan tulislah sekarang juga, saat ini juga, jangan ditunda-tunda! Katakan pada diri anda,”Saat ini saya menulis, karena saya tak tahu besok saya masih bisa menulis atau tidak?”
Dalam firmannya jelas dalam Al-Qur’an
Wahai Muhammad, katakanlah kepada kaum mukmin, “Beramal shalihlah kalian. Allah dan Rasul-Nya akan menilai amal kalian. Begitu juga orang-orang mukmin akan menilai kalian. Pada hari kiamat kelak, kalian akan dikembalikan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Alllah akan mengabarkan kepada kalian semua perbuatan yang telah kalian dilukan di dunia (At Taubah :105)
Kamilah yang menghidupkan yang mati. Kamilah yang mencatat (menulis) setiap perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia dan pengaruh baik atau buruk dari perbuatan itu sepeninggalannya. Semuanya itu Kami catat dengan teliti pada buku catatan amal yang mudah dibaca oleh pelakunya kelak di akhirat (Yaasiin: 12)
Pada hari itu manusia diberitahu perbuatan apa saja yang telah ia lakukan di dunia dan amal shalih apa saja yang ia abaikan (Al Qiyaamah: 12)
Penulis: Al-Fakir; Abu Azzam
(*/arrahmah.com)